Tafsir Surat Al-Isra’ Ayat 1: Keistimewaan Isra’ Mi’raj

Tafsir Surat Al-Isra’ Ayat 1: Keistimewaan Isra’ Mi’raj

Tafsir Surat Al-Isra’ Ayat 1: Keistimewaan Isra’ Mi’raj
Kitab-kitab yang disusun rapi.

Isra Mi’raj merupakan salah satu peristiwa agung dalam sejarah kenabian Baginda Nabi Besar Muhammad SAW.  Saking agungnya peristiwa tersebut, sampai-sampai direkam dalam  surat al-Isra’ ayat 1 di mana Allah SWT berfirman:

سُبۡحَـٰنَ ٱلَّذِیۤ أَسۡرَىٰ بِعَبۡدِهِۦ لَیۡلا مِّنَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِ إِلَى ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡأَقۡصَا ٱلَّذِی بَـٰرَكۡنَا حَوۡلَهُۥ لِنُرِیَهُ مِنۡ ءَایَـٰتِنَاۤۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِیعُ ٱلۡبَصِیرُ

Artinya:

“Maha Suci Dzat yang telah menjalankan hamba-Nya di waktu malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang Kami berkahi sekelilingnya untuk Kami perlihatkan kepadanya (Muhammad) tentang ayat-ayat Kami. Sesungguhnya Dia adalah Dzat Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS: Al-Isra’ ayat 1)

Al-Qurthubi (w. 671 H), salah seorang Mufassir berkebangsaan Cordova (Spanyol), menjelaskan ada delapan hal menarik yang bisa dipetik dari ayat ini.

Pertama, adalah berkaitan dengan lafadz subhana. Lafadz ini merupakan kata benda yang menempati maqam kata sifat (mashdar), dan istimewa. Keistimewaan itu sebagaimana dinyatakan oleh al-Qurthubi dalam kitab al-Jami’ lil Ahkamil Qur’an sebagai berikut:

سُبْحانَ” اسْمٌ مَوْضُوعٌ مَوْضِعَ الْمَصْدَرِ، وَهُوَ غَيْرُ مُتَمَكِّنٌ، لِأَنَّهُ لَا يَجْرِي بِوُجُوهِ الْإِعْرَابِ، وَلَا تَدْخُلُ عَلَيْهِ الْأَلِفُ وَاللَّامُ، وَلَمْ يَجْرِ مِنْهُ فِعْلٌ، وَلَمْ يَنْصَرِفْ لِأَنَّ فِي آخِرِهِ زَائِدَتَيْنِ، تَقُولُ: سَبَّحْتُ تَسْبِيحًا وَسُبْحَانًا، مِثْلَ كَفَّرْتُ الْيَمِينَ تَكْفِيرًا وَكُفْرَانًا. وَمَعْنَاهُ التَّنْزِيهُ وَالْبَرَاءَةُ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ كُلِّ نَقْصٍ. فَهُوَ ذِكْرٌ عَظِيمٌ لِلَّهِ تَعَالَى لَا يَصْلُحُ لِغَيْرِهِ

“Lafadz subhana merupakan kata benda yang ditempatkan pada tempat mashdar (sifat). Kata ini menggambarkan sesuatu yang tak tentu karena tidak berlaku baginya aturan pengi’raban. Tidak bisa dimasuki ال ma’rifah, tidak pula berlaku sebagai fi’il (kata kerja), dan tidak pula bisa menerima tanwin sebab di akhir kalimatnya sudah ada dua huruf zaidah (alif dan nun). Sebagaimana ucapan anda: sabbahtu tasbihan subhanan (Aku senantiasa membaca tasbih teruntuk Dzat Yang Bersifat Maha Suci). Sebagaimana contoh lain: kaffartu al-yamina takfiran kufranan (Aku membayar kafarat sumpah sebagai pelebur atas sifat kekufuran). Adapun maknanya adalah membersihkan dan melepaskan segala sifat kekurangan dari Dzat-Nya Allah SWT. Jadi, lafadh subhana ini adalah sebuah panggilan yang teramat sangat agung bagi Allah SWT dan tidak pas bila dilekatkan untuk selain-Nya.”

Kedua, lafadz asra bi ‘abdihi (yang telah menjalankan hamba-Nya). Lafadz asra memiliki kata sifat yaitu isra’. Meskipun artinya sama-sama perjalanan di malam hari, namun dalam penggunaannya, ada perbedaan antara lafadz asra (أسرى) dan sara (سرى).

أَسْرَى سَارَ مِنْ أَوَّلِ اللَّيْلِ، وَسَرَى سَارَ مِنْ آخِرِهِ، وَالْأَوَّلُ أَعْرَفُ

Asra merupakan perjalanan yang dimulai sejak awal malam. Sementara sara merupakan perjalanan yang di mulai di akhir malam. Adapun yang populer di masyarakat adalah penggunaan pertama.”

Ketiga, istilah yang dipergunakan oleh ayat sebagai “bi’abdihi”. Sebagaimana dinukil oleh al-Qurthubi, para ulama menafsiri lafadh bi ‘abdihi ini untuk menunjuk pengertian maqam yang paling mulia di sisi Allah SWT.

قَالَ الْعُلَمَاءُ: لَوْ كَانَ لِلنَّبِيِّ ﷺ اسْمٌ أَشْرَفُ مِنْهُ لَسَمَّاهُ بِهِ فِي تِلْكَ الْحَالَةِ الْعَلِيَّةِ

“Para ulama berpendapat: ‘Andaikata ada nama lain yang menunjuk pada derajat paling mulia bagi Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka pastilah nama “Abdullah” itu yang digunakan untuk gelar derajat mulia itu.”

Imam Al-Qusyairi memberikan sebuah perumpamaan untuk menggambarkan kedudukan derajat mulia dengan sebutan Abdullah bagi Nabi SAW ini sebagai berikut:

لَمَّا رَفَعَهُ اللَّهُ تَعَالَى إِلَى حَضَرْتِهِ السَّنِيَّةِ، وَأَرْقَاهُ فَوْقَ الْكَوَاكِبِ الْعُلْوِيَّةِ، أَلْزَمَهُ اسْمَ الْعُبُودِيَّةِ تَوَاضُعًا لِلْأُمَّةِ

“Saat Allah mengangkat Muhammad menuju hadlrah yang luhur, dan menaikkannya melebihi bintang-bintang di langit yang tinggi, maka saat itulah berlaku bagi Muhammad sifat kehambaan, suatu sikap rendah hati atas nama umat”.

Keempat, istilah isra’, merupakan yang populer dan diakui di kalangan perawi hadits mushannaf. Isra’ asalnya dari kata asra, yang berarti bahwa perjalanan itu merupakan yang dikehendaki oleh Allah SWT. Sebagai sesuatu yang dikehendaki oleh Dzat Yang Maha menguasai makhluk, maka bukan mustahil jika jarak yang seharusnya bisa ditempuh dalam waktu berminggu-minggu menjadi bisa ditempuh dalam sekejap. Adapun wasilah yang dipergunakan oleh Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai kendaraan adalah disebut Buraq. Sebagaimana dikutip oleh al-Qurthubi, dari sebuah hadis shahih riwayat Anas ibn Malik, disampaikan sebagai berikut:

أُتِيَتُ بِالْبُرَاقِ وَهُوَ دَابَّةٌ أَبْيَضُ [طَوِيلٌ] فَوْقَ الْحِمَارِ وَدُونَ الْبَغْلِ يَضَعُ حَافِرَهُ عِنْدَ مُنْتَهَى طَرْفِهِ

“Aku melakukan isra’ dengan kendaraan Buraq, yaitu sebuah kendaraan yang sangat putih, panjangnya melebihi himar, dan sedikit pendek dari bighal. Ia menaruh kaki depannya di sejauh pandangannya tertuju.”

Kesan yang terdapat dalam hadis ini memang menampakkan suatu yang makhluk supranatural atau apalah istilah sebutan yang cocok baginya, dan keberadaannya sulit dibayangkan oleh akal, namun bisa diterima oleh hati dalam bentuk keyakinan. Yang menjalankan adalah Allah, oleh karenanya pasti Allah SWT yang menyediakan sarana/akomodasi perjalanannya. Jika Allah SWT sudah berkehendak, maka tiada sesuatu apapun yang bersifat mustahil bagi-Nya. Termasuk dalam perjalanan Isra’ Mi’raj Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang mana dalam ayat ini diawali dengan kalimat subhana, yang itu berarti mutlak bahwa perjalanan itu adalah kehendak Allah SWT semata.

إِنَّمَآ أَمْرُهُۥٓ إِذَآ أَرَادَ شَيْـًٔا أَن يَقُولَ لَهُۥ كُن فَيَكُونُ

“Sesungguhnya perintah Allah, tatkala Ia menghendaki sesuatu, maka ia berfirman “Jadilah”, maka “terjadi.” (QS. Yasin ayat 82).

Syeikh Wahbah Al-Zuhaili dalam Tafsir al-Wajiz menafsiri ayat ini sebagai bahwa jika Allah menginginkan sesuatu, maka Allah cukup berfirman “Jadilah” maka jadi seketika tanpa halangan. Disinilah terdapat bukti atas sifat ke-Maha Kuasaan Allah yang tiada batasan.