Syekh Abdul Qadir Al-Jilani itu Salafi atau Asy’ari?

Syekh Abdul Qadir Al-Jilani itu Salafi atau Asy’ari?

Syekh Abdul Qadir Al-Jilani itu Salafi atau Asy’ari?
Ilustrasi Foto Abdul Qadir al-Jailani

Kalau membaca tema akidah dalam al-Gunyah li-Thalibiy Thariqi al-Haq dan Tafsir Al-Jilaniy, rasanya sedikit mengingatkan pada al-Luma’ fi ar-Radd ala Ahli az-Zayg dan al-Ibanah fi Ushuli ad-Diyanah. Sebagaimana ada yang meragukan keabsahan nisbat Al-Ibanah kepada Al-Asy’ari, demikian sebagian kalangan meragukan keabsahan (sebagian) al-Gunyah kepada Abdul Qadir Al-Jilaniy.

Seperti yang disampaikan K.H. Ma’ruf Khozin (Direktur Aswaja NU Center Jatim) dalam artikelnya “Penyusupan Akidah dalam Kitab Syekh Abdul Qadir Jailani“, di Sanad Media (2021), tentang pertemuan dengan Sidi Syeikh Fadil Al-Jailani (keturunan Abdul Qadir Al-Jilani) dan penjelasan bahwa beberapa redaksi telah disusupkan (madsus) ke dalam Al-Gunyah, seperti: “wa-qad ankarat al-Asy’ariyyah ziyadata al-iman wa nuqshanahu”

Selain itu Syekh Fadil memberikan komparasi penafsiran kata “istawa” yang dalam Al-Gunyah dimaknai duduk dan bersemayam, sementara dalam Tafsir Al-Jilaniy dimaknai dengan “istaqarra bi-r-rahmah al-‘ammah” (menetap dalam rahmat yang luas); menegaskan bahwa Abdul Qadir tidak mencela Asy’ariyyah dan distorsi Al-Gunyah adalah ulah kelompok Salafi.

Dalam permulaan bab “Ma’rifatu ash-Shani’ Azza wa Jalla“, kitab Al-Gunyah (1997) Abdul Qadir menyampaikan redaksi yang identik dengan Asy’ariyyah: “… laysa bi-jismin fa-yumas, wa-la bi-jauharin fa-yuhas, wa-la ‘ardhin wa-yuqdha, wa-la dzi tarkib (bukanlah jisim kemudian dapat disentuh, bukanlah jauhar kemudian dapat terindra …).”

Selaras dengan poin utama yang disampaikan Fahruddin ar-Razi dalam Ta’sisu at-Taqdis, perihal bahwa Allah lazim suci terbebas dari unsur-unsur berjisim, ruang (hayyiz), dan arah (jihhah). Al-Asy’ari dalam al-Luma’ juga mengemukakan jawaban dari pertanyaan: “Mengapa kalian mengingkari Allah berjisim?” Salah satu redaksi jawabannya berbunyi: “Kalau dia ingin apa yang kalian ingkari [Allah] itu panjang, lebar, berkumpul [tersusun] sebagaimana hal itu dikatakan untuk benda-benda berjisim di dekat kita, maka itu tidak boleh, karena sesuatu yang tersusun itu tidaklah tunggal.” Pada suatu jawaban juga mengatakan bahwa sesuatu yang qadim itu tidak boleh berpindah (intiqal) dan berubah (taghayyur).

Pendapat ini bermula dari dalilu al-a’radh wa hudutsi al-ajsam (sekumpulan argumen bahwa Allah tak boleh punya sifat atau unsur makhluk yang muhdas) yang menjadi pokoknya. Teori itu pula mendapat sanggahan, karena telah memaksakan analogi terhadap Dzat yang gaib dengan yang tampak (qiyasu al-ghaib ala asy-syahid).

Kembali kepada Abdul Qadir, meskipun menyampaikan redaksi yang identik dengan Asy’ariyyah, beliau menyampaikan beberapa topik utama yang “sepertinya” agak bertentangan dengan paham Asy’ariyyah. Misalnya, beliau mengatakan, “Wa-huwa bi-jihhati al-‘uluw mustawin ‘ala al-arsy (Dan Dia di arah yang tinggi ber-istiwa [dalam bentuk nomina pelaku] di atas Arsy).” Beliau juga mengatakan, “Lahu yadani wa-kilta yadayhi yamin (Dia memiliki dua tangan dan keduanya kanan).” Dalam teks lain, secara eksplisit, beliau menulis penyelisihan terhadap Al-Asy’ariyyah, “Yanbaghi itlaqu shifati al-istiwa’ min ghairi ta’wil, wa-annahu istiwa’u adz-dzat, la ‘ala ma’na al-qu’ud wa al-mumasah ka-ma qalat al-mujassimah wa al-karamiyy (hendaknya memaknai sifat istiwa tanpa dengan takwil, bahwa Dia istiwa secara dzat, bukan atas makna duduk dan tersentuh seperti dikatakan Mujassimah dan Karamiyyah); wa-la ‘ala ma’na al-‘uluw wa ar-raf’ah ka-ma qalat al-asy’ariyyah (bukan atas makna tinggi dan naik seperti dikatakan Al-Asy’ariyyah); wa-la ‘ala ma’na al-istiyla’ wa al-ghalbah ka-ma qalat al-mu’tazilah (bukan atas makna menguasai seperti dikatakan Muktazilah).”

Pernyataan serupa ini yang disanggah Sidi Syekh Fadil Al-Jailani, yang dilaporkan langsung K.H. Ma’ruf Khozin. Seperti yang dikatakan Syekh Fadil, tafsiran dalam Al-Gunyah dan Tafsir Al-Jilani itu berbeda. Misalnya dalam ayat “Wa as-samawatu mathwiyyatun bi-yaminihi (Dan langit-langit tergulung di tangan kanan-Nya),” pada Al-Gunyah Abdul Qadir berbicara soal kedua tangan yang keduanya kanan, sementara pada Tafsir al-Jilani, beliau menulis “wa-qudratihi” (sebagai penjelas) setelah potongan ayat “bi-yaminihi“. Oleh karena itu, Syekh Fadil mengatakan kalau pernyataan-pertanyaan Abdul Qadir dalam al-Gunyah yang menyelisihi paham Al-Asy’ariyyah adalah sesuatu yang disusupkan, dan menuding bahwa itu ulah dari kelompok salafi.

Kasus ini mirip seperti buku al-Ibanah karya Abu Hasan Al-Asy’ari yang diragukan nisbatnya karena argumen di dalamnya banyak bertolak dengan maklumnya paham Al-Asy’ariyyah. Namun, penolakan sepihak itu sangat tak ilmiah, melihat panjangnya usaha menyelesaikan naskah al-Ibanah, mulai dari pengumpulan manuskripnya dari berbagai tempat. Proses ilmiah itu tak boleh diabaikan, dokumentasi, verifikasi, dll., maka falsifikasinya juga perlu dilakukan secara ilmiah dari sisi metodologi.

Selain mengutip pernyataan tentang al-Ibanah dari ulama Al-Asy’ariyyah seperti Ibnu ‘Asakir dll., menyertakan juga gambar manuskrip serta asalnya: tiga dari Kairo, satu dari Lebanon, satu dari Austria, dan satu dari India. Pembukuan ulang al-Luma’ juga dilakukan dengan cara serupa, di bawah inisiasi Hamouda Gharaba. Kemudian, bagaimana kasusnya dengan al-Gunyah? Apakah sanggahan Syekh Fadil sah begitu saja?

Kalau tak diverifikasi dengan jelas, pertanyaan, “Apakah Abdul Qadir salafi atau asy’ari?” bisa muncul lagi. Tapi, yang jelas beliau hambali. Mungkin Syekh al-Fadil bersama Jailani Center perlu menggugat Darul Kutub Al-Ilmiyah atas penerbitan al-Gunyah yang disusupi, agar semuanya clear. Selain itu, orang bisa saja mengira mungkin Abdul Qadir mengalami dua atau tiga marhalah pemahaman akidah seperti Al-Asy’ari. Entah yang mana yang lebih dulu. Akan tambah buruk kalau teori-teorinya mulai bertambah banyak sebelum terungkap faktanya.

(AN)