Viral di media sosial postingan tentang makan permen suguhan dari bank hukumnya haram. Postingan ini sempat menjadi perbincangan netizen di media sosial dan memancing pro dan kontra. Apakah benar dalam Islam makan permen yang disediakan bank itu hukumnya haram?
Jawaban:
Hukum makan permen suguhan dari bank memang masih menjadi perbincangan hangat di media sosial, bahkan masalah ini diangkat menjadi berita di beberapa media arus utama. Penulis menemukan, netizen yang menyatakan hukum makan permen suguhan bank itu haram merujuk pada tulisan-tulisan yang berkaitan dengan hukum menerima hadiah dari bank. Dalam tulisan itu dikatakan menerima pemberian hadiah dari pihak yang menghutangi, semisal merchandise, kalender, permen, dan sejenisnya adalah haram karena dua alasan: pertama, ini seperti qardhu jara na’an, yaitu utang yang mendatangkan manfaat; kedua, pihak yang menghutangi bermuamalah dengan mayoritas harta riba.
Untuk menjawab persoalan ini, ada dua hal penting yang perlu diperhatikan. Pertama, nasabah datang ke bank bermaksud untuk menabung, dan kedua, nasabah datang ke bank bermaksud mengajukan kredit bank.
Dari kedua motif tersebut, serta memperhatikan bahwa pihak yang menyediakan permen adalah pihak perbankan, maka kaidah qardhu jara naf’an li al-muqridli (utang menarik kemanfaatan kepada pihak yang menghutangi), secara khusus adalah lebih dekat pada konteks nasabah mendatangi bank untuk motif menabung.
Menabung secara prinsip memang bermakna sebagai akad wadi’ah yad al-dhammanah (titip uang yang disertai adanya jaminan keamanan). Namun, di balik akad itu, pihak nasabah juga berperan selaku pihak yang menghutangi bank (muqridh), sebab uang yang diterima kembali oleh nasabah saat ia menarik uangnya, adalah bukan uang yang sama dengan uang yang ia masukkan ke bank. Uang itu berganti dengan fisik uang lain. Penyerahan harta dengan ganti fisik, merupakan dasar dari akad utang secara hukum (qardhu hukman).
Selanjutnya, sebuah pemberian dari pihak yang dihutangi (qaridh) kepada pihak yang menghutangi (muqridh) disebut riba bilamana pemberian itu adalah disyaratkan di muka saat akad sedang berlangsung antara pihak yang menghutangi dengan pihak yang dihutangi.
Mencermati konsep ini, pihak nasabah tidak pernah mengajukan syarat apapun bahwa bila ia mendatangi pihak perbankan, maka pihak bank harus menyiapkan sebuah merchandise atau permen untuknya. Dengan demikian, karena pihak yang bertindak selaku muqridh dalam hal ini tidak mengajukan syarat apapun melainkan hanya untuk keperluan menabungkan uangnya, maka pemberian yang tidak disyaratkan dari pihak perbankan kepada nasabahnya, adalah justru masuk rumpun pemberian yang diperbolehkan dari pihak yang dihutangi. Rasulullah bersabda, “bahwa sebaik-baik pihak yang berhutang adalah pihak yang paling baik dalam pengembalian utangnya.” Alhasil, tidak ada illat keharaman dalam pemberian tersebut, sebab berada di luar akad.
Jika terhadap nasabah yang datang dan bermaksud menabung (menghutangi bank) saja, pemberian itu tidak masuk akad riba, maka bagaimana hukum itu mau diterapkan ke nasabah yang mendatangi bank untuk maksud mengajukan kredit. Tentu illat keharaman itu tidak masuk sama sekali, sebab pihak yang bertindak selaku yang menghutangi (kreditur) adalah pihak bank.
Pemberian dari Pihak yang Bermuamalah dengan Harta Haram
Alasan lain yang disampaikan oleh pihak yang mengharamkan pemberian merchandise dan permen dari bank ke nasabah adalah karena menurutnya bank itu bermuamalah dengan harta haram.
Tentu alasan semacam ini adalah yang tidak serta-merta bisa dibenarkan begitu saja, sebab bagaimanapun hukum bermuamalah dengan perbankan adalah menempati derajat dharurah lil hajatin nas (darurat karena alasan kebutuhan manusia). Para ulama menetapkan hukumnya dengan membaginya menurut tiga kategori hukum, yaitu halal, haram dan syubhat.
Sebagai solusi keluar dari khilaf pendapat tersebut, para ulama menyarankan agar masyarakat yang terpaksa harus berhubungan dengan bank agar mengambil pendapat ulama yang membolehkan, semisal Abu Su’ud yang menisbatkan kredit pada dunia perbankan adalah merupakan akad baru yang belum pernah ada sebelumnya, sebagaimana bai’ bi al-wafa yang sama pengertiannya dengan akad gadai.
Adapun mengenai hukum memakan makanan yang diberikan oleh pihak yang diduga banyak praktik haramnya, ada sebuah penjelasan dari Syeikh Jalaluddin al-Suyuthi, sebagai berikut:
أما إذا كان الحرام هو الغالب، فالأصل حينئذ أن المعاملة تجوز مع الكراهة، لكن إذا ترتب على ترك المعاملة في هذه الحالة وقوع أحد الطرفين في الحرج أو حالة الضرورة، أو عمت بلوى الناس بذلك، جاز التعامل بلا كراهة؛ لأن وقوع التعامل بالمال الحرام يكون حينئذ محلّ ظن، بينما وقوع الحرج أو البلوى يكون محلّ قطع، والقطع مقدم على الظن، كما أنه قد تقرر في قواعد الفقه الإسلامي أنه إذا تعارضت مفسدتان روعي أعظمهما ضررا بارتكاب أخفهما
“Apabila harta haram itu yang menduduki mayoritas, maka hukum asal bermuamalah dengan pihak sedemikian ini adalah boleh yang disertai dengan kemakruhan. Namun, apabila karena meninggalkan muamalah itu justru bisa menyebabkan salah satu pihak jatuh dalam kesulitan atau kondisi memprihatinkan, atau apabila kondisi bermuamalah dengan pemilik harta haram itu sudah merupakan ‘ammati al-balwa (tidak bisa tidak karena sudah menjadi hal yang umum), maka bermuamalah dengan pemilik mayoritas haram haram adalah boleh tanpa adanya kemakruhan. Mengapa? Karena bermuamalah dengan harta haram dalam kondisi ini menduduki posisi dhan (prasangka). Sementara kesulitan dan kondisi balwa merupakan sesuatu yang pasti (bila ditinggalkan). Oleh karenanya sesuatu yang bersifat pasti harus didahulukan dibandingkan prasangka. Sebagaimana hal ini merupakan yang disinggung dalam qaidah fikih islami sebagai “apabila terjadi pertentangan dua mafsadah, maka yang harus dihindari pertama kalinya adalah mafsadah yang terbesar dalam menimbulkan kerugian sembari tetap berusaha mencari solusi dharar yang paling ringan dari kedua mafsadah itu.” (Jalaluddin Al-Suyuthi, Al-Asybah wa al-Nadzair, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt., halaman 87).
Alhasil, dengan berangkat dari ta’bir ini, maka menerima premen suguhan bank itu atau merchandise, atau lainnya, yang datang dari pihak perbankan, hukum asalnya adalah boleh. Mengapa? Pertama, karena tidak ada kaitannya dengan akad yang dijalin antara nasabah dengan bank. Kedua, Syeikh Jalaluddin al-Suyuthi menjelaskan dalam konteks di atas, adalah ketika harta haram itu bercampur dalam satu kepemilikan yang dijadikan sarana untuk bermuamalah.
Untuk konteks yang kedua ini saja, Syeikh Jalaluddin al-Suyuthi menetapkan statusnya sebagai yang paling hati-hati adalah boleh disertai kemakruhan. Namun, dalam konteks tertentu, beliau menyampaikan sebagai boleh, khususnya bila hajat terhadap fisik barang itu memang sangat dibutuhkan. Alhasil, jangan salah menempatkan dalil, ya?