Yaqut Cholil Qoumas dipilih Presiden Joko Widodo untuk menjadi menteri agama yang baru, mampukah ia menghadapi tantangan-tantangan di depan mata?
Presiden Joko Widodo mengumumkan enam Menteri barunya pada Senin sore, 22 Desember 2020. Ini adalah reshuffle pertama kalinya yang dilakukan oleh Jokowi di periode keduanya. Dua posisi di antaranya, yaitu Menteri Sosial dan Menteri Kelautan dan Perikanan, lowong karena kedua menteri itu tertangkap Komisi Pemberantasan Korupsi. Tri Rismaharani menggantikan posisi Juliardi Batubara sementara Wahyu Sakti Trenggono menggantikan Edhy Prabowo.
Baca juga: Sosok Yaqut Cholil Qoumas, Menteri Agama Baru Pilihan Jokowi
Jokowi memasukkan kompetitornya di Pilpres 2019 lalu, Sandiaga Uno sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menggantikan Wishnutama. Kementerian Kesehatan yang disorot tajam oleh publik karena kurang sigap menghadapi pandemi Covid-19 kini memiliki nahkoda baru pengganti Terawan Agus Putranto bernama Budi Gunadi Sadikin. M. Luthfi, Menteri Perdagangan di era Susilo Bambang Yudhoyono, menempati jabatan itu kembali di era Jokowi menggantikan Agus Suparmanto.
Salah satu yang cukup menyita perhatian adalah masuknya nama Yaqut Cholil Qoumas yang biasa dipanggil dengan Gus Tutut menggantikan Fachrul Razi sebagai Menteri Agama. Politisi Partai Kebangkitan Bangsa berusia 45 tahun itu jarang atau hampir tak pernah disebut dalam bursa menteri agama. Musababnya, ada banyak nama-nama yang lebih familiar dari lingkaran istana, misalnya Yahya Cholil Staquf, kakak kandung Tutut, yang pernah menjadi ajudan Presiden Abdurrahman Wahid. Yahya yang saat ini menjadi Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres) diprediksi oleh banyak pihak bakal menggantikan Razi yang tak terlihat progresnya di Kementerian Agama.
Meski di luar dugaan, nama Tutut sebagai Menteri Agama sungguh sangat bisa diterima. Ia berasal dari keluarga ulama yang sangat disegani di daerahnya. Ia adalah ketua umum Gerakan Pemuda Ansor Nahdlatul Ulama, salah satu gerakan kepemudaan agama yang memiliki ribuan kader di akar rumput. Ia juga pernah menjadi Wakil Bupati Rembang periode 2005-2010 dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (2019-2024). Karenanya, kiprah Tutut di bidang sosial dan politik tak perlu diragukan.
Khususnya aktivitas di organisasi kepemudaan yang lekat dengan semangat moderasi beragama dan kebinekaan, hal tersebut membuat nama Tutut menjadi harapan bagi banyak kalangan, terutama kelompok minoritas yang selama ini kerap mendapat perlakuan diskriminatif baik dari sesama warga dan juga negara. Di tengah menguatnya sentimen agama dan maraknya kasus intoleransi, Tutut diharapkan mampu menjawab persoalan-persoalan yang mengakar di kehidupan keberagamaan di Indonesia.
Baca juga: Menteri Agama Ajak Umat Muslim Bersatu Menolong Palestina
Tantangan
Pada pidato pertamanya, Tutut mengatakan bahwa hal pertama yang ingin ia lakukan adalah menjadikan agama sebagai inspirasi, bukan aspirasi. Agaknya, Tutut sangat terinspirasi dari pernyataan Gus Dur (2000) bahwa agama memiliki kekuatan inspirasional dalam menciptakan kekuatan moral. Karenanya agama harus diposisikan sebagai etika sosial, alih-alih menjadi ideologi formal yang melembaga seperti bentuk negara atau pun aturan perundang-undangan.
Tugas kedua yang ingin dilakukan oleh Tutut adalah membangun kekuatan tiga solidaritas (ukhuwah), yaitu sesama Islam (ukhuwah Islamiyah), sesama warga negara (ukhuwah wathaniyah), dan sesama manusia (ukhuwah basyariyah). Tiga solidaritas yang disebut oleh Tutut pernah diungkapkan oleh KH. Achmad Siddiq, salah seorang ulama kharismatik Indonesia, dan menjadi materi dalam pelajaran keagamaan di berbagai pesantren di Indonesia.
Dua tujuan ini sudah sangat cukup menjelaskan visi Tutut dalam mengemban amanah sebagai Menteri Agama karena selaras dengan semangat moderasi beragama. Konsep ini disuarakan secara masif pada akhir era Lukman Hakim Saifuddin namun sangat jarang dikutip oleh Fachrul Razi. Pidato Tutut setidaknya memberikan angin segar karena moderasi agama kembali terasa menjadi agenda penting di tubuh Kemenag.
Kedua tugas itu tidaklah mudah melihat situasi keberagamaan di Indonesia yang sedang tidak baik-baik saja. Pada tahun 2019 Setara Institute merilis adanya 202 tindakan pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia. 72 tindakan di antaranya dilakukan oleh aktor negara dan 130 lainnya adalah nonnegara. Setara mencatat bahwa saat ini terjadi pergeseran pelaku pelanggaran KBB yang awalnya adalah kelompok intoleran menjadi individu. Tidakan itu dipengaruhi di antaranya oleh lunturnya solidaritas dan keberanian mengekspresikan perbedaan di lingkungan sosial kita hari ini.
Pada tahun 2020, Jaringan Gusdurian mendampingi beberapa kasus intoleransi yang terjadi di Indonesia, utamanya dalam persoalan pembangunan rumah ibadah. Kasus pembangunan Gereja Baptis Indonesia (GBI) Tlogosari Semarang adalah misal bagaimana kelompok minoritas masih kesulitan mendirikan bangunan rumah ibadahnya karena persoalan ‘restu’ warga mayoritas. Kasus tersebut terjadi sejak 1998 dan masih berlangsung hingga hari ini. Kasus serupa pernah terjadi di Manokwari pada 2015 silam di mana pendirian masjid ditolak oleh warga setempat. Sama seperti kasus di Semarang, kasus Manokwari juga disebabkan tidak adanya izin mendirikan bangunan (IMB).
Surat Keputusan Bersama 2 Menteri (SKB 2 Menteri) menguatkan tindakan intoleransi. Peraturan yang diteken oleh Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama pada tahun 2006 tersebut memuat sejumlah pasal bermasalah, seperti pasal 14 yang menyebut syarat mendirikan rumah ibadah. Dalam peraturan tersebut tertulis bahwa izin bisa dikeluarkan apabila ada 90 nama pengguna rumah ibadah yang disahkan pejabat setempat dengan mendapat persetujuan tertulis sedikitnya 60 warga setempat.
Adanya syarat kuantitas menyulitkan kelompok minoritas untuk membangun tempat ibadahnya, terutama di lokasi yang bahkan jumlah keseluruhan warganya tidak mencapai angka minimum. Padahal menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinan masing-masing adalah hak warga yang dijamin oleh konstitusi. Namun peraturan yang dibuat oleh pemerintah sebagai pelaksana konstitusi tersebut justru menyuburkan tindakan intoleransi dan diskriminasi terhadap warga negara minoritas.
Pembuktian
Menteri Agama yang baru punya tugas berat di level kultural dan struktural dalam mewujudkan keadilan konstitusi bagi seluruh warga negara. Dua hal yang disebut dalam pidatonya adalah persoalan kultural karena menempatkan warga sebagai subjek sekaligus objek perubahan. Sementara persoalan di level struktural di mana negara menjadi aktor utama dan pemicu belum tersentuh dalam pidato tersebut.
Baca juga: Prabowo Jadi Menteri dan Mengapa Kita Harus Santai Urusan Politik Kekuasaan Ini
Di level kultural, Kemenag perlu menghidupkan kembali semangat solidaritas yang sudah menjadi jiwa warga negara. Saat ini mengapa solidaritas antarwarga terlihat luntur salah satunya karena kurangnya ruang pertemuan dan ruang publikasi dari perilaku keberagaman. Walhasil, kehidupan keberagaman yang sudah begitu lanyah dipraktikkan oleh sebagian besar warga harus tersingkir dari narasi-narasi kebencian yang terang-terangan dipertontonkan segelintir orang.
Pada level struktural, Tutut mesti berani mengambil langkah tegas untuk merevisi atau bahkan mencabut peraturan warisan yang menjadi sebab terjadinya intoleransi. Ia juga harus membuat terobosan dengan membuat pelbagai kebijakan yang mendorong terjadinya keadilan konstitusional terkait hak beribadah warga negara tanpa membuat pihak lain (terutama mayoritas) merasa kalah. Paradigma win-win solution harus benar-benar menjadi sudut pandang tanpa mengorbankan hak dan keadilan konstitusi warga.
Tugas Tutut tidak mudah karena beban harapan yang dipikulnya saat ini. Sebagai pimpinan tertinggi organisasi pemuda keagamaan yang dikenal menyebar gagasan Islam moderat, ia harus membuktikan bahwa kerja akar rumputnya bisa diimplementasikan di level negara. Jabatan ini adalah tantangan dan kesempatan baginya untuk membuktikan bahwa agama rahmatan lil’alamin (rahmat bagi semesta) bukan sekadar jargon biasa. Ia nyata, ada, dan bisa dirasakan semuanya.
Satu gebrakan positif sudah ditunjukkan oleh Tutut melalui video ucapan selamat Natal yang disambut haru biru. Sepanjang sejarah, jarang sekali ada Menteri Agama yang menyebut umat Kristen dengan Kristiani. Banyak yang menggantinya dengan sebutan Nasrani. Tutut juga menyebut secara langsung Yesus Kristus tanpa menggantinya dengan sebutan lain sepeti Isa Al-Masih. Ini adalah bentuk penghormatan pada keyakinan pemeluk agama tersebut. Sebagai Menteri Agama yang mewakili seluruh agama, tindakan Tutut sudah menunjukkan bahwa ia mampu menempatkan dirinya pada posisi yang semestinya.
Pada kesempatan yang lain Tutut juga menyebut akan mengafirmasi kelompok Ahmadiyah dan Syiah yang kerap mendapat persekusi karena dianggap keluar dari agama Islam. Jika ini dilakukan, Tutut akan menjadi Menteri Agama pertama yang membuka jalan untuk memberi hak konstitusional warga Ahmadiyah dan Syiah. Selama ini kedua kelompok tersebut tidak mendapat perlindungan semestinya dari Negara. Banyak kasus pengusiran dan perampasan hak milik penganut kedua kelompok tersebut yang terbengkalai hingga hari ini.
Tentu saja Tutut akan menemui banyak hambatan, terutama dari kelompok konservatif yang selama ini mempersekusi keduanya. Meski demikian, ia juga akan mendapat banyak dukungan dan sanjungan apabila secara tegas mampu menyediakan rasa aman bagi kelompok-kelompok marjinal. Mungkin ia akan dibenci segelintir orang, tapi ia sudah melakukan amanah konstitusi dan kitab suci. Ya, karena di Al-Quran, kitab suci Agama Islam, Allah menegaskan menciptakan orang secara berbeda-beda. Wallahua’lam.
Sanggupkah Gus Menteri Yaqut Cholil Qoumas menjadi menteri semua agama dengan menjamin hak-hak konstitusi warga negara tanpa terkecuali? Kita lihat saja.