Setelah pada tulisan-tulisan sebelumya diakhiri dengan pesan dan hikmah bahwa pada akhirnya umat manusia akan dikumpulkan (Tafsir Yasin Ayat 32), ayat ini kembali berbicara mengenai kaum musyrik Mekah. Tiga ayat ini mengajak agar mereka, dan kita semua, untuk memerhatikan alam sekitar, setelah sebelumnya kita diajak untuk belajar dari pengalaman sejarah umat terdahulu.
Jika pada penjelasan ayat yang lalu ditegaskan tentang adanya hari di mana manusia semua akan dihimpun, yakni pada Hari Kebangkitan. Maka pada ayat ini menguraikan bukti kekuasaan Allah SWT membangkitkan dan menghidupkan yang telah mati. Allah SWT berfirman:
وَآيَةٌ لَهُمُ الْأَرْضُ الْمَيْتَةُ أَحْيَيْنَاهَا وَأَخْرَجْنَا مِنْهَا حَبًّا فَمِنْهُ يَأْكُلُونَ () وَجَعَلْنَا فِيهَا جَنَّاتٍ مِنْ نَخِيلٍ وَأَعْنَابٍ وَفَجَّرْنَا فِيهَا مِنَ الْعُيُونِ () لِيَأْكُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ وَمَا عَمِلَتْهُ أَيْدِيهِمْ أَفَلَا يَشْكُرُونَ ()
Wa aayatun lahum al-ardhu al-maytatu ahyaynaa haa wa akhrajnaa minhaa habban faminhu ya‘kuluun. Wa ja’alna fiihaa jannaatin min nakhiilin wa a’naabin wa fajjarnaa fiihaa min al-‘uyuun. Liya‘kulu min tsamarihi wa maa ‘alimathu aydiihim afalaa yasykuruun.
Artinya:
“Dan suatu tanda (kebesaran dan kekuasaan Allah SWT) bagi mereka adalah bumi yang mati (kering dan tandus, lalu) Kami menghidupkannya (dengan air hujan) dan Kami keluarkan darinya biji-bijian, maka darinya mereka makan. Dan Kami (juga) telah menjadikan padanya kebun-kebun kurma dan anggur, dan Kami pancarkan padanya beberapa mata air. Supaya mereka dapat makan dari buahnya, dan dari apa yang diusahakan oleh tangan mereka. Maka tidakkah mereka bersyukur?” (QS: Yasin Ayat 33-35)
Ibnu Jarir al-Thabari dalam Jami’ al-Bayan menafsirkan ayat 33 di atas dengan penjelasan bahwa ayat ini merupakan dalil/argument bagi orang-orang musyrik Mekah atas kekuasaan Allah SWT untuk menghidupkan kembali semua makhluk-Nya yang telah mati. Sebagaimana Dia kuasa untuk menghidupkan tanah yang kering dengan menurunkan hujan sehingga tanah tersebut kembali subur dan tanah itu mengeluarkan biji-bijian yang kemudian menjadi makanan bagi makhluk hidup lainnnya. Kemudian dari biji-bijian tersebut dapat terciptalah kebun-kebun kurma dan anggur, serta dari tanah subur itu mengalir sungai-sungai.
Terkait ayat 35, menurut al-Thabari ayat ini menegaskan bahwa manusia yang dalam hal ini orang-orang musyrik Mekah sebagai pendengar wahyu pertama, mengkonsumsi makanan dari kebun-kebun yang telah dialiri air atas Kuasa Allah SWT. Selain itu, Allah SWT juga menghargai jerih payah mereka sendiri (wa maa ‘amilat aydiihim) atas apa yang mereka tanam dengan tangan-tangan mereka.
Imam al-Qusyairi berpandangan bahwa tatkala konsep tentang kebangkitan dianggap rumit oleh kaum musyrik Mekah, melalui ayat ini Allah SWT membuat perumpamaan dengan menghidupkan tanah kering dengan menurunkan hujan sehingga kembali hidup karena pohon-pohon yang tumbuh subur. Perumpamaan seperti ini menurut al-Qusyairi dapat dipahami oleh orang-orang musyrik Mekah. Namun demikian, bagi al-Qusyairi penerimaan dan penolakan atas kebenaran ajaran Nabi Muhammad kembali kepada mereka dan juga atas kehendak Allah SWT untuk memberikan mereka hidayah atau tidak.
Lalu atas penjelasan di atas, al-Qusyairi geram dengan kelompok yang meragukan ilmu ushul fiqh dengan enteng mengatakan bahwa ilmu semacam ini tidak ada dalilnya dalam al-Quran. Ia mengatakan, “bagaimana mungkin mereka meragukan ilmu ushul fiqh? Sementara al-Quran dalam banyak ayatnya menggunakan metode istidlal (contoh kontekstual), dan menetapkan hikmah dengan argumentasi akal.
Akhir kalimat dari ayat 33 faminhu ya‘kuluun (maka dari biji-bijian mereka makan), menurut al-Zamakhsyari mengisyaratkan tentang pentingnya biji-bijian (habban) untuk kelangsungan kehidupan makhluk hidup di mukabumi. Bila saja makhluk kekuarangan tumbuh-tumbuhan, artinya mereka kekurangan makanan. Lalu akan timbul kerusakan dan musibah yang menimpa makhluk hidup.
Menurut Ibnu ‘Asyur ayat di atas berkedudukan sebagai ‘athaf (kalimat berkaitan) dengan ayat 13, karena sama-sama sebagai perumpamaan bagi orang-orang musyrik Mekah.
Quraish Shihab dalam Al-Misbah menerangkan bahwa kata ahyayna (kami menghidupkan) dan kata akhrajna (kami mengeluarkan) pada ayat 33 dengan memakai kata orang pertama jamak, mengisyaratkan adanya keterlibatan selain Allah SWT dalam menghidupkan bumi dan mengeluarkan tumbuh-tumbuhan. Keterlibatan yang dimaksudkan disini adalah keterlibatan manusia dalam menghidupkan dan merawat bumi dari keadaan kering kerontang.
Kata ‘amila pada ayat 35 di atas, menurut Quraish berbeda dengan kata fa’ala, meskipun keduanya sama-sama berarti mengerjakan. Kata ‘amila digunakan untuk suatu pekerjaan yang disertai dengan maksud dan tujuan tertentu oleh pelakunya. Karena itu, kata ini selalu dinisbatkan kepada manusia sebagai makhluk yang memiliki tujuan, bukan kepada binatan maupun benda mati. Makna kata ini pula yang dapat diketahui bahwa ada amal yang baik dan juga ada amal yang buruk.