Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Bapak Prabowo yang terhormati,
Saya ingin mengawali surat ini dengan permintaan maaf karena mungkin saya terkesan lancang. Kita tidak saling kenal secara pribadi. Bapak tidak mengenal saya. Saya memang bukan siapa-siapa. Saya hanyalah rakyat biasa seperti kebanyakan orang lain di negeri ini yang hanya bisa melihat Bapak dari jauh.
Jika surat ini terasa kurang sopan, sekali lagi, maafkan saya. Saya hanya berharap yang terbaik untuk Bapak, terutama di saat ketika keadaan mungkin terasa sangat berat bagi Bapak seperti setelah Pilpres saat ini.
Bapak Prabowo yang mulia,
Bapak dikelilingi oleh para alim dan habib. Saya yakin sekali mereka telah menuturkan sebuah kisah tentang sebuah pertempuran yang melibatkan Sayyidina Ali, menantu sang Nabi. Dalam momen tertentu, ketika Sayyidina Ali tengah mengangkat sebilah pedang untuk ditebaskan ke lawannya yang telah tersudut, tiba-tiba dia mengurungkan niatnya, mundur, dan membiarkan musuhnya berdiri dan meloloskan diri.
Tahukah bapak apa yang membuat Sayyidina Ali melakukan tindakan yang oleh banyak petempur saat ini dianggap sebagai kenaifan? Keputusan Sayyidina Ali itu dikarena kejadian sepele, sang lawan meludahi muka Sayyina Ali hingga membuatnya murka.
Seketika Sayyidina Ali mengurunkan diri untuk menebaskan pedangnya karena dia tidak ingin apa yang dilakukannya karena kemarahan pribadi, bukan karena nilai-nilai luhur yang menjadi alasan mengapa sebuah peperangan, cara terburuk dalam menyelesaikan sebuah konflik, harus dilaksanakan.
Jika para ulama dan habaib pernah mengisahkan ini kepada Bapak, hendaklah Bapak mendengarkan dengan seksama dan mengambilnya sebagai teladan. Bahkan, dalam sebuah peperangan yang saling membunuh pun, kemarahan diri harus tetap dikontrol. Jika sebuah peperangan didorong oleh kemarahan diri, maka peperangan itu kehilangan sisi kemuliaannya.
Tidak ada satu perang pun yang layak dicatat dalam sejarah manusia jika peperangan itu hanya untuk melampiaskan rasa marah dan dendam. Pahlawan dibedakan dari penyamun bukan karena yang satu tidak pernah membunuh, tapi karena seorang pahlawan tahu bagaimana memuliakan sebuah peperangan.
Bapak Prabowo yang mulia,
Bapak adalah seorang jenderal yang dikelilingi para cerdik pandai. Saya yakin Bapak pernah mendengar kisah tentang Salahuddin al-Ayyubi, seorang jenderal Muslim yang sangat disegani oleh para musuhnya. Dia menggemparkan Dunia Barat ketika mengalahkan tentara salib para Perang Hattin dan merebut Jerussalem pada 1187 M.
Sekalipun demikian, kebesaran Salahuddin al-Ayyubi tidak semata-mata karena kemampuan mengalahkan musuh-musuhnya. Dia memang memiliki karir politik yang sangat cemerlang, tapi pastilah dia bukan jenderal terbesar jika semata-mata dilihat dari karir militernya.
Namanya harum di mata kawan dan lawan lebih karena kualitas pribadinya yang sanggup menghormati lawannya bahkan di tengah sebuah pertempuran yang penuh darah. Kualitas pribadinya yang murah hati dan sopan membuat namanya terukir indah dalam sejarah. Namanya ditulis dengan penuh sanjung-pujian oleh para penulis Kristen dan Muslim. Musuh-musuhnya menyebutnya dengan “nobel enemy” (lawan yang terhormat).
Bapak sebagai seorang jenderal yang gemar membaca pasti pernah membaca kisah epik ini. Jika sempat lupa, semoga para cerdik pandai yang saat ini mengelilingi Bapak mengingatkan kembali kisah teladan ini, bahwa, menghormati lawan dalam sebuah peperangan juga adalah kualitas moral yang tidak boleh ditanggalkan oleh seorang jenderal, karena di situlah letak kemuliaannya.
Bapak Prabowo Terkasih,
Ada sebuah pelajaran yang sangat penting dari Rasul Muhammad tentang pengendalian diri. Saya juga teramat yakin pelajaran ini sudah disampaikan para alim dan habib dan mengitari Bapak saat ini. Saya hanya mengulang karena khawatir Bapak lupa di tengah kesibukan Pilpres isah ini.
Ketika Nabi Muhammad bersama para sahabatnya pulang dari dari perang Badar, perang besar pertama yang dialami dan dimenangi komunitas Muslim yang baru terbentuk saat itu, Nabi bersabda: “Kita sedang kembali dari perang kecil dan akan menuju perang besar.”
Para sahabat kaget dan bertanya, “Perang besar apalagi yang akan kita hadapi, ya Rasulullah?” Rasul Muhammad menjawab, “melawan diri sendiri.”
Nabi Muhammad tahu persis, dalam setiap peperangan selalu ada yang menang dan kalah. Bagi pasukan perang, apalagi seorang jenderal, perang bukanlah masalah besar sekalipun di mata banyak orang perang tetap mengerikan.
Sekalipun demikian, tidak sedikit seorang jenderal jatuh ke dalam kerendahan diri sekalipun dia bisa sangat gagah berani di medan laga. Keluhuran dan kerendahan seorang jenderal tidak diukur semata-mata dari kemenangan atau kekalahan, tapi bagaimana dia menguasai dirinya.
Di sinilah pesan penting Rasul Muhammad terhadap para pasukannya, dan tentu saja untuk kita semua. Mengendalikan diri itu jauh lebih sulit dari berperang di medan laga. Seorang jenderal yang mulia sanggup menghormati kemenangan lawannya dan tidak melakukan tindakan-tindakan perendahan terhadap lawannya saat dia keluar sebagai pemenang. Bagi seorang jenderal, kemuliaannya salah satunya diukur apakah dia bisa menghormati lawannya atau tidak, sekalipun mungkin lawan itu telah mengalahkannya.
Bapak Prabowo Tercinta,
Sekali lagi, kita tidak saling kenal secara pribadi. Tapi, saya sangat yakin kita dipersatukan dalam pandangan yang sama. Kita mencintai Indonesia. Kita mencintai rakyat Indonesia. Karena itu, seluruh kompetisi politik, termasuk Pilpres ini, harus kita letakkan dalam kerangka cinta itu. Jika saat ini situasi terasa begitu menghimpit dada, percayalah, cinta akan membuat segalanya menjadi indah pada waktunya. Jika yang kita tebar hanyalah makian dan kebencian serta siasat jahat, marilah kita selalu ingat nasehat Rasul Muhammad di atas.
Sampai di sini surat dari saya. Semoga yang terbaik diberikan Allah kepada Bapak dan keluarga serta bangsa Indonesia seluruhnya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Salam hangat,
Ahmad Z. El-Hamdi