Memaknai Kembali Istilah Dhāll (Orang yang Sesat) dalam Q.S. adh-Dhuhā ayat 7

Memaknai Kembali Istilah Dhāll (Orang yang Sesat) dalam Q.S. adh-Dhuhā ayat 7

Belakangan ini surat Adh-Dhuha ayat 7 menjadi perbincangan menarik di media sosial pasca pernyataan Evie Effendi tentang kesesatan Nabi Muhammad Saw.

Memaknai Kembali Istilah Dhāll (Orang yang Sesat) dalam Q.S. adh-Dhuhā ayat 7

وَ وَجَدَكَ ضَالاًّ فَهَدى‏ 

“Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk”. (Q.S. adh-Dhuĥā/ 93: 7).

Q.S. adh-Dhuĥā/ 93: 7 menggunakan kata dhāll (orang yang sesat) di dalamnya. Pada satu aspek ayat ini mudah dipahami, tapi pada sisi lainnya sangat ambigu.  Ayat ini sering disalahgunakan untuk menjatuhkan kemuliaan Nabi saw.  Terjemahan Al-Quran Kementerian Agama mengartikan kata dhāll (sesat) sebagai ‘orang bingung’. Tentu, terjemahan ini lebih tepatnya disebut sebagai tafsir, bukan terjemah sesuai dengan makna akar kata dasarnya.

Pertanyaannya adalah apakah benar bahwa Nabi Muhammad saw pernah menjadi orang yang tersesat (dhāll)? Mengikuti makna lahiriah akar kata tersebut, maka jawabannya adalah benar. Nabi saw pernah tersesat. Selanjutnya adalah apa maksud dari kesesatan (adh-dhalālah) yang pernah dialami nabi tersebut?

Para pakar bahasa seperti Ibn Fāris dalam Mu’jam Maqāyis al-LUGHAH memaknai adh-dhalālah sebagai hilangnya sesuatu dari pemiliknya. Al-Mushtafawī dalam at-Taĥqīq fī Kalimāt al-Qurān memaknainya sebagai hilang atau tiadanya hidayah. Ar-Rāghīb dalam Mufradāt al-Fāzh al-Qurān mendefnisikan adh-dhalālah sebagai keluar dari jalan yang benar/ lurus, baik secara sadar maupun tidak sadar, dalam porsi yang banyak maupun sedikit.

Secara umum, adh-dhalālah dimaknai sebagai lawan kata/antonim dari al-hidāyah,  tiadanya sebuah petunjuk itu sendiri. Dengan demikian, sebagaimana diungkapkan oleh Al-Mushtafawī, adh-dhalālah (kesesatan) merupakan tiadanya sebuah hidayah. Kondisi seperti ini, sebagaimana diungkapkan oleh Ar-Rāghīb, bisa dialami oleh seseorang baik ia menyadari maupun tidak, baik dengan kuantitas sedikit maupun banyak.

Memahami kosakata Al-Quran yang terlepas dari konteks historis dan indikator pada ayat-ayat Al-Quran lainnya bisa mengurangi keutuhan pesan ayat. Oleh karenanya, setidaknya ayat tersebut perlu dikaji secara singkat pada dua poin tersebut.

Pertama, ayat ini harus dipahami dalam konteks surah adh-dhuhā. Secara historis, surah adh-Dhuĥā merupakan surah yang diturunkan di Mekah, saat dimana cukup lama wahyu tidak turun kepada Nabi saw. Berarti, surah ini secara otomatis menjadi kabar gembira dan penghibur diri nabi. Allah swt tidak pernah meninggalkan diri nabi saw. Allah telah ridho pada nabi. Rahmat dan kasih sayang-Nya selalu meliputinya. Surah ini menjadi penenang hati nabi. Yakni, tertundanya turunnya wahyu memiliki maslahat tersendiri, tidak sebagaimana propaganda orang-orang kafir yang mengisukan ‘Muhammad telah ditinggalkan Tuhannya’.

Sesuai dengan nama surah adh-dhuĥā itu sendiri, waktu naiknya matahari sehingga cahaya tampak terang benderang maka kandungan keseluruhan surah adh-dhuhā menggambarkan keagungan diri nabi. Cahaya, rahmat dan kasih sayang Ilahi selalu meliputinya. Dus, Dalam surah ini disebutkan beberapa karunia Ilahi yang diberikan kepada nabi-Nya, yang salah satunya direkam dalam Q.S. adh-Dhuĥā/ 93: 7.

Kedua, memahami kandungan ayat dengan indikator beberapa ayat lainnya seperti Q.S. asy-Syūrā/ 42: 52 dan Q.S. Yūsuf/ 12: 3:

ما كُنْتَ تَدْري مَا الْكِتابُ وَ لاَ الْإيمانُ وَ لكِنْ جَعَلْناهُ نُوراً نَهْدي بِهِ مَنْ نَشاءُ مِنْ عِبادِنا وَ إِنَّكَ لَتَهْدي إِلى‏ صِراطٍ مُسْتَقيمٍ

Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al Qur’an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Qur’an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (Q.S. asy-Syūrā/ 42: 52).

 

نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ أَحْسَنَ الْقَصَصِ بِما أَوْحَيْنا إِلَيْكَ هذَا الْقُرْآنَ وَ إِنْ كُنْتَ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الْغافِلين‏

Kami menceriterakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al Qur’an ini kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum (Kami mewahyukan) nya adalah termasuk orang-orang yang belum mengetahui”.(Q.S. Yūsuf/ 12: 3).

 

Q.S. asy-Syūrā/ 42: 52 tidak menjelaskan kekafiran atau tiadanya iman pada diri nabi sebelum fase kenabian (nubuwwah). Akan tetapi tampak jelas bahwa, sebelum diturunkannya Al-Quran, nabi belum mengetahui Al-Quran dan kandungannya. Padahal, tiadanya pengetahuan akan kandungan Al-Quran tidak berarti sama dengan tiadanya pengetahuan akan ketuhanan (ma’rifatullāh).

Demikian juga Q.S. Yūsuf/ 12: 3 menunjukkan bahwa sebelum diwahyukan surah Yusuf ini nabi tidak mengetahui kisah Yusuf dan saudaranya. Pengetahuan nabi adalah pengetahuan nurānī, pengetahuan yang diletakan oleh Allah swt dalam qalbu nabi melalui wahyu, bukan pengetahuan turātsī, pengetahuan yang didapat melalui bacaan buku-buku.

Jadi, ketika dihubungkan dengan ayat-ayat lainnya, maka dapat dipahami bahwa dhalālah/ kesesatan dalam ayat ini bukan dimaksudkan sebagai tiadanya iman, ketakwaan, kesucian maupun ketauhidan pada diri nabi. Menurut al-Fakhr ar-Rāzī dalam Tafsir Mafātīĥ al-Gahyb dan Makārim Syīrāzī dalam tafsir al-Amtsal, maksud dari dhalālah/ kesesatan adalah tiadanya rahasia-rahasia kenabian dan pengetahuan hakikat hukum-hukum Islam. Yakni, ada suatu fase dimana diri nabi sudah sempurna pada aspek keimanan, ketakwaan, kesucian maupun ketahuidan. Akan tetapi masih ada sesuatu yang kurang, yakni kenabian dan kerasulan.

Dengan pemaknaan semacam ini berarti dhāll (sesat)-nya nabi tidak seperti sesatnya manusia pada umumnya. Nabi sejak lahir selalu dalam naungan petunjuk Ilahi, akan tetapi belum menjadi juru petunjuk (hādī). Maka,  setelah ia diutus menjadi seorang nabi dan rosul maka diri nabi Muhammad saw menjadi lebih sempurna dan menjadi petunjuk itu sendiri (hādī). Bukan seperti diasumsikan sebagian orang, bahwa Nabi pernah menjadi orang kafir, selanjutnya Allah memberikan petunjuk dan menjadikannya sebagai nabi dan rosul. Al-Fakhr ar-Rāzī dalam Tafsirnya menyebutkan bahwa ulama secara jumhur telah sepakat berpandangan bahwa Nabi Muhammad saw tidak pernah kafir walaupun sesaat. Pandangan semacam ini lebih diterima secara rasional. Demikian juga, hukum akal akan menolak bahwa ada seseorang hidup dalam kekafiran kemudian diberikan karunia keimanan, lalu disematkan kenabian pada dirinya.

Jadi, dhalālah atau dhāll dalam konteks ini adalah Nabi Muhammad saw pernah mengalami kekosongan iluminasi Ilahi sebelum mencapai maqam kenabian dan kerasulan. Selanjutnya, setelah diturunkan cahaya ilahi (wahyu) dalam qalbu nabi, maka diri nabi saw menjadi juru petunjuk hidayah bagi seluruh manusia. Wallahhu a’lam.

Kerwanto, penulis adalah penikmat kajian tafsir.