Shalih ‘Alaihi Salam merupakan Nabi sekaligus Rasul yang diberi tugas untuk mendakwahi umatnya, yakni kaum (baca: kabilah) Tsamud. Siapakah kaum Tsamud itu? Sebutan Tsamud sendiri dinisbatkan kepada nama moyangnya dulu sebagaimana pendapat para mufassir, yang nasab keturunan mereka meliputi Tsamud bin ‘Atsir bin Iram bin Sam bin Nuh.
Tsamud adalah satu dari sekian banyak kabilah bangsa Arab sebelum zaman Nabi Ibrahim, tepatnya setelah kaum ‘Ad (kaum Nabi Hud) binasa di kawasan Hadramaut. Lalu Kaum Tsamud hadir dan tinggal di sebuah daerah yang terkenal di antara negeri Hijaz dan Syam hingga Wadil Qura’ (Ibnu Katsir, 1419 H).
Surat Al-A’raf mengisahkan Nabi Shalih bersama kaum Tsamud di sepanjang ayat 73 hingga ayat 79. Pada permulaan kisahnya dijelaskan bahwa Shalih tidak lain ialah saudara atau menjadi bagian dari kaum Tsamud itu sendiri. Sebagai wujud manifestasi atas kerasulannya, lantas ia berseru kepada mereka untuk menyembah kepada Allah sebagai Tuhan yang tiada duanya.
Dalam buku Teologi Kaum Tertindas, memotret dua golongan yang berbeda pandangan semenjak hadirnya risalah kenabian. Hal ini dikisahkan dalam surat Al-A’raf ayat 75.
قَالَ الْمَلأ الَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا مِنْ قَوْمِهِ لِلَّذِينَ اسْتُضْعِفُوا لِمَنْ آمَنَ مِنْهُمْ أَتَعْلَمُونَ أَنَّ صَالِحًا مُرْسَلٌ مِنْ رَبِّهِ قَالُوا إِنَّا بِمَا أُرْسِلَ بِهِ مُؤْمِنُونَ
Pemuka-pemuka yang menyombongkan diri di antara kaumnya berkata kepada orang-orang yang dianggap lemah yang telah beriman di antara mereka, “Tahukah kalian bahwa Saleh diutus (menjadi rasul) oleh Tuhannya?” Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami beriman kepada wahyu yang Saleh diutus untuk menyampaikannya”.
Golongan yang pertama adalah Mala’, yakni kalangan aristokrat, para pemuka kaum, yang angkuh dan diskriminatif. Sedang golongan kedua adalah alladzina ustudh’ifu (orang-orang yang dianggap lemah), yang berasal kalangan bawah, miskin, lagi awam (Abad Badruzaman, 2008). Ibnu Jarir Ath-Thabari menyebut yang terakhir ini sebagai golongan mustadh’afin (kaum yang dilemahkan/ tertindas).
Kemudian keduanya berdialog dengan pola komunikasi yang tentu saja merepresentasikan kelas sosialnya masing-masing. Dalam kitab Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an diterangkan, para pemuka kaum yang menyombongkan diri itu, enggan mengikuti ajakan Nabi Shalih dan beriman kepada Allah dan Nabi-Nya. Mereka mengawali tanya kepada para penduduk yang menjadi pengikut Nabi Shalih dan segenap kaum mukmin, yang kesemuanya bukan berasal dari kalangan yang terhormat dan terpandang.
“Tahukah kalian bahwa Shalih diutus oleh Tuhannya, untuk mendakwahi kami dan kalian?”. Segenap pengikut Nabi Shalih dari kaum mustadh’afin menjawab: “Sungguh kami beriman kepada risalah yang diwahyukan oleh Allah kepada Shalih tentang kebenaran dan petunjuk orang-orang mukmin…” (Ibnu Jarir Ath-Thabari, 1420 H).
Mengamati pola-pola dialog di atas, Abu Bakar Al-Jazairi dalam kitab Aisir Tafasir menilai bahwa pertanyaan golongan yang angkuh (mustakbirin) kepada kaum yang lemah merupakan sebuah ejekan dan olokan yang menunjukkan kesombongan. Walaupun demikian, mereka menjawabnya dengan tegas dan terang-terangan, tanpa sedikitpun rasa takut mereka mendeklamasikan imannya kepada Nabi Shalih di hadapan kaum mustakbirin (Abu Bakar Al-Jazairi, 1424 H).
Kemudian kaum mustakbirin menimbal kembali pada ayat selanjutnya, pada surat Al-A’raf ayat 76.
قَالَ الَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا إِنَّا بِالَّذِي آمَنْتُمْ بِهِ كَافِرُونَ
“Orang-orang yang menyombongkan diri berkata, “Sesungguhnya kami adalah orang yang tidak percaya kepada apa yang kamu imani itu.”.
Ath-Thabari dalam tafsirannya menyebutkan,“(Sesungguhnya kami) wahai para kaum (terhadap apa yang kalian imani itu,) atas kebenaran risalah kenabian Shalih yang diutus oleh Allah (adalah orang-orang yang tidak percaya) yakni golongan yang ingkar, mendustakan risalah nabi serta tidak mengakuinya”. (Ath-Thabari, 1420 H).
Hal ini menyiratkan sikap keangkuhan yang nyata, di mana kaum mustakbirin bukan lagi berujar dengan kalimat: “Sesungguhnya aku tidak percaya terhadap wahyu yang Shalih diutus untuk menyampaikannya”. Tetapi sebagaimana dalam ayat 76, “Sesungguhnya kami adalah orang yang tidak percaya kepada apa yang kamu imani itu”. (Al-Jazairi, 1424 H).
Dari sini barang kali jelas, bahwa Nabi Shalih hadir untuk membersamai kaum mustadh’afin yang berani memutus hubungan patronase dengan para pemuka kaum yang sangat berpengaruh. Sekalipun ia sebenarnya juga mendakwahi mereka dari segenap bangsawan dan aristokrat, namun mereka justru mendustakannya seraya mengolok-olok kaum mukmin, yang berasal dari rakyat jelata, miskin, lagi tertindas. (AN)
Wallahu a’lam.