Dalam artikel sebelumnya mengenai tafsir surat al-Rahman ayat 5, telah diceritakan tentang pengaturan Allah SWT atas matahari dan bulan. Kemudian pada ayat 6, penulis juga telah menjelaskan bagaimana pepohonan dan tumbuh-tumbuhan senantia berdzikir kepada Allah SWT. Pada artikel kali ini, masih berkaitan dengan pengaturan langit secara keseluruhan. Seakan-akan ayat ini hendak menegaskan bahwa Allah telah menciptakan sistem yang lebih besar. Atas kuasa ini, Allah SWT memerintahkan kita, umat manusia untuk berlaku seimbang dan adil. Allah SWT berfirman:
وَالسَّماءَ رَفَعَها وَوَضَعَ الْمِيزانَ () أَلاَّ تَطْغَوْا فِي الْمِيزانِ () وَأَقِيمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلا تُخْسِرُوا الْمِيزانَ
wa al-samaa‘a rafa’ahaa wa wadha’a al-miizaan. anlaa tathghaw fii al-miizaan. wa aqiimuu al-wazna bi al-qisthi wa laa tukhsiruu al-miizaan.
Artinya:
“Dan langit telah ditinggikan-Nya dan Dia ciptakan keseimbangan. Agar kamu jangan merusak keseimbangan itu. dan tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi keseimbangan itu.” (QS: Al-Rahman Ayat 7-9)
Ibnu Jarir al-Thabari dalam tafsirnya Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Quran menerangkan bahwa pada ayat 7 Allah SWT menciptakan langit yang menaungi bumi, dan menciptakan keadilan dan keseimbangan di antara makhluk-makluk-Nya di muka bumi. Kemudian penafsiran ayat 8, al-Thabari mengutip riwayat dari Basyar dari Yazid dari Sa’id dari Qatadah, yang berkata: “Ayat ini seolah-oleh menyeru kepada manusia, Berlaku adillah wahai anak adam sebagaimana kamu menyukai orang lain berlaku adil kepadamu, dan cukupkanlah timbangan sebagaimana kamu ingin dicukupkan, karena dengan berlaku adil seseorang akan selamat.”
Dari riwayat yang lain, al-Thabari mengutip keterangan dari ‘Amr bin Abdul Hamid dari Marwan bin Mu’awiyah dari Mughirah dari Muslim dari Abi al-Mughirah, yang berkata, “Aku mendengar Ibnu ‘Abbas berseru di tengah-tengah pasa Madinah: “Wahai para saudagar! Sungguh kalian sedang diuji dengan dua hal yang dapat membinasakan kalian, dengan dua hal ini umat-umat terdahulu hancur, takaran (volume) dan timbangan (berat).”
Pada ayat 7, Imam al-Qusyairi menafsirkan bahwa Allah SWT telah meninggikan langit, menetapkan hukum dan aturan atasnya, bintang-bintang berjalan pada porosnya, dan menciptakan keseimbangan di antara manusia agar mereka mengambil pelajaran dan berhati-hati dalam berinteraksi dengan sesma manusia maupun dengan makhluk lain.
Kemudian di ayat selanjutnya, ayat 8 – 9, menurut al-Qusyairi Allah SWT memerintahkan kepada manusia untuk menjaga dan merawat keadilan di segala sesuatu. Manusia diperintahkan untuk menjamin hak-hak sesama manusia, dan juga menjaga hak-hak Allah SWT. Bagi al-Qusyairi manusia ditntun untuk beramal dengan ikhlas, jujur di setiap aktivitas, dan mementingkan hak pribadi dan orang lain dari sisi lahir dan batin.
Ketika menafsirkan ayat 7, Buya Hamka menerangkan bahwa seluruh benda langit yaitu jutaan bintang-bintang semua diletakkan dalam perimbangan dan pertimbangan, manusia dituntut untuk berusaha meneladani penciptaan alam oleh Tuhan. Dengan adanya perimbangan dan pertimbangan, Hamka mengatakan bahwa kita manusia mesti menjalankan keteraturan dan meletakkan sesuatu pada tempatnya.
Kemudian terkait ayat 8, Buya Hamka sedikit berbeda dengan mufasir sebelumnya, Ia mengatakan bahwa larangan agar tidak merusak itu sama seperti ilmu arsitektur dan teknik (ilmu membangun) yang mengharuskan adanya ukuran, teknik, dan estetika. Ia mencontohkan dengan bangunan-bangunan megah dan kokoh seperti Piramida Mesir, dan bangunan dunia lain yang berusia ratusan bahkan ribuan tahun. Menurut Hamka, ayat 9, menegaskan kembali dua ayat sebelumnya, yakni agar manusia dapat menumbuhkan kesadaran ketika melihat alam sekelilingnya. Semua itu adalah penyempurna kasih sayang Allah SWT.
Kata mizan, menurut M. Quraish Shihab dapat berarti alat menimbang, keadilan, maupun keseimbangan. Quraish mengutip pendapat Ibnu ‘Asyur yang lebih memilih arti keadilan dibandingkan dengan arti kata lain. Menurut Quraish, Allah menyandingkan kata al-samaa (langit) dan miizaan (keadilan) mengisyaratkan betapa pentingnya keadilan dengan menisbatkannya pada seluruh alam raya, yang juga sebagai alam kebenaran dan keutamaan. Artinya bahwa keadilan itu turun dari langit ke bumi atas perintah Allah SWT. Itulah sebabnya Allah SWT dalam al-Quran seringkali menyandingkan kata keadilan dengan langit seperti dalam Q.S Yunus [10]: 5, al-Hijr [15]: 85, dan al-Dukhan [44]: 38 – 39.
Seperti penafiran M. Quraish Shihab di atas, Tafir Kementerian Agama RI juga menerangkan bahwa ayat 7 – 9 di atas mengisyaratkan bahwa Allah SWT menciptakan langit tempat diturunkannya perintah dan larangan-Nya kepada hamba-hamba-Nya lewat perantara malaikat kepada para nabi pilihan. Hal ini agar manusia tidak melampaui dan melangkahi batas-batas keadilan demi kelancaran menjalankan keseimbangan neraca yang telah ditetapkan bagi semua makhluk-Nya.
Dari ayat ini dan juga penafsiran-penafsiran di atas, dapat diambil hikmah betapa pentingnya keadilan dan keseimbangan. Manusia sebagai khalifah fi al-ardh wajib menjalankan amanat dari-Nya dengan cara selalu memperhatikan keadilan dan keseimbangan seluruh makhluk hidup. Tidak boleh manusia bertindak semena-mena dengan mengacaukan keseimbangan alam raya, mengeruknya demi kepentingan pribadi.