Wabah Corona seolah mendesak kita untuk melaksanakan semua aktivitas dari rumah. Pokoknya, belajar di rumah, kerja di rumah, dan ibadah di rumah. Tapi, ini adalah kiat Presiden Jokowi untuk menghadapi Corona.
Dalam masa-masa tidak biasa ini, tagar #dirumahasaja mengingatkan semua orang untuk sejauh mungkin menjaga jarak dengan kerumunan. Tak lain tak bukan, rasa takut dan alasan “demi menjaga keselamatan” adalah insting pertama umat manusia sebagai respon dalam menghadapi musibah seperti pandemi Corona. Dan, itulah ujian pertama yang disebutkan dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 155-156.
ولنبلونكم بشيء من الخوف والجوع ونقص من الأموال والأنفس والثمرات وبشر الصابرين # الذين إذا أصابتهم مصيبة قالوا إنا لله وإنا إليه راجعون.
Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun” (Q.S. al-Baqarah [2]: 155-156).
Ibn Asyur, seperti dikutip Prof. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah, menyebutkan bahwa term syay’ merupakan sebuah bagian kecil dari entitas yang lebih besar. Syay’, dengan kata lain, bisa disebut sebagai “ujian yang sedikit” saat seseorang dihadapkan dengan rahmat Tuhan yang begitu luasnya (Quraish Shihab, 2005: 364-367).
Ini juga berkaitan dengan konteks ayat 153 yang meminta orang-orang mukmin untuk memohon pertolongan kepada Tuhan dengan cara bersikap sabar dan melaksanakan shalat. Konsekuensi dari pengertian di atas, apapun jenis cobaan yang disebutkan sebagai uraian dari kata syay’ adalah bentuk tahqir (pengecilan) dari hikmah yang terdapat dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 153, yakni isti’anah (keterkaitan permintaan pertolongan) antara Allah dan hambanya. Lebih jauh, bentuk tahqir tersebut merupakan respon al-Quran sebagai koreksi atas sikap umum manusia yang menumpahkan seluruh reaksi emosionalnya terhadap cobaan itu sendiri. Dalam pengertian ini, demikian kata Prof. Quraish, maka ujian yang sebenarnya adalah bagaimana respons manusia itu sendiri. Bagi beliau, ujian terbesarnya adalah justru kegagalan manusia dalam bersikap atas cobaan tersebut (Quraish Shihab, 2005: 365).
Salah satu ujian yang coba di-tahqir (perkecil) adalah khauf. Term ini merujuk pada makna ketakutan. Ibn Asyur melukiskan rasa takut ini dengan respon emosional umat islam manakala terlibat konfrontasi dengan orang-orang Makah di masa awal hijrah (ibn Asyur, Juz 2, 1984: 54).
Sementara, as-Samarqandi dalam Bahr al-ulum menyebutkan rasa takut ini adalah histeria yang menimpa umat Islam dalam perang Khandaq (as-Samarqandi, Juz 1, 1993: 169). Lha gimana, menyadari jumlah umat Islam yang tidak seberapa, lalu konsolidasi politik dan militer yang sangat singkat, serta sumber daya ekonomi yang masih rendah dibandingkan dengan yang dimiliki rival di Makah tentu saja menimbulkan histeria ketakutan yang berlebihan (Fakhruddin ar-Razi, Juz 4, 1981: 165).
Dari as-Samarqandi, sekurang-kurangnya kita bisa melihat bahwasanya yang disebut sebagai bentuk ujian bukanlah kecilnya jumlah umat Islam atau sedikitnya persediaan senjata dan makanan akibat embargo dalam perang Khandaq, melainkan rasa takut. Dan, rasa takut inilah yang justru akan menghalangi relasi antara manusia dengan Tuhannya.
Wabah corona tentu membawa kita pada histeria yang kurang lebih sama. Rasa takut ini terbukti menciptakan gejolak dan respons sosial yang sangat tidak teduh. Bayangkan saja, para otak kapitalis memborong komoditas potensial secara membabi buta; masker, hand sanitizer , bahan pokok dan lain semacamnya. Demikian halnya dengan sejumlah politisi yang memanfaatkan pandemi ini untuk mencari panggung. Tak mau kalah, sebagian agamawan dan pendakwah justru memanfaatkan ketakutan masyarakat untuk menggaet jamaah.
Maka, sebagai hamba yang daif, tidak ada salahnya untuk kita menguatkan kembali hikmah yang didengungkan Q.S. al-Baqarah [2]: 153, yakni al-isti’anah. Ringkasnya, agar supaya tidak menjadi umat yang pasif-fatalis atau aktif-gegabah dalam menghadapi pandemi Corona, maka mari bersama meminta pertolongan kepada Tuhan dengan cara yang elegan cum kaffah, yakni tidak saja menggalakkan upaya lahiriah, tetapi juga mengetuk pintu langit lewat doa.
Atau, seperti pesan Angela Merkel: yang ahli silakan bicara dan bertindak dari sisi teknis, sedangkan yang tidak ahli, lebih baik bicara dan bertindak dengan bahasa kemanusiaan. Virus Corona bukan lagi mainan kanak-kanak.
“The situation is serious. Please take it seriously.”
Chancellor Angela Merkel says in a rare TV address that beating the #coronavirus is Germany's greatest task since the end of World War Two. pic.twitter.com/8wR5UruAlg
— DW News (@dwnews) March 18, 2020