Perjalanan ibadah haji masa lampau merupakan perjalanan yang begitu sakral. Kesakralan itu bukan hanya karena sejatinya ritus ibadah itu merupakan kewajiban bagi setiap insan muslim. Lebih dari itu, perjalanan ibadah haji merupakan barang mewah yang tidak semua orang mempunyai privilege untuk menjalankan rukun Islam kelima ini.
Perjalanannya pun tidak seperti saat ini, dulu untuk sampai di tanah Haram butuh berbulan-bulan lamanya tergantung akses transportasi dan jarak yang harus ditempuh. Nah, dalam perjalanan panjang tersebut tak jarang para ulama menggunakannya dengan berbagai macam hal positif sebagai aktivitas sebelum sampai di tanah suci.
Ada yang setiap mengunjungi suatu daerah pasti mengamati kondisi sosiologis dan geografis kemudian menuliskannya sebagai catatan perjalanan. Hal ini sangat berguna di kemudian hari, mengingat catatan-catatan yang ditulis oleh jamaah haji di setiap zaman akan menjadi sumber sejarah yang otentik terkait dinamika Haji dari waktu ke waktu.
Dalam khazanah referensi Islam, tentu banyak sekali nama ulama yang mengabadikan perjalanan ibadah hajinya. Sebut saja Ibnu Jubair dalam Rihlah Ibnu Jubair (1183 M), Ibnu Batutah, dan sekian nama beken ulama yang lainnya. Namun dari sekian nama tersebut, kebanyakan format dan objek penulisannya hanya sebatas pengamatan sosiologis dan geografis daerah-daerah yang dilewati. Kecuali Rihlah an-Nablisyi ke madinah.
Nah dalam catatan Syekh al-Amin al-Syinqithi (w. 1972 M/1393 H) ini beliau mencatat setiap perjalanan hajinya yang sangat bernuansa ilmiah. Syekh al-Amin Syinqith tidak menjadikan perjalanan hajinya sebatas perjalanan lintas teritorial, lebih dari itu perjalanan haji Syekh al-Amin sarat akan nuansa intelektual. Betapa tidak, selama perjalanan beliau selalu mendapatkan pertanyaan dari warga setempat mengenai pelbagai masalah dalam lintas disiplinn pengetahuan.
Makanya, dalam catatan tersebut, Syekh al-Amin al-Syinqithi menulis semua permasalahan yang ditanyakan kepadanya dengan begitu lengkap dan komprehensif. Hampir setiap pertanyaan beliau jawab dengan begitu dalam dan bernas. Seperti tidak ditulis dalam perjalanan. Pertanyaanya pun sangat random. Mulai dari Nahwu, ushul fikih, ilmu kalam, sastra, fikih, tafsir, sejarah, dan berbagai hal lainnya.
Syekh Amin al-Syinqithi dengan begitu telaten mengabadikan semua jawaban tersebut dalam kitab yang kini bisa kita baca dalam 247 halaman. Perjalanan haji yang sangat bernuansa ilmiah itu beliau tuliskan dalam sebuah kitab yang berjudul Rihlat al-Hajj ila Baitillah al-haram.
Dimulai dari Mauritania
Syekh Amin mengawali perjalanan hajinya dari sebuah kota Kero, sebuah bagian kecil dari provinsi Kifa, di negara Mauritania pada tanggal 7 Jumadil Akhir 1367. Beliau berangkat bersama beberapa muridnya yang setia membersamai gurunya.
Mereka tidak langsung menuju tanah suci, melainkan terlebih dahulu berhenti di beberapa kota di sekitar Mauritania untuk menggelar forum ilmiah dengan masyarakat sekitar. Tak jarang di beberapa kota ia juga tak malu untuk beristifadah kepada ulama setempat dengan diskusi-diskui ilmu yang begitu gayeng dan hangat. Di antara beberapa ulama yang menjadi teman diskusinya adalah Sayyid Ahmad Ibn al-Arabiy, Syekh Mahfudz bin Bayyah dan berbagai ulama lainnya.
Seperti ia pernah beberapa malam mukim di Sudan. Di sana ia mengikuti dan menggelar berbagai forum ilmiah yang diikuti oleh warga sekitar.
Dari berbagai pertemuan dan forum itu hasilnya kemudian beliau tulis dalam catatan perjalanan hajinya ini. Beliau sendiri mengatakan dalam pendahuluan kitab ini bahwa catatan ini adalah bagian dari ikhtiar untuk mengabadikan perjalanan ini.
“Tujuan utamaku menulis catatan ini adalah untuk mengabadikan setiap permasalahan ilmiah yang ditanyakan kepadaku selama perjalanan.”
Ia kemudian melanjutkan perjalanan hajinya ke Kota Jeddah kemudian Mekkah. Sama seperti di Sudan sebelum melaksanakan ibadah haji, di sana ia pun menggelar forum serupa dengan pembesar ulama setempat. Di Mekkah setelah menunaikan kewajiban haji ia diundang untuk bertemu dengan Sayyid Alawi al-Maliki al-Hasani.
Di kediaman Sayyid Alawi yang menjadi guru besar di Masjidil Haram kala itu Syekh al-Amin al-Syinqithi dimuliakan begitu luar biasa selama dua hari. Dalam pertemuan dua hari itu keduanya tak henti-hentinya bertukar pikiran dan membahas permasalahan-permasalahan pelik masyarakat.
Sowan Rasulullah
Setelah Thawaf Wada’ Syekh al-Amin mengakhiri perjalanan kali ini dengan berangkat ke Madinah sebelum menginap terlebih dahulu di Jeddah. Kemudian baru sore hari keesokannya baru berangkat ke Madinah. Syekh Amin mengakhiri perjalanan hajinya ini di kota Madinah. Di Madinah beliau tentu berziarah kepada Nabi Muhammad Saw.
Selain berziarah, Syekh Amin as-Syinqithi juga merenung dan berkontemplasi. Beliau menuliskan secara detail betapa ketika ia berziarah kepada manusia paling mulia tersebut, ia teringat dengan agungnya pahala dan keutamaan orang yang membaca shalawat kepada Rasulullah SAW.
Sambil begitu takzim memasuki Raudhah beliau membaca salam dan shalawat. Beliau pun bergumam dalam benaknya.
“Aku teringat sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah RA, yang berbunyi “Barangsiapa yang bershalawat dan mengirimkan salam kepadaku, Allah akan mengembalikan ruhku dan aku akan membalas shalawat kepada orang yang membaca tadi”, aku pun berkata kepada diriku sendiri ini merupakan sungguh keistimewaan yang agung, mengingat Rasulullah tidak akan membalas penghormatan umatnya kecuali dengan sepadannya bahkan jauh lebih baik. Hal ini selaras dengan Firman Allah Swt.
وَإِذَا حُيِّيتُم بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا۟ بِأَحْسَنَ مِنْهَآ أَوْ رُدُّوهَآ
“Apabila kamu diberi penghormatan dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa)”
Syekh Muhammad al-Amin kemudian setelah perjalanan ini kemudian menetap dan mengajar di kota Madinah hingga wafat pada tahun 1973 M di Madinah.
Siapakah Syekh al-Amin al-Syinqith?
Namun sebelum lebih jauh membahas perjalanan spektakuler haji Syekh al-Amin Syinqithi, terlebih dahulu kita mengenal siapa sebenarnya sosok yang satu ini. Beliau bernama lengkap Muhammad al-Amin bin Muhammad al-Mukhtar al-Jakni al-Syinqithi.
Beliau lahir pada tahun 1305 H/1907 M di kota Kifa, sebuah kota di daerah Syinqith. Sekarang daerah tersebut menjadi bagian dari Negara Mauritania bagian timur. Sekalipun negara ini tak dikenal dan jauh dari hingar bingar nama kota yang identik dengan Islam. Namun siapa sangka di negara ini lahir banyak sekali tokoh yang justru menjadi mutiara keindahan Islam. Mutiara tersebut tak lain berasal dari negara Mauritania.
Bahkan hingga saat ini, anda tentu kaget jika mendengarnya, konon jika ada anak sekian tahun yang belum hafal al-Qur’an maka itu adalah sebuah aib yang luar biasa. Bisa anda bayangkan betapa budaya ilmiah disana sudah mengakar kuat dan terasa di setiap lapisan masyarakat, bahkan kasta paling bawah.
Syekh Muhammad al-Amin sendiri beruntung karena lahir di sebuah kabilah yang telah masyhur punya tradisi keilmuan yang tinggi. Ya kabilah Jakni seperti nisbat yang ada di akhir namanya.
Tak heran jika semenjak kecil as-Syinqithi telah dididik secara ketat dan dipersiapkan menjadi seorang ulama. Pada umur 10 tahun ia sudah khatam dan hafal secara sempurna al-Quran di bawah bimbingan pamannya; Syekh Abdullah.
Syekh Muhammad al-Amin kemudian tumbuh menjadi ulama besar yang tidak hanya menjadi rujukan masyarakat Afrika. Melainkan dunia internasional. Salah satu karangannya yang paling fenomenal dan dikenang hingga saat ini adalah masterpiece tafsirnya yang berjudul Adhwa’ul Bayan.