Saya masih ingat betul bagaimana Felix Siaw (18/06/2017) menganjurkan jamaahnya untuk, “…baca terjemahan al-Qur’an sampai kelar, biar lebih paham.” Menelaah terjemahan al-Qur’an dalam rangka memahami kandungan al-Qur’an sah-sah saja, sekalipun kita semua tahu hal itu tidak akan cukup tanpa dibarengi usaha lain. Bagi awam yang masih terbatas ilmunya dan karenanya perlu berguru, hal tersebut membantu memberikan gambaran dan pemahaman awal atas ayat-ayat al-Qur’an.
Namun, akan menjadi lain jika metode tersebut digunakan untuk memahami kata dan frasa ‘kontroversial’ dalam al-Qur’an. Salah memahami terjemahan dan konteksnya bisa berakibat chaos. Kasus yang menimpa Evie Effendi salah satu contohnya.
Menerjemahkan kosa kata al-Qur’an sama artinya menelisik medan makna yang dikandungnya dan itu tidak mudah. Lebih-lebih ketika al-Qur’an ternyata tidak hanya memuat kosa kata dari bahasa Arab saja, namun juga dari luar Arab yang, menurut Arthur Jeffery dalam The Foreign Vocabulary of The Qur’an, berjumlah 11 bahasa.
Menerjemahkan dhaallun dengan ‘sesat’ sambil mengabaikan fakta adanya makna lain jelas ceroboh. Bukan saja menyalah-artikan isi pesan, namun juga menutup potensi pengungkapan makna di luar itu yang boleh jadi lebih tepat. Sebagai contoh, kata pragmatis, yang ‘makna tepatnya’ adalah (terapan berbasis) praktis dan kegunaan, di mana jarang diketahui khalayak. Adapun makna yang justru dikenal luas di masyarakat adalah ‘tindakan oportunis’ yang dianggap negatif.
Bermula dari ketidaktepatan menerjemahkan dhaallun, peringatan Maulid Nabi menjadi sasaran tembak. Evie Effendi dengan meyakinkan berujar, “Setiap orang itu sesat, awalnya. Dhaallan fa Hadaa. Muhammad, termasuk (sebelum diangkat menjadi Nabi). Maka, kalau ada yang mulud-an (Maulid Nabi), ini memperingati apa ini? Memperingati kesesatan Muhammad.” QS al-Dhuha 97:3 di tangan Evie Effendi menjadi horor tak terkira.
Tidak perlu mengutip ayat al-Qur’an untuk mencari pembenaran atas penolakan peringatan Maulid Nabi. Dalil anjuran dan pengharamannya sama-sama tidak ada. Kalau hanya berbasis logika-sederhana karena adanya frasa dhallun (yang mana salah kaprah; pembahasan ekstensif sisi tafsir QS al-Dhuha 97:3 telah disampaikan Prof Nadirsah Hosen dan Fadhli Lukman ), perlu diajukan argumen lain bahwa Maulid Nabi semata-mata diadakan untuk mengenang sosok yang dengan kelahirannya mengubah banyak hal dan berdampak nyata di diri umat Muslim, termasuk saya dan mungkin juga Evie Effendi, sang pelaku hijrah. Jadi, tidak ada salahnya Mulud-an itu!
Ulasan berikut ini hanya akan fokus membahas kata wajada dan dhaallun secara ekstensif. Mohon disimak.
Kata Wajada dalam Ilmu Nahwu (Tata Bahasa Arab)
Dalam kitab Jaami’ al-Duruus al-‘Arabiyyah, jilid 1, hlm. 35-45 yang membahas kata kerja transitif (muta’addy) dengan 2 objek, wajada digolongkan sebagai af’aal al-quluub dengan kategori ‘pasti’ (yaqiin). Dinamakan af’aal al-quluub karena tindakan atau kata kerjanya berbasis tangkapan batin (al-hiss al-baathin) yang abstrak.
Wajada bermakna ‘tahu dan yakin’ (‘alima dan i’taqada). Cakupan makna wajada, oleh karenanya, menjadi ‘pengetahuan berbasis keyakinan’ yang tidak menimbulkan prasangka yang sifatnya tak pasti (dzann, lawan kata yaqiin).
Apakah makna wajada sebatas ‘tahu dan yakin’? Sekedar gambaran, jika dikeluarkan dari topik af’aal al-quluub, makna wajada lebih beragam. Pertama, mendapatkan kembali, apa yang telah hilang (dzafara bihii ba’da dhiyaa’ihii). Kedua, memiliki rasa benci tersembunyi dan marah (haqada ‘alayhi dan ghadhaba). Ketiga, sedih (hazina bihii). Keempat, mencintai (ahabbahuu). Terakhir, menjadi kaya (istaghnaa ghaniyyun).
Lalu, apakah tepat menerjemahkan kata wajada pada QS al-Dhuha 93:7 dengan kata ‘mendapati’, seperti ditemukan pada banyak terjemahan al-Qur’an? Tepat, namun dengan catatan. Karena pada diri wajada berpadu antara tahu dan yakin, maka menurut kami, terjemahan ‘mendapati’ perlu diberi penekanan menjadi ‘mendapati dengan pasti’.
Nah, yang menjadi persoalan adalah bahwa yang ‘didapati dengan pasti’ justru dhaallun. Jika tidak hati-hati dalam menafsirkan, tatkala ‘apa yang pasti’ bersanding dengan terjemahan yang kurang tepat (dalam hal ini kata dhaallun yang diterjemahkan ‘sesat’), maka yang terjadi selanjutnya adalah bencana.
Tinjauan Kebahasaan kata Dhalla
Dalam kitab Nuzhah al-A’yun al-Nawaadzir fii ‘Ilmi al-Wujuuh wa al-Nadzaair, hlm. 406-409, karya Abu al-Farj ibn al-Jauziy (1116-1201M/508-597H), dijelaskan bahwa potensi makna kata dhalaal dalam al-Qur’an mencapai 10 variasi, merujuk kepada ayat-ayat al-Qur’an dan pendapat sebagian mufasir.
Pertama, ‘merendahkan hukum/putusan’ (al-istidzlaal fii al-hukm), seperti pada QS al-Nisa 4:113 di mana turunnya dilatarbelakangi konflik pencurian. Tak lama, QS Sad 38:26 turun memberi penjelasan tambahan seputar memutuskan hukum dengan adil.
Kedua, ‘tersesat’ (al-ghawaayah) dari jalan kebenaran, seperti pada QS Yaasiin 36:62 dan QS al-Shaaffaat 37:71, di mana konteksnya adalah setan yang menyesatkan manusia dari shiraatun mustaqiim dan umat-umat terdahulu yang (memilih) sesat sekalipun diutus kepada mereka Rasul-Rasul Allah.
Ketiga, ‘kerugian’ (al-khusraan), seperti pada QS Yuusuf 12:8, 30, dan 95, juga pada QS Yaasiin 36:24 dan QS Ghaafir 40:25. Kerugian yang dimaksud, tidak hanya pada hal-hal yang sifatnya profan seperti pada kisah sehari-hari Nabi Yusuf, namun juga yang sifatnya profan seperti (sempat) menduakan penyembahan kepada Allah dan kerugian di balik usaha tipu daya orang-orang Kafir (kepada Musa).
Keempat, ‘kesengsaraan’ (al-syaqaa’), seperti pada QS Saba’ 34:8 dan QS al-Qamar 54:24. Kesengsaraan menimpa mereka yang tidak beriman akan keberadaan Akhirat dan mereka (kaum Tsamud) yang bebal dan enggan mengikuti dakwah Rasul Sholeh.
Kelima, ‘batal’ atau sia-sia (al-buthlaan), seperti pernyataan perihal pembatalan perbuatan bagi mereka yang kufur akan ayat-ayat Allah sekaligus tidak dibatalkannya amal-amal orang yang meninggal di jalan Allah, seperti direkam QS al-Kahfi 18:104 dan QS Muhammad 47:4.
Keenam, ‘kekeliruan’ (al-khatha’), seperti pada QS al-Nisaa’ 4:176, QS al-Furqaan 25:44, QS al-Ahzaab 33:36, dan QS al-Qalam 68:26. Kekeliruan yang dimaksud berkenaan dengan, antara lain: penjelasan yang tidak diikuti, orang yang menyimpang dari ketentuan yang Allah tetapkan, perumpamaan keliru yang dibaratkan dengan (atau malah melebihi) hewan, dan kelirunya orang dari jalan seharusnya.
Ketujuh, ‘keluluhlantakan’ (al-halaak) pada QS al-Sajdah 32:10 yang menimpa jasad manusia pasca matinya dan dikebumikan ke bumi.
Kedelapan, ‘lupa’ (al-nisyaan) pada QS al-Baqarah 2:282 yang terjadi pada 2 orang perempuan yang berposisi sebagai saksi pengganti 1 orang laki-laki, agar satu sama lain saling mengingatkan ketika lupa.
Kesembilan, ‘kebodohan’ (al-jahl) QS al-Syu’araa’ 26:20 yang Nabi Musa akui tentang masa lalu dan tindakannya di masa itu.
Kesepuluh, ‘kesesatan’ sebagai lawan dari petunjuk (al-dhalaal, dhidd al-hudaa), al-Baqarah 2:26 dan QS al-Dhuha 93:7. Namun, tidak ada yang sepakat soal apakah maknanya benar-benar ‘sesat’, khususnya pada ayat kedua, karena berkenaan dengan Nabi Muhammad.
Karena sensitifnya soal implikasi makna atas kata tersebut, wajar jika pada Tafsir al-Thabari dikemukakan keterangan tambahan, “Kaana ‘alaa amri qaumihii arba’iina ‘aaman. Wa qiila, ‘uniya bi dzaalika: wa wajadaka fii qaumin dhullaalin fa hadaaka.” Maksudnya, “Nabi Muhammad berada di tengah-tengah umatnya selama 40 tahun. Dikatakan, yang dimaksud dengan hal tersebut adalah bahwa Allah mendapatimu (dengan pasti) berada di tengah-tengah umat yang sesat sejadinya, maka Allah memberimu petunjuk.”
Seperti dapat kita lihat bersama, ada keragaman atas makna dhalaal (dhaallun termasuk, karena seakar kata) dalam al-Qur’an. Seperti disampaikan di atas, mengunci suatu kata dengan 1 makna dari source language (apalagi 1 makna tersebut hanya di target language) itu sangat berbahaya.
Terakhir, sebagai penutup, pada kamus karangan Hans Wehr, Dictionary of Modern Written Arabic, kata dhaallun diterjemahkan dengan straying, roaming, dan wandering. Kata stray sendiri pada kamus Meriam-Webster dimaknai dengan to wander from company, yang artinya ‘terpisah dari rombongan’.
Membayangkan seseorang yang telah berada di rombongan dan kemudian terpisah tidak akan diambil kesimpulan bahwa seseorang tersebut ‘tidak berada dalam rombongan’, bukan? Jadi memang, makna dhallun tidak se-sesat yang kita duga. Wallahu A’lam.
Ahmadi Fathurrohman Dardiri, penulis adalah Pengajar di IAIN Surakarta.