إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”
Demikian surat an-Nahl ayat 90. Ayat ini seakan menjadi “ayat favorit” yang sering dibaca khatib di penghujung khutbahnya dan tentu didengar oleh kita, para jamaah shalat jumat.
Salah satu titik tekan pada ayat di atas adalah kata al-ihsan. Para ulama memiliki aneka pandangan mengenai apa maksud kata itu. Hal ini bisa dibaca pada banyak karya tafsir mereka, baik klasik maupun kontemporer. Namun tentang ayat ini, agaknya penulis lebih tertarik untuk dengan pendapat al-Maturidi, karena lebih detail.
Dalam tafsirnya, ia menyebut ada tiga macam ihsan. Hal ini didasarkan kepada kaitan al-ihsan itu sendiri dengan pihak yang lain. Ketiga ragam ihsan itu adalah:
Pertama, ihsan antara seseorang dengan Allah Swt. Ihsan ragam ini berarti sama seperti yang dikatakan Nabi Muhammad ketika ditanyai Malaikat Jibril tentang Islam, Iman, dan Ihsan, yaitu “Engkau beramal karena Allah seakan-akan engaku melihatNya. Dan bila engkau tak melihatNya, maka Dia melihatmu” (HR. Muslim). Orang yang sudah menjadi muhsin dalam arti ini, ia akan selalu ikhlas dalam setiap amalnya dan senantiasa mencari keridlaan Allah.
Orang yang demikian, ketika beramal sudah tidak lagi mengharap apapun dari pihak lain. Sehingga apapun yang ia kerjakan, hanya berlandaskan ridhla Allah saja. Dan ketika amalnya ditampakkan kepada manusia sekalipun, itu bukan dalam rangka pamer atau sombong, namun lebih dengan niatan dakwah.
Kedua, ihsan antara seseorang dan orang lain (sesama makhluk). Ihsan ini berarti seseorang melakukan sesuatu untuk orang lain, sama seperti dengan ia melakukannya kepada dirinya sendiri. Ini sesuai dengan hadis Nabi Muhammad SAW, “Salah seorang di antara kalian tidak akan beriman (dengan iman yang sempurna) sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri” (HR. Bukhari).
Orang demikian sadar bahwa apa yang ia kerjakan kepada dirinya hendaknya dikerjakan kepada orang lain—tentu hanya dalam konteks positif, misalnya ia suka orang lain menghormati orang lain, berati ia akan menghormati orang lain; ia suka pendapatnya didengarkan lawan bicaranya, berarti ia juga akan selalu mendengarkan apa dikatakan lawan bicaranya; dan lain sebagainya.
Sehingga orang yang hanya mau menang sendiri, berarti ia belum termasuk orang yang mushin dalam arti ini. Orang demikian hendaknya banyak “berkaca” agar apa yang ia kerjakan selalu diukur dengan dirinya sendirinya manakala diperlakukan orang lain.
Ketiga, ihsan kepada diri sendiri. Ini berarti bahwa seseorang menjaga dirinya dari segala hal yang merusaknya. Segala bentuk hal yang mendatangkan bahaya kepada diri sendiri sangat tidak dibenarkan oleh Islam.
Allah SWT berfirman, “Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqarah [2]: 195).
Walhasil, jika ketiganya diringkas, maka ihsan akan memiliki arti beramal ikhlas hanya karena Allah, mau berbuat baik kepada orang lain, dan tidak zalim kepada diri sendiri. Semoga kita bisa menjalankan ketiga-tiganya. Allahummaj’alna min ‘ibadika musinin (Ya Allah, jadikan kami termasuk salah satu dari hamba-hambaMu yang berbuat ihsan). Amin.