Menghormati Nabi Terakhir Tidak Hanya di Bibir

Menghormati Nabi Terakhir Tidak Hanya di Bibir

Menghormati Nabi Terakhir Tidak Hanya di Bibir

Banyak orang yang hadir dalam majelis-majelis sholawat dengan mendendangkan Ratib Al Attas, Barzanji, Simtudduror, pujian dalam bahasa Arab, Jawa maupun Indonesia. Para jamaah yang hadir berbondong-bondong menyewa colt, truk, dan segala jenis kendaraan beroda empat. Mereka berbaur bersama, baik yang memberi gelar sayyidina, nabiyyina, maupun yang tidak sama sekali. Semua dilakukan untuk menunjukkan rasa hormat kepada Nabi Muhammad SAW.

Kita punya ekspresi yang berbeda-beda dalam menunjukkan rasa hormat, kecintaan, kerinduan kepada Nabi Muhammad. Namun, apa rasa hormat kita hanya sebatas mengulang sholawat pujian setiap hari, dan jawaban Allahumma Sholii Alaih dari setiap lontaran Shollu ala Muhammad? Apakah tidak ada alasan logis kenapa kita harus mengagungkannya?

Nah, yang perlu kita ketahui, bersholawat memang dianjurkan karena mendapatkan banyak faedah serta syafaat bagi pengamalnya. Emha Ainun Najib (Cak Nun) menganalogikan bersholawat dengan pancaran radar. Bersholawat itu seperti kita memasang radar, semakin banyak semakin jelas cahayanya. Semakin ia dikenali Rasulullah maka ia akan lebih mudah memberikan syafaat karena sudah mengenali dan jelas cahaya yang memancar dari radar itu.

Namun yang lebih penting sebenarnya adalah menemukan alasan yang tepat kenapa kita harus hormat kepada kanjeng Nabi Muhammad. Agar kita tahu dan tandas meyakini bahwa beliau adalah benar-benar utusan Allah yang layak di agungkan sepanjang masa.

Nabi Muhammad adalah sumber dari segala kebenaran, karena dalam setiap langkahnya beliau selalu dituntun Allah. Selalu ada kontribusi wahyu dalam setiap ucapan, tindakan dan ketetapan beliau. Selain itu beliau juga ma’sum atau terbebas dari segala dosa dan tindakan melenceng. Inilah alasan mengapa ada pendapat yang mengatakan kalau Nabi Muhammad adalah satu-satunya manusia yang tidak boleh dibantah perkataannya.

Jika kemudian kita bingung menafsirkan Al-Qur’an dalam tindakan dan kegiatan harian, maka kita dapat membaca sejarah nabi, karena segala perilaku Nabi adalah pengejawantahan Al-Qur’an sebagai kalami nafsi yang menyatu sebagai diri Nabi Muhammad SAW.

Sayyidah Aisyah pernah berkata,

“Kepribadian dan perilaku beliau adalah cerminan dari Al-Qur’an.” (HR. Ahmad).

Maka sebenarnya kita tak perlu mencari sosok lain sebagai pedoman karena segala laku Nabi Muhammad adalah kebenaran dan kyai serta ulama adalah penerus beliau yang dapat menjadi pedoman dalam berpikir, bersikap dan berperilaku.

Nabi Muhammad juga menjadi revolusioner sejati yang mampu mengubah keadaan dunia. Dulu masyarakat Arab dan sekitarnya sangat hancur secara moral. Bayi perempuan dibunuh karena di anggap tak berguna untuk berperang, pelacuran, judi terjadi di mana-mana. Wanita India juga pernah mengalami degradasi kehormatan pada masa sebelum Nabi Muhammad lahir. Para lelaki India mempertaruhkan istrinya untuk judi, pelacuran di tempat ibadah dan kasta-kasta yang merendahkan.

Rasulullah tampil membawa Islam yang teduh, damai, moderat, menjunjung kesetaraan serta mengangkat harkat martabat manusia. Bahwa sebenarnya tinggi rendahnya manusia tergantung ketaqwaannya bukan golongan, kekayaan atau kekuatan. Membebaskan banyak budak, memperbaiki aqidah dan akhlaq, menghindari nafsu duniawi, mengajarkan kasih sayang sesama makhluk dan memberi pedoman hidup lewat Al-Qur’an.

Maka, agar kita tidak hanya meyakini dan menghormati Nabi Muhammad sebagai sebuah cerita sejarah, kita perlu membaca sejarah hidup Nabi yang telah coba digambarkan oleh banyak salafus sholeh dalam karya-karyanya. Misalnya membaca karya Quraish Shihab, ulama kontemporer yang menulis sejarah hidup Nabi dalam tinjauan Al-Qur’an dan Hadits agar keyakinan kita berdasar, penghormatan kita bersumber.

Menghormati beliau tidak hanya di bibir tapi diwujudkan dalam laku dengan dasar pengetahuan yang terus dipupuk. Penghormatan tertinggi kepada Nabi Muhammad adalah dengan membaca riwayat hidup dan meneladani dalam bentuk amal sehari-hari agar Islam Rahmatan Lil ‘Alamin benar-benar terwujud.

Allahumma Sholli ‘ala Sayyidina Muhammad

Fajrul Falah Wangsaguna, penulis adalah santri ponpes Nailul Ula Yogyakarta.