Tajikistan Terbitkan Aturan Pelarangan Jilbab untuk Atasi Ekstremisme Agama, Kalis Mardiasih: Itu Juga Bentuk Kekerasan Negara terhadap Warganya

Tajikistan Terbitkan Aturan Pelarangan Jilbab untuk Atasi Ekstremisme Agama, Kalis Mardiasih: Itu Juga Bentuk Kekerasan Negara terhadap Warganya

Pemerintah Tajikistan terbitkan keputusan yang mengejutkan banyak orang. Negara Asia Tengah dengan 10 juta penduduk ini 96%-nya adalah Muslim, dan mereka yang perempuan harus tunduk di bawah aturan pelarangan jilbab.

Tajikistan Terbitkan Aturan Pelarangan Jilbab untuk Atasi Ekstremisme Agama, Kalis Mardiasih: Itu Juga Bentuk Kekerasan Negara terhadap Warganya

Pemerintah Tajikistan mengklaim bahwa aturan pelarangan jilbab merupakan upaya untuk “melindungi nilai-nilai budaya nasional” dan “mencegah takhayul dan ekstremisme” ~ hmm

Jakarta, Islami.co – Sebagai sebuah kata, “disiplin” terdengar memiliki makna positif. Ia lekat sekali dengan gaya hidup orang-orang sukses. Tapi bagaimana dengan pendisiplinan? 

Pendisiplinan di dalam dirinya mengandung konsekuensi serius. Ia bisa menentukan hajat hidup orang banyak. 

Ideologi pendisiplinan biasanya beroperasi melalui serangkaian aturan-aturan atau rekomendasi. Misalnya, baru-baru ini Pemerintah Tajikistan mengesahkan undang-undang pelarangan penggunaan “pakaian asing”, disetujui oleh majelis tinggi parlemen Majlisi Milli pada 19 Juni 2024 pekan lalu. 

Termasuk di antara yang dimaksud oleh UU itu tentu saja adalah pelarangan penggunaan hijab bagi perempuan muslim, dan turban serta kopiah bagi lak-laki. 

Pemerintah setempat mengklaim bahwa aturan itu merupakan upaya untuk “melindungi nilai-nilai budaya nasional” dan “mencegah takhayul dan ekstremisme”.

Sebagai gantinya, warga Tajikistan didorong untuk mengenakan pakaian nasional Tajik. Mereka yang melanggar aturan itu pun akan dikenai denda dengan skala mulai dari 7.920 somoni Tajikistan (sekitar 12 juta rupiah) untuk warga biasa, 54.000 somoni (82-an juta rupiah) untuk pejabat pemerintah, dan 57.600 somoni (sekitar 87-an juta rupiah) jika dilakukan tokoh agama.

Bukan hanya soal fesyen, undang-undang itu rupanya juga mempengaruhi beberapa praktik keagamaan. Misalnya adalah tradisi iydgardak, di mana anak-anak secara bergiliran mengunjungi rumah warga untuk silaturahmi dan mengumpulkan uang saku pada hari raya Idul Fitri. Tradisi yang telah berlangsung berabad-abad di Tajikistan itu pun tak berkutik di hadapan regulasi.  

Keputusan itu jelas mengejutkan banyak orang, mengingat negara Asia Tengah dengan sekitar 10 juta penduduk ini 96% Muslim, menurut sensus terakhir pada tahun 2020. Namun, hal itu agaknya memang mencerminkan garis politik yang telah dikejar oleh pemerintah Tajikistan sejak akhir abad ke-20.

Kekerasan Negara terhadap Warga

Berkuasa pada 1994, “presiden seumur hidup” Tajikistan, Emomali Rahmon, memang ingin menjadikan negara tersebut sekuler. Bahkan sebelum RUU pelarangan pakaian asing dirilis, Tajikistan memang sudah membatasi dan melarang penggunaan hijab dan atribut keagamaan di lingkungan sekolah dan tempat kerja.

Dengan aturan baru tersebut, pemerintahan Rahmon ingin memperluas aturan itu dengan melarang atribut keagamaan terutama hijab di ruang-ruang publik.

Kalis Mardiasih, aktivis dan pengamat isu perempuan, menyebut jika alasan UU pelarangan “pakaian asing”, termasuk jilbab, yang dikaitkan dengan gerakan ekstremisme agama itu kurang masuk akal. Katanya, hal itu justru merupakan bentuk kekerasan yang lain.      

“Pemerintahnya melarang untuk mencegah ekstremisme berbasis agama, padahal perilaku melarang pilihan berpakaian warga negara itu juga bentuk kekerasan negara terhadap warganya,” ujarnya saat dihubungi islami.co.

Iman atau Karir, Dilema Muslim Tajikistan 

Seorang perempuan Tajikistan bernama Salomat menceritakan keluhannya terhadap aturan pelarangan penggunaan atribut keagamaan. Katanya, setelah lulus sekolah kedokteran beberapa tahun lalu, Salomat terpaksa harus bekerja sebagai tukang pijat di salon kecantikan di Ibu Kota Dushanbe. 

Hal itu ia lakukan bukan karena tidak mampu bersaing di dunia medis, melainkan rumah sakit di Tajikistan melarang sepenuhnya penggunaan hijab.

Walau demikian, Salomat rela sempat melepas hijabnya demi menyelesaikan pendidikan tingginya di sekolah kedokteran. Hanya saja ia tak menyangka jika pilihan sulit itu harus berlanjut ketika ia dihadapkan pada pilihan antara mempertaruhkan karir atau keimanannya saat hendak mulai bekerja.

“Saya harus memilih antara karier dan keyakinan saya, dan saya memilih yang terakhir,” kata Salomat, seperti dikutip Radio Free Europe. “Saya memang sempat melepas hijab saat kuliah karena saya pikir itu hanya sementara. Tapi karier adalah untuk seumur hidup.”

FYI, Salomat hanya 1 dari jutaan perempuan muslim lainnya di Tajikistan yang menghadapi dilema serupa, menyusul pemerintah sekuler di Dushanbe yang semakin ketat menerapkan pelarangan jilbab di sekolah dan tempat kerja.