Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari merupakan matahari dari Nusantara. Ia menjadi poros penyebaran Islam di kawasan Banjar, Kalimantan Selatan. Syaikh Arsyad lahir pada 1710 M/1222H dan wafat pada 6 Syawal 1227 H/1812 M, di desa Lok Gabang. Dari sebuah sumber, Syaikh Arsyad disebut merupakan keturunan Alawiyyin melalui jalur Sultan Abdurrasyid Mindanao, Filiphina. Syaikh Arsyad merupakan putra angkat Sultan Tahlilullah, raja kesultanan Kalimantan. Ia mengaji kepada beberapa syaikh, untuk menimba ilmu-ilmu agama.
Ia menulis kitab-kitab penting, yang hingga kini tetap menjadi rujukan. Karya anggitannya, Sabilul Muhtadin, hingga kini masih dikaji oleh peneliti dan santri pesantren. Kitab ini merupakan kajian fiqh yang ditulis dengan bahasa Melayu, syarah atas kitab Shiratal Mustaqim karya Syaikh Nuruddin ar-Raniri, ulama asal Aceh. Kitab Sabil al-Muhtadin menjadi rujukan pengkaji Islam di Malaysia, Brunei, hingga Pattani (Thailand Selatan). Ia juga menulis Tuhfat ar-Raghibin, al-Qaul al-Mukhtasar, Hasyiyah Fath al-Jawad dan beberapa karya penting lain.
Dalam muqaddimah kitab Sabil al-Muhtadin, Syaikh Arsyad al-Banjari, mengungkap karya ini ditulis pada 1193H/ 1779 M atas permintaan Sultan Tahmidullah, dan diselesaikan pada 1195 H/ 1781 M. Garis besarnya, kitab ini mengkaji masalah-masalah fiqih berdasar mazhab Syafi’i. Kitab ini, membahas perkara ibadah bagi umat muslim.
Ketika belajar di Makkah, Syaikh Arsyad berkawan dengan Syaikh Shamad, seorang pengkaji ilmu asal Palembang. Di kota suci ini, keduanya mengaji kepada Syaikh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi dan Syaikh Athaillah bin Ahmad al-Mishry. Ia juga berkawan dekat dengan Syaikh Abdul Wahab Bugis, dan Syaikh Abdurrahman (Betawi). Semasa belajar di Makkah, Syaikh Arsyad mendalami beragam ilmu-ilmu Islam, yang kelak menjadikannya sebagai rujukan komunitas muslim di Nusantara. Karya-karya Syaikh Arsyad, menunjukkan betapa tekun dan mendalam belajarnya, hingga membuahnya ilmu yang terang.
Syaikh Arsyad juga belajar ilmu hakikat kepada Syaikh Abdul Karim Saman al-Madani. Bersama kawan dekatnya, Syaikh Shamad al-Palimbani, Syaikh Arsyad mendalami ilmu tasawuf, ilmu suluk, dan khalwat untuk menggapai derajat spiritual yang tinggi (Munir Amin, 249).
Syaikh Arsyad juga belajar kepada beberapa guru: Syekh Ahmad bin Abdul Mun’im ad Damanhuri, Syekh Muhammad Murtadha bin Muhammad az Zabidi, Syekh Hasan bin Ahmad al Yamani, Syekh Salm bin Abdullah al Basri, Syekh Shiddiq bin Umar Khan, Syekh Abdullah bin Hijazi asy Syarqawy, Syekh Abdurrahman bin Abdul Aziz al MaghrabiSyekh Abdurrahamn bin Sulaiman al Ahdal, Syekh Abdurrahman bin Abdul Mubin al Fathani.
Guru-gurunya yang lain, yakni Syekh Abdul Gani bin Muhammad Hilal, Syekh Abis as Sandi, Syekh Abdul Wahab at Thantawy, Syekh Abdullah Mirghani, Syekh Muhammad bin Ahmad al Jauhari, dan Syekh Muhammad Zain bin Faqih Jalaludin Aceh. Dari jalur-jalur guru inilah, Syaikh Arsyad mendapatkan jaringan pengetahuan dan akar keilmuan yang kokoh.
Karya-karya Syaikh Arsyad menjadi rujukan pengkaji Islam dari Nusantara. Pembahasan-pembahasan tentang zakat dan hukum Islam juga menjadi referensi penting (Munawir Aziz).