Cerita Muharram tahun menjadi cerita tersendiri bagi saya. Berdamai dengan masa lalu mungkin menjadi pertanda awal yang baik pada peringatan 1 Hijriyah kali ini. Bagi saya, ingatan itu menjadi kenangan buruk yang saya lakukan. Ingatan saya kembali ke masa ketika saya SMA beberapa tahun lalu.
Ayah dan ibu saya tidak pernah memperkenalkan tentang apa itu NU, Muhammadiyah dan Persis. Saya mengetahui perbedaan tersebut ketika saya masuk kuliah. Saya pun baru mengenakan hijab ketika saya masuk SMA. Ada banyak kelompok yang menggambarkan Islam dan saya pernah di dalamnya, namun entah kenapa kok ya banyak kelompok tersebut malah menampilkan kekerasan dan steriotip terhadap perempuan. Seandainya para pembaca menonton film ‘Mata Tertutup’, apa yang terjadi dalam film tersebut 80 persen memang saya alami. Dalam film ‘Mata Tertutup’ secara gamblang menyebutkan kelompok tersebut adalah Negara Islam Indonesia.
Cerita dibuka dengan gambaran proses indoktrinasi. Dalam sebuah mobil, Rima (Eka Nusa Pertiwi) mendapati matanya tertutup oleh bandana hitam, dan dipaksa menyebut syahadat serta sejumlah kalimat dogmatis berkali-kali. Konon, itulah langkah pertama untuk “hijrah” ke Indonesia baru. Saya pun melakukan hal tersebut ketika saya masuk kelompok tersebut.
Kelompok yang saya ikuti, tidak secara jelas menyebutkan nama kelompoknya. Mereka hanya menyebutkan saya sudah masuk dalam kelompok hijrah yang ditandai dengan bersyahadat di depan ketua kelompok (ustad) tersebut. Hingga saat ini, saya pun tidak tahu siapa ustad yang menuntun saya bersyahadat. Ketika saya masuk, saya dihadapkan dengan kondisi apakah Pancasila adalah produk Islam atau bukan.
Selama mentoring pun saya adalah siswa yang tidak bertanya sedikit pun. Saya seolah mengerti dan sepakat dengan obrolan mereka. Padahal, saya sama sekali tidak faham dengan apa yang mereka katakan. Selama saya mengikuti pengajian tersebut, ketika saya mengikuti pengajian dengan menggunakan celana panjang, saya seringkali di sindir untuk bisa mengikuti pengajian dengan menggunakan baju gamis atau rok. Saya sendiri sejak hanya memiliki rok seragam SMA saja. Saya pun bertahan hingga 2 tahun dalam kelompok tersebut.
Para mentor menempatkan diri sebagai kakak kepada saya. bahkan, membuat saya harus lebih terbuka dibanding dengan orangtua. Pengajian diadakan dua dalam satu pekan saat itu diawali dengan belajar membaca al-qur’an dan membaca artinya. Seringkali pengajian tersebut menarik dalam kondisi zaman Nabi dan dibenturkan dengan kondisi Indonesia. Hal yang masih saya ingat adalah doktrin untuk melawan pemerintahan Indonesia karena pemerintah tidak bisa mengentaskan kemiskinan. Untuk melawan pemerintahan Indonesia, saya diharuskan untuk berjihad di jalan Allah SWT.
Tahun kedua saya masuk dalam pengajian tersebut, saya ditarik untuk mengikuti infak. Setiap minggunya, saya harus mengeluarkan uang sekitar 2,5 persen dari uang saku saya. Dalam sebulan saya harus mengeluarkan uang sekitar 15 ribu untuk zakat dan infak kepada kelompok tersebut. Berbeda dengan masjid di tempat tinggal saya, kelompok tersebut tidak pernah memberitahukan uang zakat tersebut diberikan kemana dan digunakan apa saja.
Lalu, cerita perekrutan anggota dalam film ‘Mata Tertutup’ sama persis dengan apa yang terjadi kepada saya. Mulai dari kegiatan merekrut anggota (seperti yang terjadi di awal film) dan kelas ideologi. Hanya saja, tidak ada rapat organisasi yang saya ikuti. Dalam film juga memperlihatkan tujuan NII, yakni menghadirkan negara baru berbasis syariat Islam, yang diharapkan lebih adil bagi masyarakatnya. Itu pun saya persis yang saya dapati.
Satu hal, setelah 6 bulan bergabung saya harus merekrut minimalnya satu orang teman untuk ikut dalam kelompok. Kelompok yang disasar adalah teman sekelas saya yang baru saja mengenakan hijab. Bahkan, saya pun diwajibkan untuk mengajak kedua orangtua saya untuk masuk dalam kelompok tersebut.
Kelompok tersebut mengibaratkan dalam kondisi semasa nabi, di mana ketika saya hijrah hanya saya yang akan mendapatkan perahu bernama surga. Ketika saya tidak berhasil mengajak orangtua saya atau orangtua saya menolak, orangtua saya masuk dalam kelompok yang merugi dan akan perahu bernama neraka.
Tahun ketiga saya memutuskan untuk keluar dari kelompok tersebut. Alasannya, saya tidak nyaman selalu diperingatkan ketika mengaji harus menggunakan rok atau gamis. Sedangkan saya sendiri tidak pernah suka dengan dua pakaian tersebut. Stereotip lain yang saya rasakan adalah perempuan adalah aib. Hingga sosial media saya harus diganti dengan beberapa foto karikatur perempuan. Dan, beberapa pengetahuan agama hanya dihakimi secara benar dan salah saja.
Jadi begitu, tetaplah semangat untukmu, Sahabat-sahabatku yang lagi belajar Islam dan berhijrah. Kita sama-sama belajar tentang agama yang kita cintai ini yuk, lebih dalam dan lebih dekat lagi.