“Sebagai dzurriyyah (anak cucu, keturunan) Rasulullah, sosok habaib bukan dan tidak sama dengan sosok Rasulullah,” demikian jawaban awal Syekh Azaim saat ditanya mengenai persoalan habib dalam sebuah majelis pengajian di Jember, Jawa Timur. Kita diperintahkan menghormati habaib. Namun habib bukan orang yang maksum, yang bebas dan terpelihara dari dosa dan kesalahan, sebagaimana halnya Rasulullah, walaupun para habib memang memiliki keistimewaan karena nasab mereka bersambung dengan Rasulullah, dalam darah daging mereka mengalir darah daging Rasulullah.
Baca juga: Cara Tepat Akhlak Menghormati Nabi Muhammad SAW dan Keluarganya
Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Situbondo, Jawa Timur, itu menegaskan atas ketidakmaksuman tersebut, setiap habib berpeluang salah dalam berucap maupun bertindak. “Perbuatan jelek tetaplah jelek siapapun pelakunya,” ujar Syekh Azaim. Tambahnya, manakala ada oknum habaib berperilaku tak santun, ibarat ia sedang terkena tletong (kotoran sapi; bahasa Jawa). Status tletong-nya tetap kotor, begitu pula dengan status habib-nya tetap mulia. Karena itu, ketidaksantunan habib dan segala perilaku buruknya tidak akan pernah menghilangkan kemuliaan diri yang bersangkutan lantaran pertalian nasabnya ke Rasulullah.
Menurut ulama yang cukup lama berkhidmah dan berguru kepada al-marhum al-maghfur lahu Abuya Sayyid Muhammad ‘Alawi al-Maliki al-Hasani ini, bahwa agama hanya memerintahkan kita menghormati habib, bukan menaatinya. Sebab, perihal taat telah terdapat kaidahnya, yakni: laa tho’ata li-makhluqin fi ma’shiatil-kholiq (tidak boleh patuh dalam perkara maksiat). Adapun penghormatan terhadap habib adalah dalam rangka menghormati habaib, keturunan baginda Nabi, sekaligus sebagai wujud balas budi kita pada beliau. Pasalnya, kita mengenal Islam berkat jasa perjuangan baginda Nabi yang telah menyampaikan risalah agama ini bagi semesta, dan lagi semesta pun pada mulanya tercipta dari nur beliau.
Baca juga: Mencintai Habaib itu Bagus Sekali, Asal Tidak Berlebihan
Dengan demikian, kewajiban kita sebatas mencintai dan menghormati habaib, tanpa menaatinya secara mutlak. Untuk ihwal yang disebut terakhir, Syekh Azaim lantas mengarahkan kita agar mempertimbangkan terlebih dahulu baik-buruknya. Diikuti kalau memang seruan sang habib merupakan perkara yang baik dan maslahat. Sebaliknya, jika sang habib mengajak kepada keburukan atau hal ahwal yang dapat memicu mafsadat, (kehancuran). Maka, hal itu jangan kita ikuti, sembari tetap menjaga kecintaan dan sikap takzim kita kepadanya selaku dzurriyyah Rasulullah.
Justru karena cinta habaib, kita perlu mengingatkan juga menasihati mereka kala berlaku keliru. Ibarat kotoran sapi tadi, semestinya kita bantu membersihkan keburukannya tersebut. Sama halnya ketika suami/istri, anak, atau orang-orang terkasih kita berbuat salah, tentu cinta kita sama mereka tidak kemudian berubah menjadi rasa benci. Malahan, atas dasar cinta dan kasih sayang kita akan menegur, menasihati, dan berupaya memperbaiki kesalahannya.
Demikian pula, ketidaksetujuan dengan tingkah laku habib tidak boleh dilakukan dengan sikap mencaci maki sosok individunya, yaitu dzurriyyah Rasul yang harus dihormati. Apalagi, jika cacian tersebut sampai menyangkut nasabnya. “Hati-hati,” pesan Kiai Azaim. Caci maki dan semacamnya bakal mengundang tulah bagi si pelaku di kemudian hari. Sebab, batas yang diperbolehkan ialah mencela perbuatan jeleknya, bukan mencela kepribadiannya selaku habib. Ironisnya, Kiai Azaim menilai fenomena semacam itu kini tengah terjadi di negeri ini. Ketidaksetujuannya dengan seorang habib hingga menanggalkan sikap untuk menghormati habaib.
‘Ala kulli hal, cucu dari al-marhum al-maghfur lahu K.H.R As’ad Syamsul ‘Arifin itu mengakhiri uraian jawabannya dengan doa; semoga umat dianugerahi akhlak yang baik, diberi kecerdasan mana yang harus dibenci dan dicintai, serta mafhum bagaimana cara membenci ataupun mencintai secara baik. “Mudah-mudahan kita lulus dari ujian fitnah zaman ini,” begitu munajah ulama yang bernama lengkap KHR Ahmad Azaim Ibrahimy ini. Amin. (AN)