Surau dan Pembentukan Spiritualitas Tan Malaka

Surau dan Pembentukan Spiritualitas Tan Malaka

Surau dan Pembentukan Spiritualitas Tan Malaka

Para tokoh pergerakan nasional Indonesia yang berideologi Islam, seperti Haji Agus Salim, Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asy’ari, Buya Hamka, Kartosuwiryo, dan KH. Ahmad Dahlan, banyak menghabiskan masa kecil mereka di lingkungan yang erat dengan kehidupan keagamaan. Masjid menjadi tempat penting di mana mereka belajar nilai-nilai Islam, mengembangkan pemikiran kritis, dan menyaksikan ketidakadilan sosial yang dialami masyarakat.

Misalnya, KH. Ahmad Dahlan kecil mengamati praktik keagamaan masyarakat di lingkungan masjid yang dianggapnya kurang mendalam dan perlu lebih baik dalam mempelajari sumber keagamaan, sementara Buya Hamka dan KH. Hasyim Asy’ari belajar langsung dari ayah mereka sebagai ulama terkemuka pada masanya. Pengalaman di masjid membentuk fondasi spiritual dan intelektual mereka, yang kelak menjadi dasar perjuangan membangun organisasi Islam seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.

Meskipun dibesarkan dalam keluarga yang religius, banyak dari tokoh-tokoh mendapat pendidikan agama cukup keras dan disiplin dalam keluarga inti. Ayah mereka, yang juga ulama atau pemuka agama, menerapkan ketegasan mendidik anak-anaknya. Hal ini menimbulkan dampak psikologis sangat serius sehinga membentuk karakter mereka yang tangguh dan mandiri.

Buya Hamka dalam otobiografinya menceritakan bagaimana tekanan dari ayahnya menjadikannya menjadi pribadi yang kuat. Dengan demikian, pendidikan keagamaan yang disimbolisasikan dengan masjid dan lingkungan keluarga menjadi dua faktor penting pembentuk kepribadian dan perjuangan mereka dalam memperjuangkan nilai-nilai dan ajaran Islam.

Ibrahim, dikenal sebagai Tan Malaka, sebagai sosok yang tak terpisahkan dari sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, adalah seorang pemikir yang memiliki pengaruh besar dalam pergerakan nasional. Ia dikenal sebagai seorang Marxis dan nasionalis radikal, namun akar intelektual dan karakter Tan Malaka tidak dapat dipisahkan dari lingkungan religius dan budaya yang membentuknya, khususnya di surau-surau dan masjid di Minangkabau, Sumatera Barat.

Selepas pendidikan di Sumatera Barat dan menempuh kuliah di Haarlem, Belanda, Tan Malaka tetap terhubung dengan ajaran Islam. Ia menyelesaikan bacaan Al-Qur’an dalam bahasa aslinya dan bahasa Belanda dan terus membaca buku-buku tentang Islam, termasuk karya Snouck Hurgronje. Dalam konteks ini, Tan Malaka mengakui bahwa pengaruh bacaan baru dan situasi dunia, terutama Revolusi Rusia 1917, banyak mempengaruhi pandangan hidupnya. Namun, pertanyaannya adalah: apakah pengaruh ini membuatnya meninggalkan keislamannya?

Artikel ini akan mengupas bagaimana lingkungan masjid/surau membentuk karakter Tan Malaka, dengan merujuk otobiografi, tulisan-tulisan dan penelitian lainnya.

Surau sebagai Pusat Pembentukan Karakter

Surau di Minangkabau pada awal abad ke-20 bukan hanya sekadar tempat ibadah, tetapi juga pusat pendidikan, diskusi, dan pengembangan pemikiran. Taufik Abdullah dalam bukunya School and Politics: The Kaum Muda Movement in West Sumatra (1927-1933) menjelaskan, surau berfungsi sebagai lembaga pendidikan informal yang mengajarkan nilai-nilai keislaman, keadilan, dan keberanian melawan penindasan. Tan Malaka, yang lahir di Nagari Pandam Gadang pada tahun 1897, tumbuh dalam lingkungan ini, di mana surau menjadi tempat yang sangat berpengaruh dalam pembentukan karakternya.

Di surau, Tan Malaka tidak hanya belajar membaca Al-Qur’an, tetapi juga diajarkan tentang keadilan sosial, kesetaraan, dan pentingnya melawan ketidakadilan. Nilai-nilai ini kemudian menjadi fondasi pemikirannya tentang perjuangan melawan kolonialisme. Dalam otobiografinya Dari Pendjara ke Pendjara, Tan Malaka menyebutkan, pengajaran agama Islam di surau memberikannya pemahaman tentang pentingnya persatuan dan solidaritas.

Tan Malaka memiliki pandangan yang unik tentang Islam, terutama dalam konteks konsep Tauhid. Ia menghubungkan pengakuan terhadap ke-Esaan Allah SWT dengan sejarah ekonomi dan politik masyarakat Arab. Menurut Tan, masyarakat Arab pra-Muhammad SAW adalah masyarakat yang terbelah dalam banyak suku, masing-masing menyembah berbagai berhala. Situasi ini menyebabkan peperangan saudara yang panjang dan sangat keji. Oleh karena itu, Tan berargumen bahwa masyarakat Arab membutuhkan pemimpin yang bisa menyatukan mereka.

Tan Malaka menyatakan, “Persatuan itu tidak terdapat pada satu maha-patung, di antara beberapa patung yang ada di Arabia dan berpusat di Mekkah di masa itu, melainkan pada ke-Esaan Tuhan dan Kemahakuasaan-Nya, yang tiada lagi takluk kepada tempat dan tempo, seperti patung di mana pun juga, yang dibikin oleh tangan manusia dari benda apapun juga di dunia ini.” Dengan kata lain, Tan Malaka melihat bahwa ke-Esaan Tuhan adalah kunci untuk menyatukan masyarakat yang terpecah. Di sinilah kita melihat benih-benih pemikiran revolusioner Tan Malaka mulai tumbuh.

Pengaruh Nilai-Nilai Islam dalam Pemikiran Tan Malaka

Meskipun Tan Malaka dikenal sebagai pemikir Marxis, nilai-nilai Islam yang ia pelajari di surau tetap melekat dalam pemikirannya. Azyumardi Azra dalam jurnal Studia Islamika (2003) menjelaskan, dinamika keislaman di Minangkabau pada masa Tan Malaka tidak hanya bersifat ritualistik, tetapi juga membentuk etos perjuangan dan keadilan sosial. Hal ini terlihat dalam tulisan-tulisan Tan Malaka, seperti Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika), di mana ia menggabungkan pemikiran rasional dengan nilai-nilai keislaman.

Tan Malaka menolak penindasan dan ketidakadilan, yang ia anggap bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Dalam bukunya Massa Actie (1926), ia menyerukan perlawanan terhadap kolonialisme Belanda dengan argumen bahwa penjajahan adalah bentuk kezaliman yang harus dilawan. Seruan ini tidak hanya didasarkan pada pemikiran Marxis, tetapi juga senafas dengan nilai-nilai keislaman yang ia pelajari di surau. Dengan demikian, kita dapat melihat bagaimana Tan Malaka mengintegrasikan nilai-nilai keislaman ke dalam kerangka pemikirannya yang lebih luas.

Tan Malaka menjelaskan kesadaran kenabian tidak terlepas dari pengalaman material. Tan melihat kemunculan Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin melalui perspektif material. Ia berpendapat bahwa Nabi Muhammad, meskipun buta huruf, memiliki pengalaman dan pengetahuan yang cukup untuk memimpin masyarakatnya. Tan menjelaskan, “Pengalaman yang diperoleh ketika mengikuti kafilah, yang acap kali menghadapi pelbagai musuh telah mendidik, melatih semua sifat pemimpin yang terpendam dalam jiwa Muhammad bin Abdullah.”

Bagi Tan, perjalanan dagang Nabi Muhammad ke berbagai negara di sekitar Arab memberinya wawasan yang luas tentang berbagai persoalan yang dihadapi masyarakatnya. Ini menunjukkan bahwa Tan Malaka tidak hanya melihat Nabi Muhammad sebagai pemuka spiritual, tetapi juga sebagai pemimpin yang terdidik, ditempa oleh pengalaman hidup.

Surau juga menjadi tempat Tan Malaka mengembangkan kemampuan intelektualnya. Jeffrey Hadler dalam Muslims and Matriarchs: Cultural Resilience in Indonesia through Jihad and Colonialism (2008) mencatat bahwa surau di Minangkabau adalah tempat di mana para pemuda tidak hanya belajar agama, tetapi juga berdiskusi tentang isu-isu sosial dan politik. Tan Malaka kecil terlibat dalam diskusi-diskusi ini, yang membentuk kemampuannya berpikir kritis dan analitis.

Kemampuan ini terlihat dalam tulisan-tulisannya yang tajam dan argumentatif. Dalam Naar de Republiek Indonesia (1925), Tan Malaka merumuskan gagasan tentang republik Indonesia yang merdeka dengan argumen mendalam dan terstruktur. Gagasan ini tidak muncul begitu saja, tetapi merupakan hasil dari proses intelektual yang dimulai di surau. Diskusi-diskusi yang ia ikuti di surau membantunya mengasah kemampuan berargumentasi dan berpikir kritis, yang kemudian menjadi ciri khas dalam karya-karyanya.

Narasi yang Mengabaikan Peran Surau

Sayangnya, banyak narasi tentang Tan Malaka mengabaikan peran surau sebagai situs keagamaan dalam pembentukan karakternya. Sebagian besar studi tentang Tan Malaka lebih fokus pada pemikiran Marxis dan peranannya dalam pergerakan internasional. Padahal, tanpa memahami latar belakang budaya dan religiusitas Minangkabau pada masa itu, apa yang Tan Malaka cita-citakan kita tidak dapat sepenuhnya memahami mengapa ia menjadi seorang revolusioner.

Tentang kesetaraan manusia, dalam pandangan Tan Malaka, Islam menempatkan semua manusia setara di hadapan Tuhan, tanpa memandang kekayaan, pangkat, suku, atau jenis kelamin. Ia menekankan bahwa konsep ke-Esaan Tuhan dan ke-Mahakuasaan-Nya adalah fondasi dari kesetaraan ini. Dalam konteks pemikirannya, Tan Malaka menyatakan, “Yang Maha Kuasa itulah bisa lebih kuasa dari undang-undang alam (hukum alam).” Ia berargumen bahwa jangkauan ‘Ilmu Bukti’ hanyalah pada hukum atau kodrat alam, sedangkan “Yang Maha Kuasa” berada di luar jangkauan ilmu pengetahuan.

Harry J. Benda dalam jurnal Indonesia (1972) menegaskan, pemikiran Tan Malaka tidak dapat dipisahkan dari konteks budaya dan agama Minangkabau. Surau, sebagai lembaga pendidikan keagamaaan informal, memainkan peran mendasar dalam membentuk karakter dan pemikiran Tan Malaka. Mengabaikan peran ini sama dengan mengabaikan akar dari pemikiran dan tindakan Tan Malaka.

Surau sebagai Fondasi Karakter Tan Malaka

Tan Malaka adalah produk zamannya. Ia tumbuh dari lingkungan surau dan masjid di Minangkabau, yang mengajarkannya nilai-nilai keislaman, keadilan sosial, dan keberanian melawan penindasan. Meskipun ia kemudian mengadopsi pemikiran Marxis, nilai-nilai yang ia pelajari di surau tetap menjadi fondasi karakternya sebagai seorang revolusioner. Oleh karena itu, memahami peran surau dalam pembentukan karakter Tan Malaka adalah kunci memahami mengapa ia menjadi salah satu tokoh paling visioner dalam sejarah Indonesia.

Pada bulan November 1922, di hadapan perwakilan partai komunis dari berbagai belahan dunia, Tan Malaka menegaskan, “Ketika saya berdiri di depan Tuhan saya adalah seorang Muslim, tapi ketika saya berdiri di depan banyak orang saya bukan seorang Muslim, karena Tuhan mengatakan bahwa banyak iblis di antara banyak manusia!” Pernyataan ini menunjukkan bahwa Tan Malaka tidak melihat identitas keislamannya sebagai penghalang berinteraksi dengan ide-ide baru, termasuk Marxisme. Ia memahami bahwa dalam konteks sosial dan politik, identitasnya sebagai Muslim bisa berbeda dengan identitasnya di hadapan masyarakat.

Dalam tulisannya, Tan Malaka juga menekankan, di alam kemerdekaan pentingnya kemerdekaan berpikir dan menyampaikan pendapat. Ia percaya bahwa setiap individu memiliki hak menentukan keyakinan dan paham yang dijunjungnya. “Tiap-tiap manusia itu adalah merdeka menentukannya dalam kalbu sanubarinya sendiri,” katanya. Pernyataan ini menunjukkan bahwa Tan Malaka menghargai kebebasan individu dalam menentukan keyakinan, termasuk dalam konteks keislaman.

Ia adalah seorang pemikir yang mampu mengintegrasikan nilai-nilai keislaman dengan ide-ide Marxis. Meskipun terpengaruh oleh berbagai bacaan baru, ia tidak meninggalkan identitas keislamannya. Sebaliknya, ia menerapkan nilai-nilai Islam sebagai landasan memahami dan mengkritisi kondisi sosial dan politik masyarakat. Dengan demikian, Tan Malaka tidak hanya menjadi seorang revolusioner, tetapi juga seorang intelektual yang mampu menjembatani dua dunia yang tampaknya bertentangan.

Tan Malaka mencatatkan sejarah dengan memastikan memperjuangkan aliansi strategis antara Islam dan Komunisme di Indonesia pada awal abad ke-20. Sebagai Ketua Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1921-1922, ia mendukung kerjasama antara PKI dan Sarekat Islam (SI), melihat potensi besar dalam persatuan melawan kolonialisme dan imperialisme. Tan Malaka berargumen, komunisme dan Islam memiliki kesamaan tujuan, yaitu membebaskan rakyat dari penindasan ekonomi dan politik. Ia mencontohkan aliansi serupa di negara-negara Muslim seperti Kaukasus dan Persia, yang berhasil melawan kekuatan imperialis (Poeze, Tan Malaka: Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia).

Dalam Kongres Komunis Internasional keempat pada November 1922, Tan Malaka menyerukan dukungan terhadap Pan-Islamisme sebagai alat melawan imperialisme. Ia menjelaskan, bagi kaum Muslim, Islam bukan hanya agama, tetapi juga identitas nasional dan alat perjuangan kemerdekaan. Seruannya mendapat dukungan dari beberapa delegasi, meskipun Komintern resmi menolak Pan-Islamisme (McVey, The Rise of Indonesian Communism). Tan Malaka percaya bahwa memperdalam perbedaan antara Islam dan Komunisme hanya akan melemahkan gerakan rakyat Indonesia.

Di tingkat lokal, Tan Malaka berupaya memadukan nilai-nilai Islam dan Komunisme dalam kegiatan PKI. Misalnya, PKI Semarang membentuk Komite Haji melawan kebijakan pemerintah kolonial yang memberatkan jamaah haji. Selain itu, Tan Malaka menggunakan ayat-ayat Al-Quran dalam propaganda PKI untuk menunjukkan simpati terhadap rakyat tertindas (Shiraishi, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa, 1912-1926). Meskipun upayanya menghadapi tantangan dari tokoh SI seperti Tjokroaminoto dan Agus Salim, yang menuduh komunis sebagai pemecah belah, Tan Malaka tetap konsisten memperjuangkan aliansi ini sebagai langkah strategis menuju kemerdekaan Indonesia.

Dalam konteks sejarah Indonesia, Tan Malaka bukan hanya sekadar tokoh revolusioner, tetapi juga simbol dari pertemuan antara nilai-nilai keislaman dan pemikiran kritis yang melahirkan semangat perjuangan. Lingkungan surau yang membentuknya adalah cerminan dari kekayaan budaya dan religius yang ada di Indonesia. Dengan memahami Tan Malaka dari perspektif ini, kita tidak hanya menghargai perjuangannya, tetapi juga menghargai warisan intelektual yang ia tinggalkan untuk generasi mendatang.

Tan Malaka adalah bukti bahwa nilai-nilai keislaman dan pendidikan tradisional dapat melahirkan pemikir-pemikir besar yang mampu mengubah sejarah.

 

Daftar Pustaka

  1. Abdullah, Taufik. School and Politics: The Kaum Muda Movement in West Sumatra (1927-1933).
  2. Azra, Azyumardi. 2003. “Islam in Minangkabau: A Historical Perspective.” Studia Islamika.
  3. Benda, Harry J. 1972. “Tan Malaka: A Political Personality’s Structure.”
  4. Hadler, Jeffrey. 2008. Muslims and Matriarchs: Cultural Resilience in Indonesia through Jihad and Colonialism.
  5. Kongres Komunis Internasional ke-4. 1922. Proceedings of the Fourth Congress of the Communist International. Moskow: Communist International.
  6. McVey, Ruth T. 1965. The Rise of Indonesian Communism. Ithaca: Cornell University Press.
  7. Poeze, Harry A. Tan Malaka: Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
  8. Shiraishi, Takashi. 1990. Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa, 1912-1926. Jakarta: Grafiti Pers.
  9. Tan Malaka. 1925. Naar de Republiek Indonesia.
  10. ———. 1926. Massa Actie.
  11. ———. 1948. Dari Pendjara ke Pendjara.
  12. ———. 1955. Madilog: Materialisme, Dialektika, dan Logika.