Tentu bagi seorang anak atau orang tua mengharapkan anaknya bahagia di dunia dan di akhirat kelak. Di dalam Al-Quran, terkenal kisah Luqman yang memberikan nasihat ketakwaan kepada anaknya. Mufassir Kontemporer seperti al-Sya’rawi dalam salah satu ceramahnya menyatakan pentingnya membaca surat Luqman sebagai pengingat ketakwaan.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمْ وَاخْشَوْا يَوْمًا لَا يَجْزِي وَالِدٌ عَنْ وَلَدِهِ وَلَا مَوْلُودٌ هُوَ جَازٍ عَنْ وَالِدِهِ شَيْئًا إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَلَا يَغُرَّنَّكُمْ بِاللَّهِ الْغَرُورُ (33)
“Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu dan takutilah suatu hari yang (pada hari itu) seorang bapak tidak dapat menolong anaknya dan seorang anak tidak dapat (pula) menolong bapaknya sedikitpun. Sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan kamu, dan jangan (pula) penipu (syaitan) memperdayakan kamu dalam (mentaati) Allah.”
Dalam tafsir Ibnu Katsir, ayat ini merupakan seruan Allah kepada setiap manusia pada hari kiamat kelak. Perintah untuk bertakwa dan selalu memiliki sifat khauf akan rahmat Allah SWT. Kata la yajzi walidun an waladih wa la mauludun diartikan dengan jika seandainya mereka ingin menebus segala dosa seorang anak atau seorang orang tua niscaya tidak akan diterima jaminan tersebut. Karena itu bisa membuat terpana untuk selalu bertakwa kepada Allah Swt.
Ayat tersebut juga menyebutkan bahwa seorang ayah tidak akan menerima manfaat ketika bermaksiat kepada Allah karena anaknya, begitu juga dengan sebaliknya. Seorang anak yang berbakti kepada orang tua namun dengan jalan yang jauh dari ajaran agama Islam.
Di sisi lain, Ibnu Abbas, Qatadah, Ibnu Katsir mengartikan bahwa jangan sampai tipuan syaitan membuatmu terlena artinya keluarga menjadi sarana untuk memperkuat dan menjadi ladang amal saleh di akhirat kelak.
Adapun kata la yajzii, berarti la yaqdhi, wa la yughni dalam surat Luqman di atas artinya tidak akan ikut memutuskan baik atau tidak akan cukup membantu. Menurut al-Thabari ayat ini diserukan kepada orang-orang musyrik Makkah, ketika pada masa Nabi. Dalam ayat ini ditegaskan untuk selalu menjaga ketakwaan kepada Allah, dan takut akan hari pembalasan, ketika seorang ayah atau anak tidak cukup untuk saling membantu dan menolong. Artinya tidak ada syafaat dan perantara orang lain yang bisa memberikan manfaat pada hari itu.
Al-Thabari melanjutkan bahwa sekalipun pada hari pembalasan tidak ada yang bisa saling menolong, akan tetapi ada perantara (washilah) yang bisa membantu dan memberikan pertolongan bagi orang-orang yang beriman dan bertakwa. Menurut al-Thabari, washilah orang saleh yang memberikan kebaikan dan manfaat kepada manusia di dunia mampu memberikan syafaat di akhirat kelak. mendapatkan syafaat dari orang-orang shaleh.
Al-Zamakhsyari dalam kitab al-Kassyaf menerjemahkan kalimat maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan kamu, dan jangan (pula) penipu (setan) memperdayakan kamu dalam (mentaati) Allah dengan sangat bersahaja. Beliau menjelaskan bahwa meskipun seandainya seseorang terlena oleh dorongan dunia dan syaitan (keburukan), maka jangan sampai dibuat putus asa untuk mendapatkan rahmat dan ampunan dari Allah SWT.
Wallahu A’lam bil Showab.