Pada surat al-Waqi’ah ayat 18-19, Allah menerangkan nikmat yang diberikan kepada as-sabiqun atau golongan terdahulu, berupa minuman istimewa yang diharamkan di dunia namun kelak dihalalkan di akhirat. Di surga, selain mereka memperoleh minuman istimewa, mereka juga memperoleh makanan istimewa serta para bidadari. Allah kemudian menjelaskan rupa nikmat makanan serta bidadari yang diberikan pada golongan ketiga ini di ayat 20-23.
Allah berfirman:
وَفَاكِهَةٍ مِمَّا يَتَخَيَّرُونَ () وَلَحْمِ طَيْرٍ مِمَّا يَشْتَهُونَ () وَحُورٌ عِينٌ () كَأَمْثَالِ اللُّؤْلُؤِ الْمَكْنُونِ
Wafakihatim mimma yatakhayyarun. Walahmi thairim mimma yashtahun. Wakhurun ‘in. Kaamtsalil lukluil maknun.
Artinya:
“Dan buah-buahan dari apa yang mereka pilih. Dan daging burung dari apa yang mereka inginkan. Dan ada bidadari-bidadari bermata jeli. Laksana mutiara yang tersimpan baik.” (QS: Al-Waqi’ah ayat 20-23)
Dalam ayat 20-21 ini, Allah menerangkan ada dua macam makanan di surga yang dimakan oleh golongan al-sabiqun. Pertama makanan ringan yang diungkapkan dengan kata fakihah (buah-buahan), dan makanan utama yang diungkapkan dengan kata lahmi thairin (daging burung). Penyebutan dua macam makanan ini berdasar kebiasaan makan manusia saat di surga.
Imam Fakhruruddin al-Razi dalam Tafsir Mafatihul Ghaib menjelaskan bahwa, apabila ada yang menanyakan apa rahasia dibalik pendahuluan fakihah (makanan ringan) daripada lahmi thairin (makanan utama)? Maka jawaban pertanyaan ini bisa berupa beberapa penjelasan sebagai berikut:
Pertama, kebiasaan manusia di dunia memang mendahulukan makanan ringan daripada menu utama. Terlebih orang yang sedang menikmati minuman.
Kedua, makanan ringan saat di dunia disukai untuk dimakan lebih dahulu sebab tidak memerlukan proses pencernaan seperti menu utama. Selain itu, makanan ringan akan menggerakkan nafsu makan ke menu utama, berbeda dengan menu utama.
Ketiga, didahulukannya makanan ringan menunjukkan bahwa penduduk surga tidak mengalami rasa lapar. Sebab orang yang lapar tentunya lebih dahulu menginginkan daging daripada makanan ringan. Penjelasan ketiga ini dinilai al-Razi sebagai yang paling cocok. Dan yang pertama dinilai tidak cocok sama sekali, sebab ada beberapa makanan ringan yang menurut kebiasaan dimakan setelah menu utama.
Mengenai ayat 22, Imam Jalaluddin Al-Mahalli dalam Tafsir Jalalain menyatakan bahwa kata khurun maknanya adalah nisaun syadidatul sawadil ‘uyuni wa bayadhiha (para perempuan yang amat hitam bagian hitam matanya dan amat putih bagian putih matanya). Lebih lanjut, Imam al-Shawi dalam Syarah Tafsir Jalalain menerangkan, bahwa pentafsiran Imam Mahalli di atas sebenarnya lebih cocok untuk tafsir kata ‘iin. Menurut Imam al-Shawi, khurun maknanya adalah sosok yang putih tubuhnya. Ada yang mengatakan khurun maknanya adalah sosok yang amat putih bagian putih bola matanya, di saat bagian hitamnya juga amat hitam. Sedang ‘iin maknanya adalah yang amat hitam bagian hitam bola matanya, serta lebar organ matanya.
Sedang mengenai ayat 23, Imam Al-Mahhali mentafsirkan kata maknun dengan ungkapan al-mashun (yang tersimpan). Imam As-Shawi lebih lanjut menjelaskan, maknun maknanya adalah al-mastur fi shadfi lam tamassuhu al-aidy, walas syamsu wal hawau (yang tersimpan di dalam kerang/tiram serta tidak tersentuh oleh tangan, matahari maupun udara).