Perdebatan terkait nabi terakhir (Nabi akhir zaman) dalam Al-Qur’an sangat lah Panjang. Apalagi disebut dalam Al-Quran bahwa nabi terakhir adalah Ahmad, bukan dengan nama Muhammad. Penyebutan nama ini memunculkan banyak pertanyaan, salah satunya: Jika benar nama nabi terakhir adalah demikian, berarti Nabi Muhammad bukan nabi terakhir.
Lalu, benarkah demikian? Bagaimana para ahli tafsir menjawab pertanyaan seperti ini?
Dalam Tafsir Al-Misbah, Quraish Shihab menjelaskan bahwa nama Ahmad merupakan salah satu nama bagi Nabi Muhammad SAW. Hal ini dijelaskan dalam salah satu hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim dan Malik. Nabi bersabda,
إنَّ لي أسْماءً، أنا مُحَمَّدٌ، وأنا أحْمَدُ، وأنا الماحِي الذي يَمْحُو اللَّهُ بيَ الكُفْرَ، وأنا الحاشِرُ الذي يُحْشَرُ النَّاسُ علَى قَدَمَيَّ، وأنا العاقِبُ الذي ليسَ بَعْدَهُ أحَدٌ.
“Saya mempunyai lima nama. Saya adalah Muhammad; saya adalah Ahmad; saya adalah al-Mahi (penghapus), dengannya saya menghapus kekufuran; saya adalah al-Hasyr (pengumpul) yang membuat manusia berkumpul di bawah bimbinganku; dan saya adalah al-‘Aqib, yang tak ada seorang pun setelahnya.”
Penjelasan dalam hadis ini menunjukkan bahwa ada pengakuan dari Nabi sendiri bahwa dia lah Ahmad, dia juga yang menjadi nabi terakhir dengan pembuktian redaksi “yang tak ada seorang pun setelahnya”.
Bisa jadi bagi orang di luar Islam hanya menganggap sabda Nabi ini sebagai pengakuan bohong atau hanya sekedar mengaku-ngaku agar Namanya sesuai penyebutan Ahmad dalam Al-Qur’an. Namun ada hal penting yang disampaikan oleh Ibnu Asyur. Bagi Ibnu Asyur, penyebutan ismuhu Ahmad dalam Al-Qur’an tidak hanya untuk menyebut nama seseorang. Bagi Ibnu Asyur, jika seperti demikian, maka hal itu tidak akan sesuai dengan kenyataan, karena nabi sendiri hampir tidak pernah dipanggil dengan sebutan Ahmad oleh para sahabat dan orang-orang lain di sekitarnya dahulu.
Baca juga: Menghormati Nabi Terakhir tidak Hanya di Bibir
Menurut Ibnu Asyur, kata ism dalam bahasa Arab, biasa digunakan untuk menyebut tiga makna. Hal ini juga bisa jadikan parameter untuk mengukur dan memaknai frasa ismuhu Ahmad yang terdapat dalam surat as-Shaff ayat 6:
Pertama, al-musamma, yaitu untuk menyebut atau menggambarkan hal atau sesuatu yang diberi nama. Kata Ahmad merupakan bentuk tafdhil (superlative) dari kata hamida yang berarti lebih terpuji. Dalam konteks ayat 6 surat as-Shaff, Nabi Muhammad adalah orang yang lebih terpuji dari pada Nabi Isa yang menjadi mutakallim (orang yang berbicara) dalam konteks ayat tersebut. Artinya, Nabi Isa mengakui bahwa Nabi Muhammad adalah orang yang lebih terpuji dari pada dirinya dalam beberapa hal, seperti kepribadian, risalah, dan syariatnya.
Kedua, bermakna kemasyhuran dalam kebajikan. Dalam konteks ayat di atas, ismuhu Ahmad dipahami bahwa popularitas Nabi Muhammad SAW pada masanya dan sesudahnya sangat ahmad (terpuji) dalam hal kebajikan. Hal ini disebutkan dalam hadis bahwa Nabi Muhammad SAW adalah pengibar panji pujian pada hari kiamat. Demikian juga disebut dalam sebuah ayat al-Isra: 79
عَسٰٓى اَنْ يَّبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَّحْمُوْدًا
“mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji.”
Ketiga, berarti tanda, yaitu untuk membedakan dengan banyak yang serupa dengannya. Nabi Muhammad SAW adalah nama yang sering mendapat pujian. Saking seringnya dipuji, maka beliau adalah Ahmad, orang yang paling terpuji. Pendapat-pendapat ini bisa juga dibaca lebih lanjut dalam Hasyiyat al-Jamal alal Jalalain.
Dalam konteks lain, Nabi Muhammad SAW pernah disebut dalam syair dengan sebutan Ahmad oleh penyair sahabat bernama Hassan bin Tsabit. Penyebutan ini oleh at-Thabtabai menjadi landasan bahwa Nabi Muhammad juga dikenal dengan sebutan Ahmad pada masanya. Namun dasar at-Thabtabai ini dianggap tidak terlalu kuat oleh Quraish Shihab. Dalam Tafsir Al-Misbah Quraish Shihab menyebut bahwa bisa jadi ia menggubah syair itu setelah surat as-Shaff ayat 6 yang menyebutkan nama nabi terakhir ini turun. (AN)
Penjelasan selengkapnya bisa dibaca dalam “Tafsir Al-Misbah 15 Juz” karya Quraish Shihab.