Hubungan ulama dengan penguasa, pemimpin (umara) dalam sejarah bangsa Indonesia bukanlah sesuatu yang asing lagi didengar. Sejarah telah banyak mencatat hubungan itu dalam praktek pemerintahan. Tidak heran jika Presiden Joko Widodo pada pemerintahan jilid ke-II mengangkat wakilnya dari kalangan ulama.
Terlepas dari ‘kepentingan’ politik yang melingkupinya. Presiden Jokowi tentu telah mempertimbangkan matang-matang pilihannya tersebut. Mengingat ulama sebagai kelas menengah terhormat, dalam sejarahnya tidak dapat dipandang sebelah mata.
Hubungan erat ulama dan penguasa (raja) merupakan salah satu karakteristik yang menonjol di Nusantara, jauh sebelum Indonesia berdiri sebagai sebuah bangsa yang modern, yakni masa pra-kolonial. Di Samudera Pasai misalnya, kerajaan Islam pertama di Nusantara pada abad ke-13, hubungan erat ulama dan raja telah terjadi.
Ibnu Battuta, penjelajah terbesar Arab yang mengunjungi Samudera Pasai pada tahun 1345, melaporkan bahwa raja Samudera Pasai yang saat itu dipimpin Sultan Malik al-Zahir sangat gemar belajar Islam kepada ulama. Lebih jauh, Ibnu Battuta menyebutkan bahwa keberadaan lingkaran pengajaran Islam di istana, dimana ulama dan elit kerajaan terlibat dalam sebuah diskusi Islam (Burhanudin, 2012).
Hal yang sama pun terjadi di Kerajaan Malaka pada awal abad ke-15, yang menggambarkan secara detail peran penting ulama dalam kerajaan. Sejarah Melayu menyebutkan ulama memiliki posisi terhormat di dalam istana, sebagai penasehat raja dan pejabat resmi istana (Burhanudin, 2012). Maka, tidak heran jika dengan keahlian yang dimilikinya sebagai orang yang ahli ilmu-ilmu agama, ulama sering dijadikan legitimasi kekuasaan dan politik.
Salah satu yang sering dijadikan legitimasi kekuasaan melalui ulama adalah pemberian gelar dan fatwa. Pemberian gelar yang dilakukan oleh ulama untuk memperkokoh kekuasan pemerintahannya ini, salah satunya dapat dilihat ketika raja Banten Sultan Abul Mafakhir Abdul Qadir al-Jawi al-Syafi’i memperoleh gelar sultan dari Makkah, yang dalam perjalanannya menginspirasi Sultan Agung di Mataram menggunakan gelar serupa pada tahun 1641 melalui utusan yang dikirim ke Makkah (Bizawie, 2019).
Pemberian gelar ‘sultan’ dalam konteks kekuasaan para raja-raja di Nusantara ini, bukanlah sesuatu yang aneh. Mengingat hal itu untuk memperkokoh dirinya sebagai wakil Tuhan (khalifah) di muka bumi yang harus diikuti wewenangnya.
Hal lain yang tidak kalah menarik dari sekedar pemberian gelar adalah legitimasi kekuasaan melalui fatwa-fatwa atau pegangan dalam bentuk kitab. Salah satunya dapat dilihat misalnya, melalui kitab Tajul Salatin (Mahkota Segala Raja-Raja). Sebuah kitab yang ditulis oleh Bukhari al-Jauhari di Aceh, pada tahun 1603. Kitab ini, dalam perkembangannya memiliki peran yang begitu kuat sebagai salah satu teks politik terpenting dari dunia melayu dan Nusantara abad ke-17.
Teks penting ini bukan saja digunakan oleh kerajaan-kerajaan yang berkedudukan di wilayah melayu saja seperti Aceh, melainkan juga di Jawa. Bahkan kitab Tajul Salatin ini pernah disalin di Kraton Yogyakarta pada 1831, dan digunakan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I dalam menjalankan politik di kerajaannya. Sehingga kitab Tajul Salatin ini pun telah mendapat pujian sebagai teks yang memiliki ‘pengaruh besar terhadap ide-ide Melayu’. Dimana ia telah menjadi elemen inti dalam pembentukan tradisi politik di Melayu dan Indonesia. (Bizawie, 2019).
Secara keseluruhan isi kitab Tajul Salatin yang memiliki 24 pasal ini mempunyai nilai-nilai penting terkait keagamaan, moral Islam, dan pedoman raja-raja yang memerintah kerajaan pada waktu itu. Salah satu pasal yang masih relevan untuk dihayati sebagai pedoman berpolitik saat ini, khususnya sebagai tambahan dari tujuh permintaan Presiden Jokowi terhadap menteri-menterinya, adalah pasal ke-13 yakni, sifat-sifat pegawai pemerintahan yang terdiri dari 8 poin:
Pertama, seorang pegawai raja, penguasa, presiden atau pemimpin harus mengakui bahwa hak Allah berlaku untuk pemimpin, dan mengetahui bahwa pemimpin adalah hamba Allah.
Kedua, seorang pegawai pemimpin, penguasa, presiden, atau raja harus menyukai pemimpinya.
Ketiga, harus jujur dan setiap perbuatannya atas rida Allah dan pimpinannya.
Keempat, harus takut kepada Allah daripada pemimpinnya. Kelima, harus mengingatkan pemimpinnya ketika berbuat sewenang-wenang. Keenam, sebagai seorang pegawai harus bekerja dengan sungguh-sungguh dan menyempurnakannya. Ketujuh, harus patuh kepada pemimpin dalam kebaikan dan menolak perintah buruk. Kedelapan, harus sopan dan bertata krama ketika menghadap kepada pemimpin (Fathoni, 2016).
Meski kitab Tajul Salatin ini telah ditulis berabad-abad yang lalu, namun sepintas kitab ini masih relevan jika dikontekstualisasi pada masa sekarang. Utamanya tentu sebagai tambahan legitimasi Presiden Jokowi dalam menjalankan tugasnya. Terutama poin 6 yang hampir sama dengan permintaan Presiden Jokowi, berkerja itu harus berorientasi hasil nyata.
Hal ini tentu tidak bisa dilepaskan dari sebuah proses yang harus dilakukan dengan sungguh-sungguh. Mungkin jika kitab ini dijadikan rujukan di masa sekarang, tidak menutup kemungkin ‘ide-ide besar Nusantara’ ini akan terus langgeng di masa-masa yang akan datang, apalagi presiden saat ini tidak melupakan sejarah bangsa dengan menggandeng ulama dalam kerja-kerja politiknya.
Artikel ini diterbitkan kerja sama antara islami.co dengan Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kemkominfo