Tajikistan Bukan Negara Pertama yang Larang Warganya Gunakan Jilbab, Berikut Daftar Sesepuhnya 

Tajikistan Bukan Negara Pertama yang Larang Warganya Gunakan Jilbab, Berikut Daftar Sesepuhnya 

Di Eropa, pakaian atau simbol agamis, termasuk dalam hal ini hijab atau jilbab, telah menjadi titik perdebatan di sejumlah negara. Beberapa membela hak-hak kebebasan berpakaian, tapi kebanyakan justru meregulasi perempuan di level fesyen.

Tajikistan Bukan Negara Pertama yang Larang Warganya Gunakan Jilbab, Berikut Daftar Sesepuhnya 
Gisele Marie, seorang musikus asal Brasil, menjadi salah satu simbol hijab mental. Source: Al Arabiya News

Pemerintah Tajikistan belum lama ini ngeluarin peraturan yang bisa bikin tutup toko-toko busana muslim. Soalnya, peraturan ini melarang segenap warga negara menggunakan “pakaian asing,” termasuk jilbab, turban, gamis, udeng-udeng, dan baju agamis lainnya.

Bukan main, mereka yang melanggar aturan baru tersebut bakal kena denda lumayan gede untuk ukuran rupiah yang sedang anjlok di bawah rezim dolar Amerika. 

Walaupun beda-beda tergantung siapa pelanggarnya, warga biasa tetap saja kena denda sekitar 12 juta rupiah. Lebih-lebih pejabat pemerintah yang bisa kena 82 juta rupiah, dan yang paling gede dendanya bisa kena 87 juta rupiah, yaitu para tokoh agama. 

Presiden Tajikistan, Emomali Rahmon, memang udah lama nawarin ide ini. Soalnya, dia kepengin negara Tajikistan lebih ke arah negara sekuler dengan, salah satunya, punya identitas nasional yang seragam. 

Imbasnya, pakaian religius dianggap pemerintah sebagai simbol ekstremisme, ketika banyak orang salah paham dengan kelakuan sebagian umat beragama dan, lebih dari itu, terpicu oleh kecemasan Islamofobia

Negara Eropa Lainnya

Di Eropa sendiri, pakaian atau simbol agamis, dalam hal ini hijab atau jilbab, telah menjadi titik perdebatan di sejumlah negara.

Misalnya, Politisi sayap kanan Belanda Geert Wilders—yang partainya baru-baru ini membentuk pemerintahan setelah meraih kemenangan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam pemilihan umum—telah lama mengusulkan larangan hijab sebagai bagian dari serangkaian tindakan anti-Islam yang lebih besar, termasuk larangan kitab suci Muslim, Al-Qur’an, dan migran non-Barat.

Pada tahun 2004, Prancis memperkenalkan undang-undang yang melarang pemakaian “simbol atau pakaian yang secara mencolok menampilkan afiliasi keagamaan siswa,” termasuk hijab, di sekolah dasar negeri, sekolah menengah pertama, dan sekolah menengah atas, tetapi tidak di universitasnya.

Undang-undang serupa disahkan di Austria pada tahun 2017, melarang jilbab di sekolah untuk anak-anak hingga usia 10 tahun, dengan orang tua menghadapi kemungkinan denda 7,7 jutaan rupiah jika mereka memilih mengirim anak-anak mereka ke sekolah mengenakan hijab.

Italia telah melarang pakaian renang mirip hijab, yang juga dikenal sebagai “burkini,” dari kolam renang dan pantainya sejak 2009. Beberapa kasus wanita yang didenda atau dilarang berenang atau berjemur di tempat umum telah menyebabkan keributan dalam beberapa tahun terakhir, terutama di bagian utara negara itu.

Selain itu, Jerman, Belgia, Norwegia, dan Bulgaria semuanya juga memiliki undang-undang yang melarang penggunaan pakaian penutup wajah, yang dikenal sebagai burqa, di sekolah atau institusi publik.

Pro-Kontra

Penentang undang-undang semacam itu berpendapat bahwa melarang hijab, terutama di negara-negara sekuler, adalah jalan licin yang dapat melihat komunitas Muslim di Eropa semakin terpinggirkan di masa depan. 

Beberapa argumen lainnya mengklaim ini adalah masalah hak-hak perempuan: bahwa wanita juga harus memiliki hak untuk memilih mengenakan salah satu jika mereka merasa itu adalah bagian dari identitas mereka. 

Lain halnya dengan mereka yang pro terhadap UU larangan simbol agama. Mereka yang menentang hijab dan burqa mengatakan bahwa pilihan wanita tentang bagaimana berpakaian harus diregulasi dan dibatasi. 

Sebetulnya argumen itu gak ada bedanya dengan upaya pendisiplinan tubuh di beberapa negara yang menerapkan sistem syariat dengan mewajibkan semua perempuan berjilbab.  

Tapi yah, sekarang ini memang kembali lagi ke rezim yang sedang berkuasa. Beberapa negara mayoritas Muslim nyatanya juga melarang burqa dan hijab di sekolah umum, universitas, atau gedung pemerintah, termasuk Tunisia (sejak 1981, sebagian dicabut pada tahun 2011), Kosovo (sejak 2009), Azerbaijan (sejak 2010), Kazakhstan, dan Kirgistan.

Kebebasan Memilih

Pada tahun 2013, pemerintah Konservatif David Cameron menolak seruan untuk melarang burqa di tempat umum atau ruang publik. Katanya, “perempuan harus memiliki kebebasan untuk memilih apa yang akan dikenakan”.

Di Irlandia, Leo Varadkar juga menolak kemungkinan larangan burqa pada tahun 2018. Dia mengatakan, “saya tidak setuju dengan doktrin setiap agama atau mungkin agama apa pun, tetapi saya percaya pada kebebasan beragama.”