Setelah pada ayat-ayat sebelumnya Allah SWT menerangkan Kekuasaannya dalam mengatur pergerakan matahari, bulan, bintang dan benda-beda langit lainnya serta mengatur bumi dan menumbuhkan pepohonan di atasnya, pada ayat ini akan diterangkan bukti Kuasa-Nya yang lain. Kuasa itu adalah pertemuan dua arus yang satu dengan lainnya tidak saling bercampur. Allah SWT berfirman:
مَرَجَ الْبَحْرَيْنِ يَلْتَقِيَانِ (19) بَيْنَهُمَا بَرْزَخٌ لَا يَبْغِيَانِ (20) فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
maraja al-bahrayni yaltaqiyaan. baynahumaa barzakhun laa yabghiyaan. fab..iayyi aalaa’i Rabbikumaa tukadzdzibaan.
Artinya:
“Dia membiarkan dua laut mengalir yang (kemudian) keduanya bertemu. Di antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui masing-masing. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS: Al-Rahman Ayat 19-21)
Dalam diskursus tafsir modern ketiga ayat di atas dimasukkan dalam objek ‘tafsir ilmi’ sebuah corak penafsiran yang fokus pada pembahasan tentang isyarat-isyarat ilmiah yang ada dalam al-Quran. Corak tafsir ini meniscayakan bahwa jauh sebelum teori-teori ilmiah mutakhir ditemukan, al-Quran telah memberikan sebuah isyarat mengenai hal itu. Salah satu contohnya adalah terkait dengan pertemuan dua arus laut ini.
Para ulama tafsir berbeda pendapat mengenai sejauh mana umat muslim dapat memahami al-Quran melalui corak tafsir ilmi. Sebagian mufassir cenderung menolak corak tafsir seperti ini karena dianggap apologetik. Artinya al-Quran hanya diglorifikasi karena ada kesesuaian dengan temuan ilmiah. Padahal pada kenyataannya sumber inspirasi penemuan ilmiah itu bukan berasal dari al-Quran. Sebagian yang lain berpendapat bahwa corak tafsir ilmi merupakan bagian dari tanda kemukjizatan al-Quran. Dengan kata lain, isyarat ilmiah ini diyakini sebagai salah satu bukti Kuasa Allah SWT yang mengungkap isyarat ilmiah jauh sebelum teori itu ditemukan.
Terlepas dari perdebatan di atas, yang perlu digarisbawahi dari ayat semacam ini adalah penafsiran yang terus berkembang seiring dengan pengetahuan para mufassir terhadap ilmu pengetahuan. Secara garis besar terdapat perbedaan yang mungkin agak mencolok antara hasil penafsiran dari para mufassir dari generasi ke generasi.
Ibnu Jarir al-Thabari (w. 310 H) yang hidup di abad ke-3 misalnya, mengemukakan dua penafsiran yang selaras dengan riwayat yang didapatkannya. Pertama riwayat dari Sa’id dan Ibnu Abbas, makna dari dua laut di atas adalah pertemuan antara laut langit (bahr fi al-sama’) dan laut bumi (bahr fi al-ardh). Menurut pandangan al-Thabari, yang dimaksud dengan ini adalah fenomena air hujan yang turun dari langit yang diibaratkan ada lautan di langit, turun ke lautan bumi. Kedua riwayat dari al-Hasan dan Qatadah, yang dimaksud dengan dua laut adalah laut Persia (bahr faris) dan laut Romawi (bahr al-rum).
Berbeda dengan al-Thabari, Ibnu Katsir (w. 774 H) yang hidup di sekitar abad ke-8 H berpendapat bahwa tafsir dari ayat di atas adalah pertemuan antara dua arus air tawar dan asin yakni pertemuan antara aliran sungai yang menuju ke laut. Menurut Ibnu Katsir, keterangan seperti ini juga terdapat dalam bunyi ayat Q.S al-Furqan ayat 53: “Dan Dialah yang membiarkan dua laut mengalir (berdampingan), yang ini tawar dan segar dan yang lain sangat asin lagi pahit, dan Dia jadikan antara keduanya dinding dan batas yang tidak tembus.”
Thahir Ibnu ‘Asyur (w. 1393 H) yang hidup di abad modern dalam tafsirnya al-Tahrir wa al-Tanwir berpendapat bahwa yang dimaksud dengan al-bahrain adalah Sungai Eufrat di Irak dan Teluk Persia di pantai Basrah serta daerah di sekitar Bahrain saat ini. Kemungkinan lain menurut Ibnu ‘Asyur adalah dua laut yang dikenal oleh masyarakat Arab ketika wahyu diturunkan, yaitu Laut Merah (di sekitar Jeddah-Yunbu’, Saudi Arabia) dan Laut Oman (sekitar Hadhramaut, Aden, juga beberapa kota lain di Yaman).
Dalam penelitian oceanografi mutakhir sebagaimana dikutip dalam Tafsir Kementerian Agama Tahun 2010, bahwa di bawah garis khatulistiwa di Lautan Pasifik, Atlantik dan lautan Hindia terdapat arus yang bergerak melawan arus permukaannya, arus ini dikenal sebagai Pacific Equatorial Undercurrent atau dikenal juga dengan nama Cromwell Current. Arus ini bergerak ke timur menentang arus Pacific South Equatorial Current yang bergerak ke barat. Arus Cromwell ini mempunyai ketebalan 150 m, panjang 402 km, batas atas antara 42-91 m, dan selalu bergerak di bawah khatulistiwa. Menurut para ahli, terdapat batas yang kasat mata di antara arus laut yang bergerak dalam arus Cromwell yang bergerak ke timur menentang arus barat. Batas ini juga dapat dilihat di wilayah lain seperti Selat Gibraltar dan Laut sebelah timur Jepang.
Dari contoh beberapa penafsiran di atas dapat dipahami bahwa pengetahuan mufassir terhadap ayat al-Quran sekaligus pengetahuannya mengenai segala hal di luar ayat dapat berpengaruh pada produk penafsiran yang dihasilkan. Sebenarnya tidak hanya terkait dengan ayat-ayat dalam objek tafsir ilmi saja, kita juga dapat menemui perbedaan penafsiran ini dalam kaitannya dengan syariah.