“Di masa krisis, setiap kita adalah sosialis” ~ Slavoj Žižek
Pandemi Covid-19 mewabah sudah hampir dua tahun. Sebaran dan dampaknya makin terasa menjalar ke orang-orang terdekat kita. Yang terkini, Covid-19 menghantam pasangan Agus Mulyadi dan Kalis Mardiasih, penulis populer yang juga tetangga kontrakan saya dulu saat masih tinggal di Yogyakarta. Beban makin berat ketika pasangan penulis muda ini juga harus merawat sang Bapak yang juga terinfeksi Covid-19 dan di saat yang sama menderita stroke. Kalis harus menjaga bapak di ruang isolasi Rumah Sakit, Agus menunggu sang ibu di rumah. Teman-teman sekontrakan saya juga harus isolasi mandiri, karena pernah kontak dengan Agus.
Saya mendapat kabar, teman-teman yang juga tetangga mereka berdua berinisiatif membuat jaring pengaman dalam lingkup kecil lewat grup whatsApp. “Tetangga Agus & Kalis” adalah nama grup yang dipilih secara spontan, berisi teman-teman dari lintas komunitas yang kediamannya kebetulan berdekatan.
Grup Tetangga Agus & Kalis menjadi wadah informasi update seputar perkembangan kesehatan dan ketersediaan kebutuhan di rumah masing-masing. Anwar, yang paling junior, menjadi subjek yang paling ringan bensin untuk disuruh jadi kurir beli dan antar kebutuhan. Adapun stok kebutuhan makanan pokok dikomandani oleh Azis, penulis handal cum enterpreneur yang pegang distribusi sayur dari Kaliangkrik Magelang ke Yogyakarta. Untuk membedakan dengan seorang filsuf asli mBantul Azis Anwar Fachrudin, kami memanggilnya Azis Sayur.
Sementara itu, info tabung oksigen, ambulans dan penanganan Covid lainnya dipastikan oleh Mukhib dan Fatin, yang memang aktif di posko penanganan Covid #SalingJaga Jaringan Gusdurian. Cik Prima, redaktur Mojokdotco yang merambah bisnis pet shop, menjamin kesejahteraan kucing peliharaan Agus dan Kalis sekaligus memastikan komunikasi dengan pihak aparat desa berlangsung aman. Betapa pertemanan yang sehat, ketika hewan piaraan saja ikut sejahtera.
Kawan-kawan saya memang ndlogok dan nggatheli. Tapi yang pasti, mereka cengli.
Ya Allah, saya memohon, berikan mereka kesehatan dan kebahagiaan, sebagaimana mereka mencoba mengupayakan kesehatan dan kebahagiaan untuk saya dan keluarga saya. pic.twitter.com/vbaxih0aV4
— Agus Mulyadi (@AgusMagelangan) June 24, 2021
Tak kalah penting, Ahmad Khadafi sebagai takmir masjid Dusun Klabanan melaksanakan tugas semestinya: memutar tasbih, mendoakan sambil sesekali melempar jokes penambah imun yang setengah lucu. Saya sendiri dari jauh ikut bersyukur mengetahui inisiatif tingkat rukun tetangga ini. Keberadaan teman-teman yang peduli adalah berkah tersendiri sekalipun Agus kerap menyebut mereka ndlogok dan nggatheli.
Ini kabar yang melegakan di tengah situasi pandemi yang makin memburuk, khususnya di Yogyakarta. Sekelas Rumah Sakit Sardjito sampai harus meminta pertolongan karena kehabisan tabung oksigen. Iya, habis. Yang terjadi kemudian bisa ditebak: ketika artikel ini ditulis, tajuk utama berita yang saya baca cukup menyayat hati. Sebanyak 63 nyawa pasien RS Sardjito menjadi harga yang harus dibayar karena tabung oksigen habis. Belakangan kabar ini dikoreksi, namun tidak menutupi fakta bahwa rumah sakit kewalahan.
Apa yang terjadi di RS Sardjito tersebut hanya pucuk gunung es. Sistem kesehatan di seluruh Indonesia sedang babak belur. Kasur dan ruangan yang mencapai ambang kapasitas, tenaga kesehatan yang makin lelah secara fisik dan mental, serta suara sirine ambulans yang makin sering terdengar meraung di jalanan. Jelang dua tahun diterpa pandemi alih-alih membaik, kita makin terperosok ke jurang krisis.
Anehnya, Kementerian Kesehatan sendiri seperti enggan (untuk tidak menyebut denial) menyebut rumah sakit kolaps. Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi, bilang bahwa rumah sakit “kolaps tidak, tapi overcapacity itu iya”.
Permainan kata seperti ini seperti abai dan berbanding terbalik dengan kenyataan yang terjadi. Tampak kurang elok disampaikan, mengingat penderita Covid yang meninggal di rumah saat isolasi mandiri mencapai ratusan orang. Belum lagi tenaga kesehatan yang makin lelah secara fisik dan mental. Kita tidak bisa lagi berleha-leha seolah berada di bulan Februari 2020 – sebelum pandemi menyerang.
Sementara di linimasa, kita disuguhi pemandangan yang bikin elus dada. Dalam sebuah video, orang-orang tampak menyerbu tumpukan kardus sebuah merk susu. Mereka berebut, saling mendorong, seperti kerumunan hewan pemangsa. Panic buying satu merek vitamin juga terjadi. Ironisnya, merek-merek tersebut bukan obat mujarab pembasmi virus Covid-19.
Apa yang menghubungkan kolapsnya rumah sakit dan warga yang berebut susu secara buas itu? Kita bersepakat bahwa itu akibat pemerintah yang kurang efektif dalam menangani pandemi. Selain itu, gagalnya membendung arus informasi yang beredar menyebabkan simpang siur informasi penanganan yang tepat. Kita kerepotan sendiri dengan banjir info penanganan Covid, yang ujungnya jadi overhype merek susu dan vitamin itu.
Satu hal yang mendasar dari kekacauan yang tampak, yaitu tidak adanya keteladanan dari para pemimpin yang berwenang menangani pandemi. Alih-alih penanganan yang makin serius, sejak awal kita banyak disuguhi berita para pemegang kebijakan yang tidak mencerminkan empati – baik kepada para pasien maupun tenaga kesehatan yang berjuang.
Sedikit flashback beberapa waktu lalu, amat disayangkan ketika presiden dan jajaran menteri menghadiri pernikahan pesohor Atta Halilintar dengan Aurel. Sementara di akar rumput, banyak pasangan muda harus mengurungkan niatnya untuk menikah karena pandemi. Beberapa di antaranya dibubarkan secara paksa, ada yang beruntung tetap melaksanakan pesta pernikahan, meski harus repot koordinasi dengan aparat lokal.
Betapa tidak naik darah kita, ketika gelombang kedua wabah ini sudah di ambang pintu, kita masih menyaksikan para pemimpin menggelar acara-acara seremonial yang tidak penting-penting amat di masa krisis.
Belum lagi satu hari PPKM Darurat diberlakukan, viral seorang Lurah di Depok justru menggelar hajatan dan asyik berjoget dangdut. Di Makassar, dua hari yang lalu, Walikota Makassar melaunching 10.000 pasukan detektor Covid-19. Dalam sebuah video yang beredar, acara launching ini dipenuhi kerumunan para relawan detektor yang datang. Terkini, anggota DPRD Probolinggo kedapatan kunjungan kerja ke Malang. Di tengah pemberlakuan PPKM Darurat. Semua itu tampak termaafkan dengan kalimat andalan kita semua: dilakukan dengan protokol kesehatan yang ketat. Ampun!
Soal Rumah Sakit Penuh, Kemenkes: Tidak Kolaps, Tapi Over Kapasitas https://t.co/wP3kStvEfY #TempoNasional
— tempo.co (@tempodotco) July 4, 2021
Daftar sikap abai – dan menganggap enteng pandemi – dari kalangan pemerintah bisa kita perpanjang lagi. Di tahun pertama pandemi saja kita sudah disuguhi aksi maling serakah yang menyeret Menteri Sosial. Alih-alih pemenuhan hak dan kebutuhan warga, aksi serakah maling ini menggondol dana bansos bernilai triliunan.
“The darkest places in hell are reserved for those who maintain their neutrality in times of crisis”. Tempat paling gelap di neraka sudah di-booking bagi mereka yang tetap anteng di masa krisis. Begitu kata filosof Italia, Dante Alighieri. Maling (iya, saya sengaja menyebutnya maling) uang rakyat adalah perbuatan dosa, dan maling dana bantuan sosial di masa krisis adalah visa gratis menuju kerak neraka.
Kombinasi dari ketidaksigapan pemerintah, ketiadaan teladan yang mencerminkan sense of crisis, serta banjir bandang misinformasi yang tidak tertangani dengan baik, adalah perfect combo dari situasi sulit saat ini. Bagaimana warga akan patuh di rumah saja, jika harus tetap mencari sesuap nasi? Bagaimana akan percaya, jika pejabatnya masih merasa baik-baik saja?
Entah sudah berapa kali kita dijejali slogan yang berganti-ganti. PSBB. PSBB Transisi. PPKM. PPKM Mikro. Penebalan PPKM Mikro, sampai yang paling mutakhir, PPKM Darurat. Padahal perihal penanganan wabah sudah diamanatkan UU nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Tak ayal, publik mulai curiga istilah ini hanya permainan kata demi menghindari melaksanakan kewajiban yang tertuang dalam UU tersebut. “Beda Nama, Sama Rasa” kata tajuk Majalah Tempo 31 Juni 2021.
Upaya serius pemenuhan kewajiban, ungkapan keprihatinan, pemilihan prioritas, dan contoh sikap bertanggungjawab dari pejabat tidak tampak. Jejaring relawan dari NU, Muhammadiyah, Jaringan Gusdurian, Lapor Covid, dan lainnya yang notabene “hanya” sebagai pendukung, justru menjadi pihak yang pertama kali memohon maaf ke publik karena krisis ini sudah melampaui kapasitas mereka. Kan lucu, melihat suporter bola yang meminta maaf karena timnya kalah pertandingan.
Kita sudah tidak hidup di masa kepahlawanan ala Umar bin Khattab yang berkeliling incognito pada malam hari untuk memastikan warganya tidak ada yang kelaparan. Bukan juga di masa romantis ala Khalifah Harun al Rasyid yang adil dan bijaksana. Makin ke sini, standar kepemimpinan kita seperti makin merosot. Seperti tabung oksigen yang makin langka, keteladanan pemimpin kita tampak menipis.
Pada akhirnya kita tidak bisa berharap pada aksi heroik pemimpin yang diharapkan jadi pahlawan super. Ketika bantuan sosial secara rakus dirayah koruptor, ketika pemegang kebijakan enggan mengakui kegagapannya, kita kita hanya butuh inisiatif dan kepekaan kecil yang tanggap seperti anggota grup whatsApp Tetangga Agus & Kalis.
Karena teman dan tetangga lah tabung oksigen gratis yang kita hirup setiap hari.