Ada takbir yang dibenci Rasulullah, apakah itu? Pada dasarnya, lantunan takbir merupakan bagian tak terpisahkan dengan Islam. Dalam shalat, takbir merupakan salah satu rukun yang harus diucapkan.
Saat hari raya idul fitri – idul adha disunnahkan memperbanyak takbir, bahkah saat lempar jumrah dianjurkan mengucapkan kalimat takbir. Sepintas, dari itu semua Islam telah mengajarkan pemeluknya betapa pentingnya takbir.
Dalam banyak literatur Islam disebutkan bahwa para sahabat nabi (dan umat Islam pada umumnya) dianjurkan memperbanyak takbir, tasbih dan tahmid untuk mengingat Allah setiap saat. Tidak hanya saat melakukan ibadah saja. Bahkan Imam An-Nawawi dalam kitabnya Al-Adzkar An-Nawawiyah meriwayatkan bahwa para sahabat saat melakukan perjalanan seringkali membaca takbir.
روينا في “صحيح البخاري” عن جابر رضي الله عنه قال: كنا إذا صعدنا كبرنا، وإذا نزلنا سبحنا
Artinya:“Diriwayatkan kepada kami dalam Shahih Bukhari dari Jabir RA, ia berkata, ‘Bila melintasi jalan menanjak, kami bertakbir. Ketika melewati jalan menurun, kami bertasbih,’” (Imam An-Nawawi, Al-Adzkar, [Damaskus: Darul Mallah, 1971 M, h. 190).
Hadis riwayat Jabir ini memperjelas bahwa pada hakikatnya melafalkan takbir merupakan salah satu perbuatan yang disukai Rasulallah dan para sahabatnya. Melafalkan takbir juga tak mensyaratkan ruang dan waktu tertentu. Artinya seorang muslim sah-sah saja melantunkan kalimat takbir kapanpun dan dimanapun.
Bersamaan dengan itu, perlu digaris bawahi bahwa melafalkan takbir bebas nilai. Sehingga pelakunya diperbolehkan mengucapkan takbir bagaimanapun dan untuk apapun. Akan tetapi dalam melafalkan takbir harus dibarengi dengan sopan santun, sifat dan sikap lemah lembut, serta niat dan tujuan yang tepat. Karena pada hakikatnya lafal takbir digunakan untuk mengingat dan mendekatkan diri kepada Allah. Maka pelakunya harus memenuhi sifat-sifat dan sikap yang pantas di haribaan Allah.
Maka apalah arti takbir jika dilakukan dengan hentakan yang menakutkan dan disertai dengan caci-maki dan hasutan? Yang demikian justru akan semakin menjauhkan Allah dari pelakunya. Alih-alih ketika takbir digunakan untuk memperseksi orang serta digunakan untuk kepentingan politis. Tentu takbir yang demikian sangat dibenci oleh Allah dan rasul-Nya.
Dalam lanjutan hadis yang dikutip Imam An-Nawawi disebutkan bahwa Rasulallah memarahi sahabatnya yang meneriakkan kalimat takbir.
وروينا في “صحيحيهما” عن أبي موسى الأشعري رضي الله عنه قال: كنا مع النبي صلى الله عليه وسلم، فكنا إذا أشرفنا على واد هللنا وكبرنا وارتفعت أصواتنا، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: “يا أيها الناس اربعوا على أنفسكم، فإنكم لا تدعون أصم ولا غائبا، إنه معكم، إنه سميع قريب”
Artinya, “Diriwayatkan kepada kami dalam Shahih Bukhari dan Muslim dari Sahabat Abu Musa Al-Asy’ari, ia bercerita bahwa bila melewati sebuah lembah, kami saat bersama Rasulullah SAW membaca tahlil dan takbir. Dan suara kami meninggi, lalu Rasulullah SAW mengingatkan, ‘Wahai manusia, bersikaplah yang lembut terhadap diri kalian karena kalian semua tidak sedang menyeru tuhan yang tuli dan ghaib. Dia bersama kalian. Dia maha mendengar, lagi dekat,” (Imam An-Nawawi, Al-Adzkar, [Damaskus: Darul Mallah, 1971 M], h. 190-191).
Riwayat hadis tersebut menerangkan betapa murkanya Rasullah terhadap sahabatnya yang meneriakkan kalimat takbir. Sebab, menurut Rasulallah kalimat takbir adalah kalimat thayyibah yang secara spesifik digunakan untuk menyeru Allah. Dan Allah itu sendiri sangat dekat bersama manusia. Tentu, menyeru Allah dengan takbir tidak perlu diteriakkan dan apalagi dihentakkan ke muka orang.
Bersamaan dengan itu, dalam hadis itu pula diterangkan bahwa Rasullah menyeru manusia (dalam konteks ini adalah umat muslim) untuk bersikap yang lembut dan penuh sopan santun. Apalagi sedang menyebut lafat Allah/takbir, mesti harus disertai dengan perbuatan baik, niat yang tulus bukan dibarengi dengan caci-maski, hentakan dan niat politis.
Maka takbir yang dimaksudkan untuk kasus persekusi atau takbir aktor politik berkedok ustadz sangat dilarang dan dimurkai oleh Allah dan Rasul-Nya.