Kita pernah mengenal konsep ulama-umara’, yaitu konsep kepemimpinan para ulama, seorang ulama di dalam pengertian masyarakat Indonesia adalah pemimpin agama dalam struktur masyakarat muslim. Kepemimpinan ulama tidak lahir dari konsep sebagaimana pemilu dalam memilih pemimpin daerah sampai pemimpin negara, seorang ulama menjadi pemimpin karena kealiman dan penguasaan ilmu pengetahuan yang menjadi tumpuan masyarakat untuk berkeluh-kesah. Artinya ulama menjadi pemimpin di luar struktur kekuasaan yang kita kenal seperti struktur negara atau organisasi.
Dalam sejarah umum perjalan umat Islam di Indonesia, seorang ulama juga pernah menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat, bahkan menjadi elemen penting dalam struktur kekuasaan seperti dalam struktur kekuasaan pemerintahan, yang dulu dikenal dengan kesultanan/kerajaan.
Dalam struktur kerajaan atau kesultanan pun kita mengenal berbagai cerita mengenai seorang ulama berdarah bangsawan lebih memilih jalur dakwah dari pada menjadi seorang putra mahkota yang meneruskan kepemimpinan sebuah kerajaan.
Berbeda dengan itu semua, seorang ulama sekaligus sultan pernah menjadi satu status yang melekat dalam diri satu orang. Ia adalah Syarif Abdur Rahman Al-Qadri, sultan pertama kerajaan Pontianak. Lahir pada tanggal 15 Rabiulawal 1151 H/ 3 Juli 1738, anak dari Habib Husen al-Qadr, seorang pemuka agama yang terkenal di Mempawah atau penyebar Islam di Kalimantan Barat yang terkenal kewaliannya dengan berbagai keramat yang dipercaya oleh masyarakat.
Berbeda dengan perjalanan sang ayah, Syarif Abdur Rahman saat berumur 16 tahun beliau pindah dari negeri Matan ke Mempawah. Kemudian dengan umur yang masih muda sekitar 18 tahun dinikahkan dengan putri Upu Daeng Menambo yang bernama Utin Cenderamidi. Sejak masih muda, Syarif Abdur Rahman suka sekali melakukan pengembaraan sebelum mendirikan kerajaan Pontianak dan menjadi sultan pertama.
Sekitar umur 22 tahun bepergian ke tanah Tambelan kemudian ke Siantan, selanjutnya bermukim sekitar dua bulan di pulau Penyengat. Dan yang paling lama ketika beliau ke Palembang, bermukim selama 11 bulan (lihat: Biografi Ulama Nusantara, 2017).
Syarif Abdur Rahman kemudian berlayar ke Banjar. Di sana ia dinikahkan dengan putri sultan Sepuh, saudara Panembahan Batu yaitu Ratu Syahbanun, bahkan sebelum itu Syarif Abdur Rahman dilantik menjadi Pangeran dengan nama Pangeran Syarif Abdur Rahman Nur Allam.
Selama 4 tahun di Banjar, ia memiliki 2 orang anak yaitu Syarif Alwi yang bergelar Pangeran Kecil dan seorang puteri yang bernama Syarifah Salman yang bergelar Syarifah Puteri. Walau begitu, Syarif Abdur Rahaman tetap melakukan perjalanannya kembali setelah sang ayah wafat.
Pada 14 Rajab 1185 H/ 23 Oktober 1771, Syarif Abdur Rahman kemudian melakukan perjalanan menuju Pontianak. Perjalanan ke Pontianak inilah yang mengantarkan beliau kemudian menjadi sultan.
Oleh Raja Haji, yang dipertuankan Muda Riau menginginkan Pangeran Syarif Abdur Rahman A-Qadri menjadi Sultan Pontianak. Keinginan itupun disambut hangat oleh masyarakat Pontianak dan terdengar keberbagai daerah, kemasyhuran Syarif Abdur Rahman ini membuatnya mendapat berbagai dukungan dari berbagai daerah salah satunya datang dari Kesultanan Banten yang saat itu telah menguasai negeri Landak yang kemudian diserahkan kepada kekuasaan Sultan Syarif Abdur Rahman.
Kisah sang Sultan pertama Pontianak memang tak lengkap dan detail mengenai perjalanan dan sampai menjadi sultan Pontianak, akan tetapi nama beliau sangat terkenal dikalangan masyarakat Pontianak. Literatur mengenai Syarif Abdur Rahman, tak banyak penulis temukan secara detail dan mendalam dan ini keterbatasan penulis dalam mencari data. (AN)
Walllahu a’lam.