Adalah sebuah tantangan di mana 37,71 persen generasi muda muslim menyetujui bahwa jihad adalah “qital” dan terutama ditujukan melawan non-muslim. Demikian pula, mereka menyetujui bahwa aksi teror bom bunuh diri adalah jihad Islam. Selain itu, 61,91 persen memahami bahwa kekhilafahan merupakan bentuk pemerintahan yang diakui dalam Islam.
Temuan di atas tergambar dalam Survei Nasional yang diadakan oleh PPIM UIN Jakarta tentang keberagamaan di sekolah dan universitas di Indonesia. Survei yang diadakan pada 1 September-7 Oktober 2017 ini melibatkan 264 guru, 58 dosen, dan 1522 siswa, dan 337 mahasiswa di 34 provinsi di Indonesia. Meskipun belum menjadi bara api yang mematikan, namun angka kuantitatif di atas laksana api dalam sekam.
Setidaknya ada empat faktor yang diidentifikasi. Mulai dari proses belajar siswa, akses internet untuk pengetahuan agama, kekurang efektifan organisasi keagamaan merangkul generasi muda, hingga presepsi tentang kinerja pemerintah. Oleh karena itu, mendesak dilakukan beberapa langkah strategis bersama.
Pertama, pendidikan agama Islam sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional harus dijadikan basis untuk menumbuhkan keislaman sekaligus menguatkan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.
Kedua, pendidikan agama Islam harus dihadirkan sebagai titik pijak untuk menjaga keseimbangan antara misi pengembangan keislaman dan kebangsaan. Yakni membentuk muslim yang baik sekaligus menjadi warga negara Indonesia yang demokratis.
Ketiga, selain soal iman, ibadah, dan sopan santun, pendidikan agama Islam juga harus menekankan nilai-nilai universal Islam, seperti kebebasan, kesetaraan, keadilan, toleransi, dan persatuan berbangsa dan bernegara. Ditambah lagi dengan kemauan pemerintah untuk melakukan reformasi rekrutmen guru, mengadakan pelatihan dan peningkatan wawasan kebangsaan guru dan tenaga pendidik agama lainnya. Generasi muda juga harus terlibat dan dilibatkan. Moderasi Islam harus dihadirkan selaras dengan dinamika zaman, terlebih untuk generasi milenial.
Mari berbenah, sebelum terlambat.