Pada ayat sebelumnya, surat al-Waqi’ah ayat 81-82, Allah mempertanyakan sikap orang kafir yang meremehkan al-Qur’an. Dalam surat al-Waqi’ah ayat 83-87 ini, Allah menjelaskan proses kematian dan tidak ada satupun orang yang bisa terhindar darinya. Allah SWT berfirman:
فَلَوْلَا إِذَا بَلَغَتِ الْحُلْقُومَ () وَأَنْتُمْ حِينَئِذٍ تَنْظُرُونَ () وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْكُمْ وَلَكِنْ لَا تُبْصِرُونَ () فَلَوْلَا إِنْ كُنْتُمْ غَيْرَ مَدِينِينَ () تَرْجِعُونَهَا إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
Falaulaa idzaa balaghatil hulquum. Waantum hiinaidzin tanduruun. Wanahnu aqrabu ilaihi mingkum walaakil laa tubshiruun. Falaulaa ing kuntum ghaira madiiniin. Tarjiuunahaa ing kuntum shaadiqiin
Artinya:
“Maka mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan. Padahal kamu ketika itu melihat. Dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada kamu. Namun kamu tidak melihat. Maka mengapa jika kamu tidak dikuasai (oleh Allah)? Kamu tidak mengembalikan nyawa itu (kepada tempatnya) jika kamu adalah orang-orang yang benar? (QS: Al-Waqi’ah ayat 83-87)
Allah meminta orang kafir atau yang tidak percaya adanya hari kebangkitan untuk membuktikan ucapan mereka. Yaitu anggapan mereka bahwa merekalah penguasa atas diri mereka, dan tidak ada campur tangan kuasa Allah atas hidup mereka. Allah meminta bukti kalau ucapan mereka benar adanya, dengan meminta mereka mengembalikan nyawa mereka ke tempat seharusnya, saat mereka sedang mengalami sakratulmaut.
Saat nyawa manusia sudah sampai tenggorokan, apa yang mereka lihat? Imam Ibnu Katsir menjelaskan, yang ia lihat adalah keadaan dirinya saat mengalami detik-detik menyambut kematian. Bukankah pada saat-saat itu, manusia masih sadar dan mampu merasakan keadaan dirinya. Saat ia merasakan rasa sakit menjelang datangnya kematian, dan tentunya ia ingin rasa sakit itu segera hilang, mengapa ia tidak segera saja mengembalikan nyawanya yang beranjak pergi ke tempatnya semula?
Saat manusia mengalami sakratulmaut tersebut, Allah lebih dekat pada diri mereka daripada mereka sendiri. Kedekatan ini menurut Imam Ibnu Katsir melalui para malaikat Allah. Hal ini berdasarkan keterangan dalam Surat Al-An’am ayat 61:
وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ وَيُرْسِلُ عَلَيْكُمْ حَفَظَةً حَتَّى إِذَا جَاءَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ تَوَفَّتْهُ رُسُلُنَا وَهُمْ لا يُفَرِّطُونَ
Artinya:
“Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya. Dan diutus kepadamu malaikat-malaikat penjaga, sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat Kami, dan malaikat- Malaikat Kami itu tidak melalaikan kewajibannya.” (QS: Al-An’am ayat 61)
Imam al-Alusi dalam tafsirnya memiliki penjelasan yang sedikit berbeda dengan Imam Ibnu Katsir. Beliau menuturkan, tidak sedikit ulama yang menyatakan bahwa kedekatan ini tidak hanya sebatas Allah tahu saja, tapi kekuasaan Allah juga lebih dekat dari kuasa yang dimiliki manusia yang sedang mengalami sakaratul maut tersebut.
Ini bisa disaksikan bahwa saat manusia mengalami detik-detik menuju kematian, ia tak lagi kuasa bergerak. Tubuhnya lunglai. Bahkan sebagian mengalami rasa haus luar biasa, maupun rasa sakit tak terkira. Sehingga saat maut menjemput, bola matanya dalam keadaan melotot sebab merasakan rasa sakit yang tak terkira. Di dalam sebagian keterangan disebutkan, saat ruh dicabut maka secara bertahap manusia kehilangan kemampuan bergerak mulai dari kaki, menuju tubuh sampai ke tenggorokan saat ia sudah mulai kesulitan berbicara.
Saat itu, kuasa manusia atas tubuhnya seakan diambil alih secara langsung oleh Allah. Manusia hanya bisa menyaksikan bagaimana tubuhnya sudah tidak dalam kekuasaan dirinya. Di saat-saat seperti itulah manusia yang tidak meyakini adanya campur tangan kekuasaan Allah dalam diri mereka, dan mereka meyakini bahwa mereka adalah pemiliki diri mereka sendiri, diminta oleh Allah mengembalikan nyawa mereka yang beranjak pergi ke tempatnya semula.