Salah satu tugas besar Nabi Muhammad diutus ke muka bumi adalah untuk memperbaiki moral bangsa Arab Jahiliyah. Nabi selalu berupaya keras mengajak umatnya untuk mengikuti ajaran Islam yang dibawanya. Namun, tidak semua yang diajaknya itu tertarik menjadi pengikut Muhammad. Ini karena hidayah adalah hak prerogatif Allah SWT. Ayat 6 surat al-Kahfi ini mengingatkan kepada Nabi bahwa tidak semua yang beliau ajak itu pasti tertarik pada ajakannya. Allah SWT berfirman:
فَلَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَفْسَكَ عَلَىٰ آثَارِهِمْ إِنْ لَمْ يُؤْمِنُوا بِهَٰذَا الْحَدِيثِ أَسَفًا
Fala‘allaka bakhi‘un nafsaka ‘ala atsarihim in lam yu’minu bi hadzal haditsi asafa
Artinya:
Janganlah Anda bersedih hati mendalam karena keberpalingan mereka tidak mengimani keterangan ini (QS: Al-Kahfi Ayat 6).
Dalam literatur bahasa Arab, menurut Ibnu ‘Asyur dalam al-Tahrir wat Tanwir, bakhi‘un secara literal berarti keringat yang membasahi tengkuk hewan sembelihan. Namun, penggunaan tersebut secara majazi digunakan untuk ungkapan bagi orang yang hendak membunuh dirinya sendiri atau hanya sekedar melukai. Sementara itu, atsarihim berarti ‘barang atau orang yang ditinggalkan’.
Dalam ayat ini, atsarihim yang dimaksud adalah ‘keberpalingan umat Nabi yang enggan beriman padanya’. Seorang kepala keluarga meninggalkan penghuni rumah akan merasa sedih. Ini juga terjadi pada Rasulullah yang merasa sedih terhadap keberpalingan umatnya yang enggan beriman. Atas kesedihan itu, hampir saja Nabi merasa lelah dan putus asa. Namun Allah selalu membimbingnnya dan mengingatkannya. Asafa dalam ayat di atas berarti kesal, marah, dan sedih. Perasaan Nabi campur aduk saat dakwahnya di Mekah ditentang oleh banyak orang, bahkan orang-orang dekat Nabi, seperti Abu Lahab.
Dalam keterangan yang tidak jauh berbeda dengan Ibnu ‘Asyur, Mutawalli al-Sya’rawi dalam kitab tafsirnya menjelaskan bahwa ayat ini mengingatkan Rasulullah bahwa tugasnya hanyalah menyampaikan wahyu dari Allah pada umatnya. Sepayah apapun beliau menyampaikan, jangan sampai menyusahkan diri beliau sendiri yang hampir saja membuatnya sedih mendalam dan kecewa.
Terkait ayat ini, dalam tafsir Ruhul Bayan, Syekh Ismail Abu al-Fida menjelaskan bahwa perhatian Rasulullah terhadap siapa pun itu sangat totalitas. Bukan hanya mengajak orang untuk beriman, Rasulullah mencontohkan langsung bagaimana sesuatu yang sedang beliau pakai pun diinfakkan pada yang membutuhkan. Ini pun sampai-sampai Rasulullah diingatkan kembali oleh Allah dengan surat al-Isra ayat 29 mengenai larangan memberikan barang kepunyaan kita pada orang lain sampai tidak tersisa sama sekali.
Selain itu, Syekh Ismail Abu al-Fida juga mengutip percakapan Nabi Daud dengan Allah. “Ya Allah Tuhanku, Engkau memintaku untuk membersihkan hati. Dengan cara apakah hatiku dapat bersih?” “Susah dan sedih,” jawab Allah pada Nabi Daud. Dari sini dipahami bahwa ujian dakwah Nabi yang ditolak sehingga menyebabkan kegundahan dan kesedihan Nabi itu pada hakikatnya adalah bentuk penyucian hati Nabi.