Surat Terbuka untuk Sugi Nur soal Konflik Hindu-Muslim di India

Surat Terbuka untuk Sugi Nur soal Konflik Hindu-Muslim di India

Dear Pak Sugi Nur yang ekspresif, suka tantangan, dan membuat semua orang menjadi gempar….

Surat Terbuka untuk Sugi Nur soal Konflik Hindu-Muslim di India

Sebelum saya memuji bapak Sugi Nur yang mahir beretorika, perlu kami tegaskan terlebih dahulu bahwa atas nama kemanusiaan, celakalah bagi siapapun yang melakukan penindasan, pembantaian, dan kesewenangan karena SARA!!

Supremasi SARA atas kemanusiaan hanya ada pada jiwa-jiwa yang masih belum mengenal peradaban. Tidakkah kita merenungi lirik lagu Laskar Cinta?

Maka, melihat konflik kemanusiaan yang terjadi di India, apa yang mesti umat Muslim lakukan?

Jika tidak dijawab dengan proporsional, maka keadaan ini hanya akan dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang pandai beretorika untuk memuluskan agenda mereka.

Dalam salah satu videonya, bapak Sugi mengulas mengenai ihwal tragedi di India. Menggunakan retorika yang menggelikan runut ia ingin kemarahan tersebar. Ya, bapak Sugi, sekali lagi, ingin kemarahan tersebar. Ini perlu saya tegaskan dengan pengulangan sebagai wujud itba’ kepada beliau junjungan agung dan suri tauladan kita.

Padahal, Kanjeng Nabi Muhammad telah mengingatkan kita, umat Muslim, agar tidak mudah gegabah untuk marah. Tapi tak apa, namanya juga bapak Sugi, dengan segala ke-maha merasa benarnya.

Berikut kutipkan sabda Nabi yang ditakhrij oleh al-Bukhari:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَوْصِنِي، قَالَ: «لاَ تَغْضَبْ» فَرَدَّدَ مِرَارًا، قَالَ: «لاَ تَغْضَبْ»

 Dari Abi Hurairah ra, bahwasanya seorang lelaki berkata kepada Nabi SAW, “mohon nasihati aku,” beliau bersabda, “jangan kau marah.” Beliau pun mengulang kembali bersabda, “jangan kau marah.”

Bahkan tidak hanya itu, dalam konteks peperangan sekalipun, kemarahan seyogianya perlu dikontrol. Adalah Amr bin Abd Wad al-Amiri seorang perkasa dari kaum musyrik yang maju dalam baku tanding menantang kaum Muslim sebagai pembuka perang Khandaq.

Sejurus kemudian, Sayyidina Ali tanpa rasa takut meladeninya. Tak butuh waktu lama, Sayyidina Ali dalam beberapa gerakan saja mampu melumpuhkan dan menyabet paha Amr.

Situasi semakin dramatis sewaktu Sayyidina Ali hendak melakukan tebasan pamungkasnya, Amr yang hanya bisa rebahan tanpa diduga meludah ke wajah menantu Rasul yang rupawan ini.

Alih-alih menghabisi Amr dengan membabi buta, beliau justru mengendorkan uratnya dan mengurungkan niatnya, semata untuk menolak dikuasai kemarahan. Meskipun frasa membabi buta ini asalnya dari Bahasa Indonesia, kesadaran kemanusiaan ini sudah lebih terlebih dahulu dipraktekkan oleh tokoh Muslim. Bahwa saat dikuasai oleh kemarahan sisi kemanusiaan yang penuh dengan rasa dan cinta bisa pupus. Justru yang mewujud dalam kemarahan hanya wadak yang pontang panting menabrak,  menyeruduk, membanting. Bahasa kita merangkumnya dalam frasa membabi buta.

Adalah ketidakmungkinan sifat membabi buta disematkan pada tokoh mulia setingkat Sayyidina Ali. Adalah ketidakpantasan tokoh se-agung beliau melakukan sesuatu dengan kondisi jiwa dikuasai kemarahan. Siapa yang akan mewarisi sifat agung ini? Apakah kita umat Muslim rela kehilangan keagungan dan kewibawaan karena tak kuasa menahan amarah?

Jadi, bapak Sugi yang kami hormati, jangan marah! Jangan marah!

Apakah bapak belum mengetahui riwayat yang masyhur itu? Atau bapak Sugi sengaja menutupi?

Kalau nyatanya bapak sengaja menutupi kebenaran dan keilmuan, semoga dosa-dosa kita diampuni oleh Allah dan lekas mendapat petunjuk. Namun bila yang terjadi adalah murni ketidaktahuan, mengapa pak Sugi menyusun kebodohan ini dalam larik retorika yang dapat membodohi orang lain, apa salah orang-orang pak?

Begini kira-kira verbatim yang saya kutip dari Pak Sugi:

“saran saya saudaraku, marahlah, marahlah sesuai maqammu, dengan video kek, dengan tulisan kek, dengan apapun. Walaupun kamu tidak bisa bertindak apa-apa insyaallah marahmu akan menjadi syahid, marahmu akan menjadi amal ibadah di hadapan Allah.”

Pak Sugi, sejak kapan marah-marah bisa menyelesaikan masalah? Daripada marah-marah tiada guna, saya beri opsi untuk pak Sugi dan kawan-kawan semestinya sebagai umat Muslim yang baik mendorong pemerintah Indonesia, yang saat ini memiliki posisi sebagai anggota Dewan HAM sekaligus Dewan Keamanan PBB, untuk memanggil dan menegur secara keras India di Forum PBB.

Mendorong pemerintah juga tidak perlu marah-marah, cukup dengan lugas dan tulus, karena ketulusan akan memanggil sisi kemanusiaan. Setidaknya ini adalah upaya yang paling logis, terukur, dan efisien.

Jangan belum-belum pak Sugi sudah bilang, “dan hampir sudah dapat dipastikan lembaga-lembaga dunia, lembaga-lembaga perdamaian dunia, PBB-kah, atau HAM-kah, atau apapun-kah, isinya dunia ini, tidak mungkin akan mengecam tindakan itu. Apalagi memberi stampel teroris kepada orang-orang non Muslim yang membantai saudara-suadara kita itu, tidak akan. Seribu orang Islam dibantai, tidak akan ada bombastisnya, tidak akan ada label terorisnya.”

Saya khawatir, jangan-jangan blio pernah ikut sidang PBB, sehingga bisa memastikan sesuatu yang masih abstrak itu.

Meski begitu, apa pak Sugi lupa tragedi Christchurch, Selandia Baru yang menewaskan 51 Muslim saat beribadah di masjid? Bukankah si pelaku resmi didakwa melakukan tindak teroris pada Selasa, 21 Mei 2019?

Pak Sugi, dunia sudah maklum bahwa terorisme bukan bagian dari agama. Para teroris menggunakan agama sebagai alat untuk disalah-gunakan, untuk memupuk kemarahan. Pengetahuan ini elementer pak Sugi, untuk konteks masa yang sudah beradab ini, apa bapak belum mengetahui?

Sudah begitu, Pak Sugi kok malah bilang, “video ini hanya sekedar untuk membatalkan ghirah, membatalkan tanggung jawabku, untuk menyalurkan amarah, marah, kalau saya bisa ke India saya ke India. Kan ada itu Islam-islam munafik yang bilang, ‘udah gus gak usah ngomong di Indonesia ndak usah banyak omong kalau berani ke India!’ itu Islam-islam munafik itu. Kalau saya bisa ke India ndak usah disuruh saya ke India. Dan kalau kamu dalam kondisi ini ngomong gitu di depan saya tak culek matamu, ‘halah gus Nur paling settingan,’ matamu settingan!!!”

Pak Sugi yang pemberani dan gemar menculek mata orang, bapak itu mau ngapain kalau sudah sampai di India? Mau menyebarkan kemarahan juga? Gunanya apa pak? Apa konflik bisa berhenti?

Kok malah bapak bilang, “saran saya pesen saya untuk saudara-saudaraku Hindu yang ada di Indonesia, bijaklah! Jangan mancing-mancing masalah di sini ya! Kalian hidup aman di Indonesia, siapapun kalian mau Hindu mau Kristen, mau Konghuchu, anda aman. Tapi dengan situasi seperti ini, ndak usah mancing-mancing air keruh, ndak usah bertingkah yang aneh-aneh… Demi Allah dari dulu  anda tau orang Islam itu kalau sudah ghirahnya disentuh kalau sudah saudaranya dibunuh, orang Islam itu rindu mati, bukan takut mati, rindu mati  Ndak usah bertingkah ya! Lo jual gue borong nanti. Jangan sampai di Indonesia terjadi kisruh macem-macem.”

Pak Sugi, orang-orang di Indonesia sekarang ini damai. Justru karena pak Sugi bilang begitu, pak Sugi secara sengaja malah memancing di air keruh. Jangan lupa pakai imbuhan di ya pak! Karena air keruh tidak bisa dipancing. Namun jika dilengkapi dengan di maka akan menjadi peribahasa Indonesia yang bermakna mencari keuntungan dalam keadaan kacau.

Terakhir, teruntuk Pak Sugi yang ekspresif,  jangan lupa sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam ya, bahwa lā tagḍob!!! Tau artinya ndak, Pak?? Kalau tidak tahu, saya kasih tahu: jangan marah! Jangan marah!