Berbagai musibah sering kita hadapi, baik berupa bencana alam, paceklik, maupun pandemi. Tak terkecuali ketika seseorang ditinggal mati oleh orang tua, anak, atau kekasihnya, demikian ini juga termasuk musibah.
Apakah semua orang pasti mendapatkan musibah? Apa hakikat arti musibah tersebut? Salah satu firman Allah dalam surah al-Baqarah ayat 155-157, memberikan keterangan tentang musibah. Allah berfirman:
وَلَنَبۡلُوَنَّكُم بِشَيۡءٖ مِّنَ ٱلۡخَوۡفِ وَٱلۡجُوعِ وَنَقۡصٖ مِّنَ ٱلۡأَمۡوَٰلِ وَٱلۡأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّٰبِرِينَ ١٥٥ ٱلَّذِينَ إِذَآ أَصَٰبَتۡهُم مُّصِيبَةٞ قَالُوٓاْ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّآ إِلَيۡهِ رَٰجِعُونَ ١٥٦
Artinya: “ (155) Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan suatu ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, (156) (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata “Inna lillahi wa inna ilaihi raji‘un” (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali).”
Sekilas dari terjemahan ayat, dapat kita pahami bahwa musibah merupakan sesuatu yang bakal ditimpakan oleh Allah bagi umat manusia. Baidhowi dalam Anwaru al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil, menjelaskan lanabluwannakum, Allah pasti akan menguji kita dengan menimpakan musibah. Kenapa Allah harus memberikan musibah kepada manusia? Tiada lain supaya kita dapat memahami pelajaran, bersabar dan bersikap pasrah dari musibah tersebut (1418 H: 1/114).
Dengan suatu ketakutan dan kelaparan, apa yang dimaksud dengan suatu ketakutan dan kelaparan? Masih menurut Baidhowi, menukil pendapat Imam Syafi’i, khouf (ketakutan) yang dimaksud adalah takut kepada Allah. al-Ju’ (kelaparan) berarti puasa Ramadhan. (1418 H: 1/1154)
Lebih jelas Baidhowi menambahkan yang dimaksud sesuatu ketakutan dan kelaparan, adalah Allah memberi sedikit kelemahan terhadap apa yang manusia miliki, supaya manusia merasa lemah, sekaligus menegaskan bahwa rahmat-Nya Allah tidak jauh dari manusia. Ditimpakannya musibah terhadap manusia, merupakan sebuah nisbat terhadap apapun yang menimpa kepada orang-orang yang durhaka di akhirat kelak. Pertanyaannya kemudian, apakah kita akan mendapatkan musibah? Allah memberi kabar terlebih dahulu sebelum terjadinya musibah tersebut, supaya kita dapat melatih diri sendiri dengan kekurangan, baik kekurangan harta, sakit-sakitan, dan buah-buahan. (1418 H: 1/114)
Seakan kita perlu berusaha untuk melatih diri, terkadang kita merasa khawatir dan takut atas apa yang terjadi pada hari esok. Ternyata rasa khawatir, rasa takut kelaparan hanya bagian kecil dari apa yang Allah timpakan kepada manusia. Baidhowi mengingatkan kita, bahwa perasaan tersebut, supaya kita dapat mengingat Allah beserta rahmat-Nya. Menarik bukan, bahwa musibah juga sebagai pelatihan diri!
Masih menurut Baidhowi mengutip pendapat Imam Syafi’i, maksud dari arti al-Naqshu min al-amwal (kekurangan harta) ialah memberi shodaqoh dan membayar zakat, sedangkan min al-anfus (dari jiwa) ialah sakit. Dan min al-tsamarat (dari buah-buahan) adalah kematian anak (1418 H: 1/114). Rasanya perasaan malas atau tidak mau bersedekah dan mengeluarkan zakat dampak dari rasa khawatir sandang pangan di hari esok yang berlebihan.
Menurut pendapat Imam Syafi’i ini, menuturkan pesan implisit. Bahwa saat kita mampu dan berkecukupan pun, juga diberi musibah dengan perasaan takut dan khawatir kehabisan harta, jika harus mengeluarkan shodaqoh dan zakat sesuai perintah Allah.
Terkait perasaan khawatir dan ketakutan atas musibah, menarik untuk memahami penjelasan Sya’rowi dalam Tafsir al-Sha’rawi, perasaan takut dan khawatir itu bersumber dari diri sendiri, tentu perasaan tersebut tidak bisa dihilangkan dengan perasaan takut pula. Melainkan kita harus menyibukkan diri dari tercegahnya perkara yang membuat khawatir dan menakutkan, juga termasuk meninggalkan perkara yang menimbulkan sebab perasaan takut. Bagaimanapun kita tidak boleh hidup dalam ketakutan, sayangnya kebanyakan dari kita mudah merasa takut sebelum musibah datang.
Seharusnya sedapat mungkin kita keluar dari perasaan khawatir, supaya rasa takut tidak berlarut. Perlu diingat bahwa saat Allah menurunkan Musibah, juga akan menurunkan rahmat dan belas kasih terhadap hambanya. Andai kita menjalani dengan sabar, dengan introspeksi diri untuk menghadapi musibah yang menyulitkan, kita akan hidup dengan kegiatan-kegiatan yang positif. Demikian tulis Sya’rowi dalam tafsirnya (1997:2/660). Dapat dipahami pentingnya sikap optimistis dan berfikir positif dari apapun musibah yang kita hadapi.
Objek ayat 156 adalah Nabi Muhammad SAW, atau siapapun yang bersikap atas kabar gembira ini. Secara umum musibah yang menimpa kepada manusia ialah perkara yang tidak disenangi. Seperti dalam Hadist Nabi: كُلُّ شَيْءٍ يُؤْذِي المُؤْمِنَ فَهُوَ لَهُ مُصِيْبَةٌ
Artinya: “Segala sesuatu yang merugikan orang yang beriman, ia adalah musibah.”
Sabar bukan sekadar meminta perlindungan dari Allah melalui lisan saja, melainkan juga dengan hati yang dapat mengilustrasikan untuk apa ia diciptakan, bahwa sesungguhnya ia akan kembali kepada Allah. Perlu dan penting kiranya mengingat nikmat-nikmat yang Allah berikan, sangatlah banyak yang dinikmati, sehingga diri akan merasa mudah dan tetap pasrah kepada Allah. Tulis Baidhowi dalam tafsirnya (1418 H: 1/114)
Sya’rawi menambahkan tentang musibah, Musibah merupakan sesuatu kesulitan dan kesusahan yang dialami oleh manusia, bagi seorang yang beriman ia akan percaya bahwa dibalik musibah terdapat pahala (1997:2/663).
Dalam tafsir al-Munir Wahbah Zuhaili menjelaskan, bahwa mereka yang berbahagia mereka yang mengimani qadha’ dan qadar, juga sabar saat pertama kali menghadapi kejutan musibah. Seraya mereka berucap Inna lillahi Wainna Ilaihi raji’un, Allah akan memberi pahala kepada mereka yang berbahagia dan sabar atas musibah (1418 H:2/42). Dengan adanya pandemi Covid-19 kita akan terus diajak berdialog oleh al-Qur’an untuk memaknai kembali tentang ayat-ayat musibah supaya kita masuk golongan orang yang merugi. Wallahu A’lam.