Salah satu nikmat yang harus disyukuri adalah nikmat lingkungan hidup. Mengapa demikian? Dan bagaimana cara mensyukurinya?
Pernahkah anda sekalian menjumpai capung? Penulis cukup beruntung pernah menjumpainya saat masih duduk di bangku SD. Capung sendiri bermanfaat bagi sekitarnya. Sebagian masyarakat bahkan ada yang meggunakannya untuk memprediksi turunnya hujan. Sebuah penelitian menunjukkan, perilaku capung berkumpul dengan kawanannya menjadi penanda akan turun hujan. Namun, ke manakah capung-capung itu saat ini?
Pada Desember 2021, International Union of Coservation Nature’s (IUCN) merilis data yang menunjukkan bahwa 962 dari 6.016 spesies capung di dunia terancam punah. Dari total jumlah spesies yang terancam punah, seperempat di antaranya merupakan spesies yang berada di kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara. Hilangnya ekosistem air tawar dan hutan hujan sebagai habitat capung menjadi penyebab utama kepunahan spesies tersebut.
Hewan yang oleh masyarakat di tempat tinggal penulis (Gresik, Jawa Timur) disebut gantrung itu tidak sendirian. Data terbaru dari IUCN (Oktober 2022) menunjukkan, sebanyak 1.217 spesies hewan di Indonesia terancam punah. Bersamaan dengan itu, sebanyak 977 spesies tumbuhan juga terancam punah.
Aktivitas manusia lagi-lagi menjadi penyebab utama. Perburuan liar, pembakaran hutan, dan pencemaran air adalah contoh aktivitas manusia yang dapat menyebabkan kepunahan. Populasi menjadi berkurang, dan habitat hewan juga menghilang karena ekosistem yang rusak. Sebenarnya, rusaknya ekosistem atau lingkungan karena aktivitas manusia telah dikabarkan Allah SWT melalui Firman-Nya Q.s. Ar-Rum [30]: 41.
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Terjemah Kemenag 2019)
Keseimbangan yang Harus Dijaga
Kata “lingkungan hidup” cukup sering terdengar dan menjadi bahan obrolan. Lalu, sebenarnya apa definisi dari lingkungan hidup itu? Definisi itu dapat ditemukan dalam UU. RI No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
“Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya yang memengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan peri kehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya.”
Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa lingkungan hidup mencakup daratan, perairan, dan udara, serta segala makhluk hidup yang ada di dalamnya, seperti manusia, hewan, dan tumbuhan. Semua terikat satu sama lain, sehingga dari keterikatan itu menciptakan keseimbangan lingkungan.
Selain itu, keterikatan tersebut juga menunjukkan bahwa setiap makhluk hidup memiliki perannya masing-masing dalam menjaga keseimbangan lingkungan hidup. Tidak ada makhluk hidup yang diciptakan dengan sia-sia, sebagimana Firman Allah SWT dalam Q.s. Shad [38]: 27.
وَمَا خَلَقْنَا السَّمَاۤءَ وَالْاَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا بَاطِلًا ۗذٰلِكَ ظَنُّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا فَوَيْلٌ لِّلَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنَ النَّارِۗ
“Kami tidak menciptakan langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya secara sia-sia. Itulah anggapan orang-orang yang kufur. Maka, celakalah orang-orang yang kufur karena (mereka akan masuk) neraka.” (Terjemah Kemenag 2019)
Imam al-Baidhowi dalam Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta`wil menjelaskan, maksud khalqan bathilan adalah tidak ada hikmah di balik penciptaannya. Artinya, di balik setiap ciptaan, terdapat hikmah dan manfaat di baliknya. Misalnya, air bersih bermanfaat untuk bersuci, minum, dan lainnya; pohon bermanfaat untuk menyerap gas karbon dan menghasilkan oksigen; bahkan hewan sekecil semut juga bermanfaat dalam penyuburan tanah.
Sehubungan dengan ribuan spesies yang terancam punah, kita sebagai manusia yang dianugerahi akal budi untuk berfikir seharusnya khawatir. Mengapa? Karena, hilangnya satu spesies berarti hilangnya satu peran menjaga keseimbangan lingkungan hidup yang biasanya diperankan oleh spesies tersebut. Dan bisa jadi keseimbangan lingkungan hidup menjadi goyah.
Karena itu, sudah seharusnya kita semua saling bekerja sama untuk menjaga keseimbangan itu. Jangan sampai, lingkungan hidup yang telah Allah Ciptakan dengan begitu seimbang justru kita rusak. Allah SWT dengan tegas mengingatkan tentang hal itu dalam Q.s. Al-A’raf [7]: 56.
وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا وَادْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًاۗ اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ
“Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik.” (Terjemah Kemenag 2019)
Menurut Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah, Allah SWT telah menciptakan lingkungan hidup dalam keadaan yang harmonis, serasi, dan cukup untuk memenuhi kebutuhan makhluk hidup. Karena itu, sangatlah buruk tindakan merusaknya setelah Allah perbaiki sedemikian rupa.
Orang Beriman Adalah Mereka yang Mensyukuri Nikmat Lingkungan Hidup Dengan Merawatnya
Allah SWT menciptakan lingkungan hidup tidak lain adalah sebagai tempat tinggal makhluk-Nya. Tidak hanya itu, Allah juga menyediakan di dalamnya segala kebutuhan yang dapat dimanfaatkan oleh mereka, khususnya manusia. Sayangnya, manusia sedikit mensyukuri nikmat yang berupa lingkungan hidup itu. Allah Berfirman dalam Q.s. Al-A’raf [7]: 10.
وَلَقَدْ مَكَّنّٰكُمْ فِى الْاَرْضِ وَجَعَلْنَا لَكُمْ فِيْهَا مَعَايِشَۗ قَلِيْلًا مَّا تَشْكُرُوْنَ
“Sungguh, Kami benar-benar telah menempatkan kamu sekalian di bumi dan Kami sediakan di sana (bumi) penghidupan untukmu. (Akan tetapi,) sedikit sekali kamu bersyukur.” (Terjemah Kemenag 2019)
Mensyukuri nikmat yang berupa lingkungan hidup tidak hanya berupa mengucapkan kalimat hamdalah (Alhamdulillah). Lebih dari itu, rasa syukur haruslah tercermin dari perilaku yang ditunjukkan, yang tidak lain adalah merawat kelestarian dan menjaga keseimbangannya.
Sebaliknya, perilaku tidak mensyukuri nikmat yang berupa lingkungan hidup itu salah satunya berupa perilaku merusak lingkungan. Padahal, perilaku merusak itu sangat tidak mencerminkan sifat yang dimiliki oleh orang yang beriman. Dalam Q.s. Shad [38]: 28.
اَمْ نَجْعَلُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ كَالْمُفْسِدِيْنَ فِى الْاَرْضِۖ اَمْ نَجْعَلُ الْمُتَّقِيْنَ كَالْفُجَّارِ
“Apakah (pantas) Kami menjadikan orang-orang yang beriman dan beramal saleh sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di bumi? Pantaskah Kami menjadikan orang-orang yang bertakwa sama dengan para pendurhaka?” (Terjemah Kemenag 2019)
Orang yang beriman dengan sungguh-sungguh, mereka senantiasa bertakwa kepada Allah SWT. Kata takwa sendiri didefinisikan sebagai imtitsalu awamirihi wa ijtinabu nawahihi (menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya). Merawat lingkungan dan menjaga keseimbangannya adalah perintah Allah, dan merusak lingkungan adalah perbuatan yang dilarang oleh-Nya. Sehingga, merawat lingkungan hidup serta tidak merusaknya adalah salah satu bentuk ketakwaan.
Ancaman yang ditujukan kepada orang yang merusak lingkungan hidup juga tidak tanggung-tanggung. Dalam Q.s. Al-Qasas [28]: 83, Allah SWT Berfirman.
تِلْكَ الدَّارُ الْاٰخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِيْنَ لَا يُرِيْدُوْنَ عُلُوًّا فِى الْاَرْضِ وَلَا فَسَادًا ۗوَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِيْنَ
“Negeri akhirat itu Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak menyombongkan diri dan tidak berbuat kerusakan di bumi. Kesudahan (yang baik, yakni surga) itu (disediakan) bagi orang-orang yang bertakwa.” (Terjemah Kemenag 2019)
Sebenarnya, tidak perlu menunggu terlalu lama hingga yaumul hisab untuk merasakan akibat dari tidak mensyukuri nikmat lingkungan hidup. Di dunia pun, mereka yang tidak bersyukur akan merasakan akibatnya. Allah SWT telah mengingatkan dalam Q.s. Al-A’raf [7]: 58.
وَالْبَلَدُ الطَّيِّبُ يَخْرُجُ نَبَاتُهٗ بِاِذْنِ رَبِّهٖۚ وَالَّذِيْ خَبُثَ لَا يَخْرُجُ اِلَّا نَكِدًاۗ كَذٰلِكَ نُصَرِّفُ الْاٰيٰتِ لِقَوْمٍ يَّشْكُرُوْن
“Tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur seizin Tuhannya. Adapun tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana. Demikianlah Kami jelaskan berulang kali tanda-tanda kebesaran (Kami) bagi orang-orang yang bersyukur.” (Terjemah Kemenag)
Lingkungan hidup yang dirawat dan dijaga dengan baik, akan menjadi lingkungan yang produktif. Tanahnya subur bisa menumbuhkan berbagai tanaman, udaranya bersih bermanfaat bagi kesehatan tubuh, dan airnya jernih dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan minuman maupun aktivitas sehari-hari.
Sebaliknya, Lingkungan hidup yang dirusak, akan menjadi gersang dan tidak bisa dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan penghuninya. Dan itu banyak terjadi saat ini. Belum cukupkah bencana kekeringan dan kesulitan mencari air bersih yang telah terjadi? Berapa banyak negara yang dilanda krisis pangan? Tidak takutkah dengan ancaman penyakit pernafasan akibat udara yang penuh polusi?
Penutup ayat di atas sangatlah menarik. Menurut al-Baidhowi, yang dimaksud “orang-orang yang bersyukur” adalah mereka yang mensyukuri nikmat Allah, merenungi tanda-tanda kebesaran Allah seperti yang disebutkan dalam ayat (tanah yang subur dan tidak subut), serta mengambil pelajaran darinya.
Hemat penulis, melalui ayat itu, Allah SWT seakan-akan sedang bertanya: “Pilih yang mana, lingkungan yang produktif atau lingkungan yang gersang?” Orang yang bersyukur dan berfikir dengan jernih, pasti akan memilih lingkungan yang produktif. Berbeda dengan orang yang tidak bersyukur dan tidak berfikir sebelum mengambil tindakan, mereka dengan gegabah merusak lingkungan yang telah diciptakan Allah sedemikian rupa sehingga menjadi tidak produktif lagi.
Segala tindakan juga memiliki konsekuensi. Dan konsekuensi paling parah dari tindakan tidak mensyukuri nikmat lingkungan hidup adalah binasanya umat manusia akibat tindakan yang mereka lakukan sendiri. Sebagaimana Firman Allah SWT dalam Q.s. An-Nisa [4]: 147 berikut.
مَا يَفْعَلُ اللّٰهُ بِعَذَابِكُمْ اِنْ شَكَرْتُمْ وَاٰمَنْتُمْۗ وَكَانَ اللّٰهُ شَاكِرًا عَلِيْمًا ۔
“Allah tidak akan menyiksamu jika kamu bersyukur dan beriman. Allah Maha Mensyukuri, lagi Maha Mengetahui.” (Terjemah Kemenag 2019)
Menurut Tafsir Kementerian Agama RI, maksud dari “Allah Maha Mensyukuri” adalah Allah memberi pahala terhadap amal hamba-Nya, memaafkan kesalahannya, dan menambah nikmat-Nya. Dengan merawat lingkungan hidup, kita akan merasakan berbagai manfaat darinya. Namun, jika kita melakukan sebaliknya, maka, apa yang terjadi? Tentu anda semua sudah mengetahui jawabannya.
Terakhir, agaknya kita semua perlu merenungkan salah satu kalam hikmah Ibn ‘Athaillah dalam kitab al-Hikam berikut:
من لم يشكر النعم فقد تعرض لزوالها, ومن شكرها فقد قيدها بعقالها
“Barangsiapa yang tidak mensyukuri nikmat Allah, maka sungguh ia ‘menantang’ lenyapnya nikmat itu. Sebaliknya, barangsiapa yang mensyukurinya, maka sungguh ia telah mengikatnya.”
Ibnu ‘Ubbad menjelaskan, maksud dari kalam hikmah itu adalah: Mensyukuri nikmat meniscayakan kekalnya nikmat serta menjadikannya semakin bertambah. Sebaliknya, mengkufuri nikmat dan tidak mensyukurinya meniscayakan hilangnya nikmat atau minimal nikmat itu menjadi berkurang.
Mari kita bersama merawat kelestarian lingkungan dan menjaga keseimbangannya. [NH]