Dalam surat al-Waqi’ah ayat 31-33, Allah menerangkan nikmat yang diterima golongan kanan, berupa buah-buahan yang memiliki sifat yang tidak sama dengan buah-buahan yang ada di dunia. Di antaranya memiliki warna beragam dalam satu pohon, tidak mengikuti musim dan tidak terdapat kesulitan dalam memperolehnya. Di ayat selanjutnya, Allah menerangkan tentang nikmat tempat yang istimewa serta ditemani bidadari yang berbeda dengan perempuan yang ada di dunia.
Allah berfirman di ayat 34-37:
وَفُرُشٍ مَرْفُوعَةٍ () إِنَّا أَنْشَأْنَاهُنَّ إِنْشَاءً () فَجَعَلْنَاهُنَّ أَبْكَارًا () عُرُبًا أَتْرَابًا
Wafurusyim marfuu’ah. Inna ansya’naahunna insyaaa. Faja’alnahunna abkaara. ‘Uraban atraaba.
Artinya:
“Dan kasur-kasur yang tebal lagi empuk. Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung. Dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan. Penuh cinta lagi sebaya umurnya.” (QS: Al-Waqi’ah ayat 34-37)
Imam Jalaluddin Al-Mahalli dalam Tafsir Jalalain mentafsirkan ayat 34 dengan ungkapan ‘ala sururin (di atas tempat yang istimewa). Artinya, kasur tersebut hanya satu dan berada di atas tempat yang istimewa. Dan lebih tepat bila dipahami dengan kasur-kasur di atas tempat yang istimewa. Imam al-Shawi dalam Syarah Tafsir Jalalain menerangkan pendapat lain, bahwa maksud ayat 34 adalah kasur-kasur yang bertumpukan satu sama lain. Sehingga lebih tepat bila di maknai kasur-kasur yang tebal lagi empuk.
Mengenai ayat 35, Imam Al-Mahalli menafsirkannya dengan ungkapan ay al-khurul ‘aini min ghairi wilaadatin (maksudnya para bidadari tanpa melalui proses dilahirkan). Artinya, kelak Allah menciptakan para bidadari langsung jadi tanpa melalui proses di lahirkan. Imam al-Shawi lebih lanjut menjelaskan, bahwa pemahaman bahwa ayat 35 hanya menyinggung bidadari hanyalah berdasar sebagian pendapat saja.
Ada yang menyatakan bahwa yang disinggung di ayat ini bukan para bidadari, melainkan para manusia berjenis kelamin perempuan yang menghuni surga. Imam Al-Shawi juga menyatakan, bisa saja yang dimaksud adalah perempuan secara umum, baik itu bidadari ataupun manusia berjenis kelamin perempuan yang menghuni surga. Dan ini diyakini Imam al-Shawi sebagai pemahaman yang lebih sesuai dengan dalil-dalil yang ada.
Sedang ayat 36 ditafsirkan Imam Al-Mahalli dengan ungkapan ‘adzraa kullamaa ataahunna azwaajahunna wajaduuhunna ‘adzraa walaa waja’a (perawan muda yang suci. Saat para suami-suami mereka berhubungan intim dengan mereka, para suami-suami tersebut menemukan mereka dalam keadaan perawan muda yang suci, serta tidak menderita satu penyakit apapun).
Lafaz ‘uraban di ayat 37 ditafsirkan oleh Imam Al-Mahalli dengan ungkapan al-mukhabbibatu ilaa zaujihaa ‘isyqan lahu (yang mencintai suami-suami mereka sebab rindu pada mereka). Sedang lafaz atraaba ditafsirkan dengan ungkapan mustawiyaatin fis sinni (memiliki umur yang sama). Imam al-Shawi berpendapat bahwa kelak umur bidadari tersebut adalah 33 tahun. Hal ini berdasar salah satunya hadis yang diriwayatkan Imam At-Tirmidzi dan oleh beliau dihukumi hasan yang berbunyi:
يَدْخُلُ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ جُرْدًا مُرْدًا مُكَحَّلِينَ أَبْنَاءَ ثَلاَثٍ وَثَلاَثِينَ سَنَةً
Kelak ahli surga memasuki surga adalam keadaan tidak berbulu, muda, memakai celak, berumur 33 tahun
Ayat 34-37 membahas setidaknya dua hal; yaitu tentang tempat tidur istimewa dan para bidadari beserta sifat-sifat mereka. Lalu bagimana bisa usai membahas tempat tidur, kemudian beralih ke bidadari? Terlebih di ayat 35 Allah tidak menyebutkan secara jelas siapa yang dimaksud oleh kata ganti dalam ayat tersebut. Imam Ibnu Katsir berkomentar, sebab penyebutan tempat tidur secara tidak langsung berhubungan dengan yang kelak menemani di tempat tidur. Kelak, para golongan kanan tidur di kasur empuk dan ditemani perempuan yang senantiasa muda serta perawan.