Seorang ulama bernama Syaikh Shalih al-Murri sedang memberikan ceramah di sebuah majelis taklim yang ia asuh. Secara tiba-tiba, ia menyuruh salahs seorang audiensnya untuk membaca sebuah ayat Al-Qur’an.
Sejurus kemudian, audiens tersebut membaca ayat berikut ini:
وَأَنْذِرْهُمْ يَوْمَ الْآزِفَةِ إِذِ الْقُلُوبُ لَدَى الْحَنَاجِرِ كَاظِمِينَ مَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ حَمِيمٍ وَلَا شَفِيعٍ يُطَاعُ
“Berilah mereka peringatan dengan hari yang dekat (hari kiamat yaitu) ketika hati (menyesak) sampai di kerongkongan dengan menahan kesedihan. Orang-orang yang zalim tidak mempunyai teman setia seorangpun dan tidk (pula) mempunyai seorang pemberi syafa’at yang diterima syafa’atnya” (QS. Ghafir [40]: 18)
“Berhentilah!,” kata Syaikh Shalih menyuruh pemuda tersebut.
Setelah ia berhenti membaca ayat, Syaikh Shalih kemudian melanjutkan ceramahanya, yang mana berisi tentang tafsir ayat yang barusan dibaca itu.
Syaikh Shalih berbicara tentang keadaan orang-orang zalim di akhirat kelak. Mereka (orang-orang zalim) diborgol dan digiring menuju neraka. Wajah mereka itu memerah, sedang matanya membiru. Mereka hanya bisa mengiba.
“Sungguh celaka kami. Apa yang akan kami terima dan kemana kami hendak dibawa?,” kata Syaikh Shalih menirukan perkataan orang-orang zalim itu.
Tak hanya itu, dalam terusan ceramahnya, Syaikh Shalih juga menjelaskan bagaimana malaikat memperlakukan mereka. Para malaikat menyeret mereka sembari membawa cambuk-cambuk api. Na’udzubillah.
Sungguh, keadaan orang-orang zalim itu sangat mengenaskan. Syaikh Shalih mengatakan, “Di antara mereka, ada yang menangis darah karena kehabisan air mata. Ada pula yang berteriak-teriak tak karuan”.
Syaikh Shalih pun menegaskan, bila para audiensnya bisa melihat keadaan orang-orang zalim itu, sungguh mereka tak akan kuasa melihatnya. Sangking pilunya keadaan saat itu, hati mereka (audiens) tak akan kuat merasakan dan kaki mereka tak akan kuat untuk berdiri.
Setelah itu, air mata Syaikh Shalih pun jatuh. Ia tak kusaa menahan tangis membayangkan betapan miris keadaan orang-orang zalim itu. Ternyata ceramah Syaikh Shalih benar-benar bisa menghipnotis audiens. Mereka pun juga akhirnya ikut menangis sesenggukan.
Seorang pemuda tiba-tiba bertanya, “Wahai Syaikh Shalih, apakah itu akan terjadi kelak di hari kiamat?”
Syaikh Shalih membenarkan. Ia menambahkan, “Bahkan, karena mereka telah kehabisan suara untuk berteriak dan menjerit, maka mereka pun hanya bisa merintih bak orang yang sedang sakaratul maut.”
Jawaban Syaikh Shalih ternyata membuat pemuda tersebut menyadari dan menyatakan betapa buruk perbuatan yang ia telah lakukan selama ini, “Betapa saya telah lalai dan menyia-nyiakan umurku di dunia ini!”.
Ia pun lantas menyatakan taubat dan berdoa kepada Allah dengan doa sangat panjang. Sebagian isi doa tersebut adalah, “Ya Allah, terimalah amalku. Ampuni dan maafkan kesalahan dan dosa-dosaku. Kasihanilah kami dan semua orang yang hadir di sini!”
Setelah itu, pemuda tersebut langsung menjerit dan jatuh pingsan. Ia pun dibawa pulang ke rumahnya. Ia jatuh sakit. Syaikh Shalih dan beberapa jamaah pun sering menjenguknya. Hingga, beberapa hari setelah itu, pemuda tersebut menghembuskan nafas terakhir. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Sejak kejadian itu, Syaikh Shalih sering menyebut nama pemuda itu ketika mengisi pengajian di majelis taklim. Tak lama setelah itu, ada seorang bermimpi bertemu dengan pemuda yang meninggal itu. Orang tersebut menanyakan kabar si pemuda. Pemuda tersebut menjawab, “Saya dinaungi oleh rahmat Allah SWT, berkah majelis taklim yang diasuh Syaikh Shalih”.
Kisah ini penulis baca dari kitab ‘Uyun al-Hikayat karya Ibnu Jauzi. Lewat kisah ini kita menjadi paha betapa mulianya sebuah majelis ilmu. Mereka yang belajar, mengajar, dan yang terlibat di dalamnya akan senantiasa mendapatkan rahmat dari Allah SWT. Bahkan, mereka yang meninggal dunia dalam keadaan sedang menuntut ilmu, maka dinilai mati khusnul khatimah. Semoga Allah jadikan kita orang-orang yang senang terhadap ilmu. Amin.
Sumber Kisah:
Ibn al-Jauzî, Jamâluddîn Abi al-Farj bin. ’Uyûn al-Hikâyat. Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2019.
[1] Jamâluddîn Abi al-Farj bin Ibn al-Jauzî, ’Uyûn al-Hikâyat (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2019), h. 314-315.