Tema utama surat al-Kafirun menjelaskan kewajiban konsisten dalam melaksanakan ajaran agama masing-masing agama. Jangan mencampuradukkan agama. Biarlah agama berjalan dengan kepercayaan dan ajarannya masing-masing. Karena itu, menurut Prof. Quraish Shibab dalam program Shihab & Shihab, pluralisme agama itu tidak ada, yang ada itu pluralisme kemanusiaan. Tidak perlu mencampuradukkan kepercayaan masing-masing agama, yang penting tetap saling menghormati.
Surat ini turun setelah sekian lama Nabi berdakwah. Sebetulnya, kaum musyrikin yang hidup di masa, mengakui bahwa apa yang disampaikan Nabi itu baik. Bahkan, di antara mereka ada yang mengatatakan, seandainya ini bukan ajaran agama dari Tuhan, maka ini adalah pengajaran akhlak yang kita butuhkan.
“Jadi mereka memiliki kekaguman, salah seorang dari mereka ada yang datang kepada Nabi, dan menyampaikan, ‘Saya tidak bisa membayangkan betapa indahnya kalimat ini.’ Di satu sisi kagum, tapi mereka juga enggan meninggalkan kepercayaan nenek moyang mereka,” Jelas Prof. Quraish Shihab.
Sehingga yang mereka lakukan adalah menawarkan solusi, menyembah Tuhan secara bergantian. Maksudnya, Nabi Muhammad diminta menyembah Tuhan mereka, kemudian mereka juga akan menyembah Tuhannya umat Islam. Merespons masalah ini turunlah surat al-Kafirun:
قُلْ يَٰٓأَيُّهَا ٱلْكَٰفِرُونَ
“Katakanlah (Nabi Muhammad): “Hai orang-orang kafir.”
لَآ أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ
“Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.”
وَلَآ أَنتُمْ عَٰبِدُونَ مَآ أَعْبُدُ
“Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.”
لَآ أَنَا۠ عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ
“Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah.”
وَلَآ أَنتُمْ عَٰبِدُونَ مَآ أَعْبُدُ
“Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah.”
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِىَ دِينِ
“Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku”.
Penting diketahui, kata Prof. Quraish Shihab, yang dimaksud dengan “al-kafirun” di sini bukan semua orang musyrik. Tapi hanya empat orang dari kaum musyrik yang datang menawarkan usulan untuk menyembah Tuhan satu sama lainnya bergantian. Karena itu, dalam ayat ini, kita temukan kalimat, kamu tidak akan menyembah apa yang sedang kami sembah.
Ayat ini kadang disalahpahami oleh sebagian orang sebagai dalil kebolehan memanggil orang di luar Islam sebagai orang kafir.
“Itu keliru, karena mereka tidak paham,” Tegas Prof. Quraish Shihab.
Fakruddin al-Razi menjelaskan kenapa ayat ini menggunakan kata “Qul”, mestinya Nabi Muhammad langsung saja mengatakan, “La a’budu ma ta’budun.” Ini menunjukkan bahwa ajaran yang diterima Nabi Muhammad sangatlah toleran. Bahkan sampai tidak menyapa orang yang berbeda agama dengan sapaan yang menyakitkan hati mereka.
Jadi kira-kira maksudnya, ketika Ayat ini diturunkan, Nabi merasa ini adalah perintah Tuhan untuk menyampaikan. Allah Maha Tahu tentang apa yang ada di dalam hati manusia. Mereka mati dalam keadaan kufur atau tidak. Karena itu, manusia tidak diberi hak untuk menilai hati manusia.
Karena itu, Nabi melarang menggunakan kata kafir, sekalipun substansi yang mereka lakukan kekufuran. Kata kafir itu digunakan untuk siapapun yang menutup kebenaran dan melakukan keburukan. Pesannya, jangan mudah menilai orang sebagai orang buruk, siapa tau nanti ketika mereka taubat atau masuk Islam, mereka lebih baik dari orang yang sudah lama Islam. Sebab itulah, kata Prof. Quraish Shihab, ayat ini menggunakan kata “Qul” di awalnya.
“Allah tidak ingin memaksa mereka memeluk Islam, mereka tidak diperintahkan kecuali menyembah Allah secara tulus. Jangan dipaksa, harustulus. Lakukan apa yang anda anggap benar, biarkan saya lakukan yang saya anggap benar. Mari kita berjalan berdampingan, tanpa saling menganggu. Itu kesimpulan dari surat al-kafirun,” Tutup Prof. Quraish Shihab.