Perbedaan adalah keniscayaan yang tidak bisa ditolak. Tidak ada satu pun manusia di dunia ini yang bisa memilih sejak lahir. Setiap anak dilahirkan berdasar takdirnya masing-masing. Tidak ada yang bisa memilih menjadi orang Sumatera, Jawa, Sunda, Papua, dan seterusnya. Begitu pula dengan agama. Kita sudah ditakdirkan lahir dalam keluarga Islam, Hindu, Budha, Katolik, Prostestan, dan lain-lain. Tidak ada di antara kita yang bisa bernegosiasi dengan Tuhan untuk dilahirkan dalam keluarga tertentu.
Menghargai keyakinan dan perbedaan ialah sebuah keharusan. Islam melarang pemeluknya untuk memaksakan suatu pendapat ataupun keyakinan terhadap orang yang berbeda. Ada banyak dalil di dalam al-Qur’an dan hadis yang menegaskan hal ini. Misalnya, Allah berfirman, “Tidak ada paksaan di dalam beragama. (al-Baqarah ayat 256)”, Allah berfirman, “Jika Tuhanmu (wahai Nabi Muhammad) menghendaki, tentu dia akan menjadikan semua manusia satu…..(surat al-Hud ayat 118)”
Karenanya, sudah selayaknya kita untuk toleran dengan orang yang berbeda dengan kita. Apalagi negara ini dibangun atas dasar perbedaan. Ada banyak suku, agama, bahasa yang tumbuh di Indonesia. Seluruh keunikan ini mestinya dipertahankan, bukan dijadikan alasan untuk bercerai-berai.
Lukman Hakim Saifuddin mengingatkan agar negara harus mampu mengelola perbedaan ini. Negara mesti melakukan kontrol supaya tidak terjadinya mayoritarianisme, di mana kelompok mayoritas berlaku sewenang-wenang terhadap minoritas. Negara juga harus memberi perlindungan terhadap seluruh warga negara, apapun suku, bangsa, dan agamanya. Jaminan keamanan ini sangat penting dilakukan agar toleransi dan kebebesan menjalankan agama bisa terealisasi sepenuhnya.
Kebebasan beragama tanpa jaminan perlindungan dan keamanan adalah omong kosong. Mustahil bisa bebas menjalankan ibadah tanpa adanya perlindungan dari negara. Habib Ali Al-Jufri dalam Insaniyyah Qabla Tadayyun mengatakan, kebebasan beragama tidak akan terwujud tanpa adanya jaminan keamanan hidup, keamanan masyarakat, dan keamanan publik. Kalau ruang publiknya tidak aman, yang terjadi justru pemaksaan terhadap suatu keyakinan ataupun pendapat. Setiap orang yang memiliki pandangan dan gagasan yang berbeda pasti akan dimusuhi, ditindas, dan diadili.
Inilah yang terjadi pada masa sebelum kedatangan Islam. Masyarakat Arab pada waktu itu tidak terbiasa mengelola perbedaan. Mereka kerapkali memerangi orang yang berbeda. Mereka tidak mengenal adanya relasi damai dengan kelompok yang berbeda. Yang mereka pahami, setiap orang berbeda adalah musuh dan suatu saat akan mengancam eksistensi mereka. Tak heran bila mayoritas masyarakat Arab pada waktu itu tidak menerima ajaran yang dibawa Rasulullah. Mereka malah memerangi dan melakukan kekerasan terhadap Nabi Muhammad dan orang yang mengikutinya.
Sementara Nabi Muhammad tidak memperlakukan orang yang berbeda dengan kekerasan. Beliau tidak pernah memaksa orang untuk masuk ke dalam ajaran Islam. Apalagi memerangi orang yang tidak mau masuk ke dalam agama Islam. Rasulullah mengenalkan relasi damai dalam berinteraksi dengan orang yang berbeda. Manusia sejatinya bisa hidup tenang dan damai meskipun dengan orang yang berbeda agama. Sebab, perbedaan itu adalah keinginan Tuhan yang tidak bisa ditolak dan ditawar manusia. Tidak perlu memaksa manusia untuk hidup dalam satu agama, pandangan, dan keyakinan.
Rasulullah sudah banyak mencontohkan bagaimana hidup dengan perbedaan, sembari memastikan orang yang berbeda merasa aman dan nyaman, dan tidak merasa khawatir bila umat Islam menjadi mayoritas. Ketika Rasulullah berada di Madinah, di antara yang pertama kali dilakukan Rasulullah adalah membangun hubungan damai dengan masyarakat setempat dengan cara membangun persaudaraan antara kaum muhajirin dan anshar, kemudian membuat perjanjian dan aturan hidup bersama dengan kabilah yang sudah lama menetap di Madinah. Perjanjian ini dikenal dengan Piagam Madinah. Isinya secara umum terdiri dari empat hal: mereformasi sistem kesukuan, mengenalkan konsep egalitar, kebebasan beragama, dan menegakkan keadilan.
*Artikel ini didukung oleh Protect Project, UNDP Indonesia, Uni Eropa, dan UNOCT