Juli lalu, seorang pria di Tanjung Priok dihukum setelah menganiaya istrinya setelah sang istri menolak mengusap-usap perutnya untuk menggugah birahi. Penolakan sang istri menyebabkan ia ditusuk, dibacok, hingga digorok oleh sang suami. Beruntung sang istri diselamatkan oleh tetangga yang mendengar jeritan permintaan tolongnya.. Di tempat lain, kita bisa menyaksikan banyak istri yang tidak memiliki daya apapun untuk menolak ajakan bersetubuh berakhir trauma.
Negara merespon kasus-kasus ini dengan rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang bertujuan melindungi perempuan dari segala bentuk kekerasan, baik secara fisik, psikis, maupun seksual. Namun, langkah ini diganjal oleh berbagai elemen masyarakat dan juga fraksi di DPR yang tidak menyetujui RUU tersebut dengan alasan menyalahi ajaran agama. Salah satu kritik keras terhadap RUU PKS adalah terkait terminologi kekerasan seksual yang termasuk suami yang memaksa istrinya berhubungan seksual. Dalam konteks ini, kita memahaminya sebagai pemerkosaan dalam pernikahan (marital rape).
Anggota fraksi Partai Persatuan dan Pembangunan (PPP) misalnya mengatakan bahwa seorang istri wajib hukumnya melayani suami. Ketika suami sudah berhasrat untuk bersetubuh maka istri wajib untuk menaatinya. Jika tidak malaikat akan melaknatnya hingga pagi. Dari hadis ini, ia berpandangan bahwa hasrat antara laki-laki dan perempuan berbeda.
Laki-laki diberi porsi yang besar dan memiliki dominasi terhadap ruang seksual dalam hubungan pernikahan. Sedangkan perempuan hanya ditempatkan sebagai objek seksual yang dikenai laku dan tidak memiliki kesempatan apapun melakukan penolakan. Tafsir diskriminatif ini menutup keran demokrasi dalam hubungan suami-istri.
Orang-orang tipe ini kerap mengutip bahwa hal tersebut bagian dari kewajiban istri. Misalnya saja mereka mengutip dari kitab Al-Adab fid Din dalam Majmu’ah Rasail al-Imam al-Ghazali tentang 16 adab istri terhadap suami, salah satunya adalah “at-ta’ah li amrihi” atau senatiasa taat atas perintah suami. Ketika istri menolak ajakan mereka menggolongkan tindakan ini sebagai nusyuz yang memperbolehkan pemukulan (kekerasan) terhadap isteri sebagaimana yang dipahami pada An-Nisa’ ayat 34.
Patriarkisme dalam tafsir agama menempatkan perempuan sebagai pihak yang menaati (lemah, tidak memiliki kekuatan untuk menolak) dan laki-laki sebagai pihak yang harus ditaati. Terdapat struktur yang tidak kompatibel di sini. Laki-laki mempunyai kedudukan lebih tinggi dibanding dengan perempuan (yang menaati vis a vis yang ditaati) dalam hubungan seksual.
Subordinasi struktur relasi seksual memunculkan marginalisasi yang merugikan perempuan dengan tidak adanya mekanisme demokratis dan consent (persetujuan) dalam urusan ranjang. Celakanya, pandangan tersebut dilegitimasi dengan mengutip al-Baqarah ayat 228 bahwa suami memiliki derajat lebih tinggi dibanding istri. Pandangan ini memberi dukungan tentang konsep kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga, sebagaimana surat an-Nisa ayat 34 dan membenarkan hirarki relasi seksual.
Kepemimpinan laki-laki ini oleh Sudrajat dalam “Beberapa Persoalan Perempuan Dalam Islam” disebabkan dua alasan, yaitu kelebihan fisik laki-laki atas perempuan dan nafkah yang mereka keluarkan untuk keperluan isteri dan rumah tangga. Padahal Ali Engineer dalam “Islam dan teologi Pembebasan” mengingatkan bahwa surat al-Nisa ayat 34 tidak boleh dipahami lepas dari konteks sosial pada waktu ayat itu diturunkan. Struktur sosial pada zaman nabi tidaklah benar-benar mengakui kesetaraan (equality) antara laki-laki dan perempuan. Kita tidak boleh mengambil pandangan yang semata-mata bersifat teologis, tetapi harus menggunakan pandangan sosio-teologis.
Perempuan dalam relasi seksual ini mengalami penindasan secara tafsir maupun praktik teologis. Pembebasan perempuan, baik dalam ranah negara maupun agama, diperlukan untuk menghentikan ketidakadilan ini. Agama dalam hal ini harus hadir sebagai “hidayah nabi” sekaligus menempatkan kehadiran Tuhan untuk membela perempuan sehingga perlu ada re-interpretasi terhadap tafsir-tafsir agama patriarkal.
Kita harus terus menggelorakan persamaan hak, martabat, dan derajat yang sama, sebagaimana bisa kita liat dalam tafsir Q.S an-Nisa’: 1, Q.S al-Hujurat: 13, Q.S an-Najm: 45, dan Q.S al-Qiyamah: 39 untuk mengakomodasi pembebasan ini. Usaha reinterpretasi misalnya, dapat kita lihat dari tafsir laknat malaikat terhadap istri oleh Ahmad Munif dalam tulisannya Rasionalisasi dan Reinterpretasi Hadis-Hadis Perempuan.
Munif mencoba memberi gambaran bahwa hadis laknat perempuan tidak boleh diartikan secara harfiah sebab akan kontra dengan prinsip mu’asyarah bil ma’ruf (an-Nisa’: 19). Ia menyoroti teks wahuwa gadlban yang berarti marah. Ia membalik tafsir umum bahwa ketika suami tidak marah atas penolakan istri sebenarnya maka istri tidak dijatuhi laknat apapun. Suami sangat dianjurkan untuk memahami kondisi istri saat hendak diajak berhubungan.
Di sisi lain, istri diperbolehkan menawar, mengiyakan ataupun menolak ajakan tersebut. Tentu alasan yang diberikan pun harus logis dan rasional untuk menghindari la’anatha hatta tusbiha yang dimaknai oleh Munif sebagai kondisi atau suasana tegang yang tidak nyaman sampai reda kembali. Ketentuan ini juga berlaku ketika pihak yang mengajak adalah sang istri. Dari tafsir ini jelas bahwa Islam juga menolak marital rape.
Reinterpretasi selanjutnya terkait dengan ayat nusyuz yang menjadi pembenaran bagi suami untuk melakukan kekerasan kepada istri yang durhaka menolak ajakannya. Mursyidah Thahir dalam Kekerasan Rumah Tangga dan Konsep Nusyuz memberikan pandangan bahwa penolakan istri untuk bersetubuh masih tergolong dalam nusyuz biasa yang hanya perlu untuk dinasehati, diingatkan, dan dibimbing dengan cara yang baik. Tingkatan nusyuz ini sama sekali tidak memperbolehkan dilakukannya tindakan kekerasan oleh suami terhadap istri.
Maka dari itu, perlu kiranya bahwa tafsir-tafsir agama yang berpihak pada kesetaraan gender harus dipopulerkan di tengah suburnya tafsir-tafsir patriarkal. Perempuan dan laki-laki muslim, baik dari tingkat rakyat kecil maupun elit politik, harus memahami pentingnya reinterpretasi tafsir agama Islam yang berfungsi untuk membebaskan perempuan dari penindasan dan marginalisasi dalam relasi seksual hubungan pernikahan ini. Sehingga pada akhirnya, segala upaya pembebasan perempuan oleh negara di kemudian hari tidak lagi dihambat oleh penafsiran-penafsiran agama yang tidak merangkul perempuan di masyarakat muslim kita.
Wallahu a’lam.