Ulama penentang kolonial dibuang dan dikucilkan. Ulama-ulama yang melawan pemerintah Hindia Belanda, tercatat harum dalam sejarah. Di antaranya, Syaikh Rifa’i atau sering disebut Kiai Rifa’i Kalisalak.
Kiai Rifa’i lahir pada abad 18 Masehi, di Desa Tempuran, Kendal, Jawa Tengah. Ayahandanya bernama Muhammad Marhum bin Abi Suja Wijaya (Raden Sukocito), ibundanya bernama Siti Rohmah.
Sejak kecil, Rifa’i menyuntuki pelajaran ilmu-ilmu agama. Ia menjelajah beberapa pesantren untuk mengaji, memperdalam ilmu-ilmu klasik agama. Pada tahun 1835, ketika berusia 30 tahun, Syaikh Rifai berangkat ke Makkah untuk memperdalam ilmu Islam, sekaligus menunaikan ibadah haji. Ia berguru kepada beberapa syaikh, yakni: Syaikh Utsman dan Syaikh Faqih Muhammad ibn Abdul Aziz al-Jaysyi. Ia juga bersahabat dengan beberapa santri yang sedang belajar di tanah suci: Kiai Cholil Bangkalan dan Syaikh Nawawi Banten.
Setelah delapan tahun di Makkah, Rifa’i meneruskan mengaji ke Mesir. Di negeri itu, ia berguru kepada Syaikh al-Barowi dan Syaikh Ibrahim al-Bajuri, pengarang kitab Fathul Qarib. Kemudian, Syaikh Rifa’i memutuskan untuk kembali ke tanah air, memperjuangkan dakwah dan mengajar santri-santri.
Syaikh Rifa’i berdakwah dengan tiga prinsip perjuangan: pertama, pemerintah kolonial Belanda merupakan kafir, yang sering menindas rakyat. Kedua, kaum birokrat tradisional merupakan antek Belanda, yang serupa dengan kaum kafir. Ketiga, praktek beragama tidak boleh bercampur dengan kepercayaan nenek moyang.
Tentu saja, pemerintah Belanda sangat marah dengan prinsip Syaikh Rifa’i. Apalagi, santri dan warga sudah mulai mengikuti seruan Syaikh Rifa’i, terutama di kawasan Kendal, Batang, dan sekitarnya. Pada 15 Mei 1859, Syaikh Rifa’i ditangkap kemudian dibuang ke Ambon.
Menurut Riset Abdul Jamil (Pemikiran Kiai Desa: Pemikiran dan Gerakan Islam KH. Ahmad Rifa’i, 2001) Kelompok pendukung KH Ahmad Rifa’i di Kalisalak, muncul sebagai akumulasi dari isolasi kultural dari pemerintah, serta seluruh jajaran birokrat. Di sisi lain, juga upaya untuk membentuk garis batas komunal, untuk membedakan ulama yang patut dijadikan referensi. Istilah ‘alim ‘adil, dipakai sebagai batas untuk membedakan antara ulama yang harus dianut dan mana yang ditolak.
Mengenai tarekat, Kiai Rifa’i menganggap sebagai jalan yang harus ditempuh seseorang untuk menjadikan dirinya dekat dengan Tuhan. Pengertia ini, muncul dalam syairnya berikut ini:
Utawi tarekate wong dagang lan nandur
Yaiku arep neja ing Allah atine taat
Munfaate ati ginawe nulungi ibadah
Netepi wajib ngedohi saking maksiat
Nejane ati amrih manfaat akhirat
Artinya: (Adapun tarikatnya orang berdagang dan menanam/ Yaitu berhasrat hatinya untuk taat kepada Allah/ Manfaat hati untuk menolong ibadah/ Melaksanakan kewajiban dan menjauhi maksiyat/ Tujuannya hati memperoleh manfaat akhirat)
Dalam catatan Abdul Jamil (2000), ungkapan kata tarikat menurut Rifa’i terkait dengan upaya untuk membangun keseimbangan antara tiga pilar yang menentukan seseorang mencapai tingkatan ideal dalam beragama. Pada konteks ini, penyambungan tradisi tasawuf Sunni memberikan penekanan terhadap keseimbangan antar tiga hal, sebagai reaksi atas kecenderungan tasawuf yang mengabaikan tiga hal tersebut.
Syaikh Rifa’i menekankan pentingnya pemimpin yang ‘alim dan adil. Prinsip inilah yang membedakan pemimpin yang dapat menjadi rujukan rakyat, atau mereka yang perlu ditentang.
Uga wajib ngambil ilmu fitwane
‘Alim ‘Adil kepercayaane syara’ tinemune
I’timad ing alim adil pituturane
Uga sah ginawme guru panutane
Ing dalem zamane wongiku panggonan
Haram pada ngambil ilmu awur-awuran
Buru senenge hawane dosa tinuturan
Alim fasik kerana dunya ginaweruhan
(Juga wajib mengambil ilmu fatwanya/ ‘Alim adil kepercayaan syara’ jadinya/ Berpegang kepada ‘Alim ‘Adil nasihatnya/ Juga sah dijadikan sebagai guru panutan/ Di dalam ruang dan waktu seseorang/ Haram mengambil ilmu secara ngawur/ Memburu kesenangan hawa nafsu dosa yang sudah dijelaskan/ ‘Alim fasik karena dunia telah diketahui)
Bentang hidup Syaikh Ahmad Rifa’i menjadi cermin perlawanan ulama sufi terhadap pemerintah Hindia Belanda. Nilai-nilai tasawuf menjadi prinsip yang kokoh untuk memandang kehidupan, memperjuangkan kemerdekaan (Munawir Aziz).