Petunjuk Hadlratusy Syaikh Hasyim Asya’ari, Pendiri dan Rais Akbar NU bahwa “Kebenaran Itu bersama para ulama As-Sawadul A’dzam; Ahlussunah wal Jama’ah”
Menisbikan (merelatifkan) sebuah kebenaran dengan mengatasnamakan “Hanya Allah yang mengetahui atau hanya Allah yang berhak menafsirkan” adalah ucapan indah, terkesan bijaksana tapi konyol yang tidak lebih dari upaya untuk menutupi kekurangan dan kesalahan.
Para Ulama Ahlussunnah wal Jamaah dari generasi ke generasi sudah berijma’ (sepakat) bahwa untuk meraih kebenaran bagi orang awam, maka cukup taqlid dan mengikuti para ulama As-Sawadul Adzam, Ahlul Haq yang mu’tabar.
Dalam Risalah Ahlus Sunnah Wal Jamaah, karya Hadlratusy Syaikh M. Hasyim Asya’ari hal. 14 – 15.
Selanjutnya Mbah Hasyim menegaskan :
…..وَلِأَنَّ فَهْمَ الْعَامِيِّ مِنَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ سَاقِطٌ عَنْ حَيِّزِ اْلإِعْتِبَارِ إِنْ لَمْ يُوَافِقْ أَفْهَامَ عُلَمَاءِ أَهْلِ اْلحَقِّ اْلأَكَابِرِ الْأَخْيَارِ ………(رسالة أهل السنة والجماعة لحضرة الشيخ محمد هاشم أشعري، ص : 16)
“….. karena pemahaman orang awam terhadap Al Qur’an dan As Sunnah itu gugur (tidak boleh dijadikan pegangan), jika tidak sesuai dengan pemahaman para Ulama Ahlul Haq yang agung dan pilihan…”
Dalam hal ini, Al-Imam asy-Syafi’i radhiyallahu ‘anhu berkata,
“Barangsiapa menilai dirinya sendiri lebih dari yang semestinya, maka Allah akan membuka kedoknya di hadapan manusia.”
Perkataan beliau di samping menganjurkan kepada kita untuk senantiasa tawadlu’ (rendah hati), juga termasuk dalam hal ini adalah bersikap ‘tahu diri’. Sadar bahwa seorang yang tidak mampu ber-istinbath (mengeksplorasi hukum langsung dari Alqur’an dan hadis yang merupakan kewenangan seorang mujtahid) harus menempatkan diri sebagai pengikut; muqallid pada para mujtahid sebagaimana Imam Malik, Abu Hanifah, Al Imam Asy Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal.