Di Indonesia, istilah-istilah dalam perjalanan haji ada bermacam-macam penyebutannya misalnya Haji ONH Biasa, haji ONH plus, hingga haji backpacker. Namun dalam guyonan masyarakat Banjar, istilah haji bisa bermacam-macam, seperti haji pahayaman (untuk menyebut mereka yang melakukan transaksi kepada jemaah haji resmi dalam melakukan ibadah seperti dam atau badal haji), haji pahandukan (mereka yang berhaji hanya untuk mengambil upah dari jasa prosesi haji atau umrah seperti tawaf dan haji), dan haji turis. Istilah ini terkenal dulu sebelum semua prosesi haji dilaksanakan penuh oleh negara, untuk menyebut mereka yang berangkat tidak melalui jalur resmi atau negara.
Ada juga guyonan sola haji, salah seorang kyai saya membagi haji itu kepada tiga, pertama, haji Nisab atau orang-orang yang berangkat haji karena memang sudah mencukupi dalam soal dana ataupun kemampuan fisik. Kedua, haji Nasab yaitu mereka yang mendapatkan gelar haji sebab lahir di tanah suci mekkah dan kemudian oleh keluarganya dibawa dalam beribadah haji. Ketiga, haji Nasib yaitu mereka yang berangkat haji sebab memang nasib misalnya diberangkatkan oleh orang lain, atau mendapat beban sebagai petugas haji.
Prosesi haji sebagai prosesi yang dilalui oleh manusia selalu memiliki cerita-cerita dalam bingkai kemanusiaan, bahkan maka itu cerita-cerita selalu berwarna sendiri bahkan selalu memberi kesan kepada seluruh jemaah, maka itu haji selalu dirindukan oleh kebanyakan masyarakat muslim. Dari soal kehilangan sandal hingga soal pelayanan ibadah kepada para jemaah.
Dalam sebuah perjalanan yang secara resmi berjumlah pulang pergi 40 hari untuk jemaah biasa dan sekitar 20-30 hari untuk jemaah haji plus, selalu ada cerita-cerita yang mengitari dari perjalanan yang digambarkan sebagai perjalanan nan agung, oleh sebab itu cerita-cerita pada saat orang datang dari perjalanan haji selalu membius orang-orang yang mendengarkannya.
Di tengah hiruk pikuk kehidupan yang sangat padat di kota Mekkah dan Madinah yang bisa dikatakan tidak pernah tidur, seorang jemaah bisa melakukan apa saja di masjidil haram atau Masjid Nabawi khususnya ibadah-ibadah kepada Allah. Mengisi 8 hari di Madinah dan sisanya Mekkah dan sekitarnya selama 29 hari pastilah cukup menguras tenaga dan mental sebab bagi masyarakat Indonesia yang berasal dari iklim tropis sangatlah berbeda dengan iklim di Timur Tengah khususnya Arab Saudi.
Sebuah hadits pernah diperdengarkan oleh pembimbing haji kepada ayah saya, bahwa sesiapa yang tahan akan akan cuaca ekstrim di Madinah maka akan mendapatkan syafaat Nabi, seperti tertuang dalam hadis beliau. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا يَصْبِرُ عَلَى لَأْوَاءِ الْمَدِينَةِ وَشِدَّتِهَا أَحَدٌ مِنْ أُمَّتِي إِلَّا كُنْتُ لَهُ شَفِيعًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَوْ شَهِيدًا
“Tidaklah seseorang dari umatku sabar terhadap cobaan Madinah dan (“kerasnya”) kesusahannya, kecuali aku akan memberikan syafa’at padanya atau menjadi saksi baginya pada hari Kiamat” (HR. Muslim)
Cuaca di Arab Saudi memang sangat berbeda dengan kita di Indonesia khususnya di Madinah, kalau sedang musim dingin maka akan sangat dingin dan ketika musim panas maka juga akan sangat panas. Ada seorang jemaah haji yang pernah bercerita kepada saya bahwa saat pertama kali datang di Madinah di malam hari, maka berniat ke masjid Nabawi sesegera mungkin maka ketika dia bangun di malam hari sekitar jam 3 malam. Besegeralah ia bersiap-siap ke masjid Nabawi, dengan memakai pakaian yang biasa tanpa memakai jaket dan kaos kaki. Pada saat ia keluar dari hotel, maka ia mulai merasakan hawa dingin sebab waktu memang lagi musim dingin.
Namun saat dia melanjutkan perjalanan angin pun semakin berhembus dan dingin yang menusuk tulang semakin menjadi, dan ia pun lari menuju ke arah masjid Nabawi, saat tiba di Masjid Nabawi ia pun terkejut sebab pintu masjid Nabawi tersebut belum dibuka (pada saat itu Masjid Nabawi masih belum dibuka 24 jam walau di musim haji sekalipun). Dan dengan menahan hawa dingin ekstrim tersebut dengan susah payah ia pulang kembali ke hotel.
Cerita soal cuaca ini juga pernah saya dengar dari kawan saya yang pernah berangkat di musim panas, saat ia melakukan umrah sunat di musim haji yang bertepatan di musim panas. Setelah melakukan prosesi tahallul (potong rambut), ia berjalan menuju tempat di mana ia meletakan sandal yang dia pakai sebelum masjidil Haram, terkejutlah ia mendapati tempat tersebut sudah kosong dan sandal miliknya pun termasuk raib.
Dia pun memutuskan pulang tanpa memakai sandal dan membeli sandal di toko dekat masjidil haram yang kira-kira berjarak 200 meter baru ia mendapatkan sandal, kakinya melepuh dan terasa sangat sakit. Karena saking panasnya saat itu, pulangnya pun ia membasahi surban tanpa dibilas untuk mendinginkan tubuhnya namun yang terjadi malah tak sampai 5 menit perjalanan kaki keringlah surban tersebut.
Kembali ke hadits di atas, cuaca sekarang memang cukup ekstrim jadi perlulah persiapan yang cukup dari obat-obatan yang di perlukan, payung, dan banyak membawa baju yang berwarna cerah dan jangan lupa banyak-banyak minum air putih khususnya zam-zam agar tehindar dari dehidrasi.
Dalam perjalanan haji nan suci tersebut, fisik dan mental selalu mendapatkan ujian. Pernah seorang kyai memberikan nasehat bagi sepasang suami istri yang ingin berangkat haji sehabis shalat Hajat bersama untuk mendoakan keberangkatan mereka, beliau berdawuh permasalahan dalam haji tersebut bisa datang dari mana saja, bisa dari diri kita sendiri, dari orang lain atau dari keadaan yang ada di sana. Permasalahan yang terlihat sepele di Indonesia bisa terlihat besar saat menjalankan ibadah haji di Tanah Suci, tegas kyai tersebut.
Rekaman perjalanan Haji ini pasti membuat kesan yang mendalam, dan bisa berbeda dalam setiap pribadi yang menjalaninya. Dalam perjalanan inilah setiap pribadi mengambil pelajaran yang akan membawanya ke pribadi yang lebih baik. Semoga semua yang menjalani perjalanan agung ini akan membawa perubahan baik pada pribadi, keluarga dan bahkan negara kita. []