Pada masa Pandemi Covid-19, masyarakat dihebohkan dengan berbagai pemberitaan, baik pemberitaan yang akurat maupun tidak akurat. Infodemi ini memang sedang membanjiri dunia digital kita. Bagi yang bisa menyaringnya, tentu akan selamat, namun bagi yang tidak, tentu akan membuat penanganan pandemi semakin runyam.
Salah satu hal yang membuat orang percaya disinformasi Covid-19 adalah kurangnya pengetahuan terhadap sumber yang otoritatif. Bahkan sumber yang otoritatif pun terkadang terkalahkan oleh sumber-sumber ‘sumbang’ yang tidak diketahui kredibilitasnya.
Untuk mengetahui siapakah ‘sumber’ yang harus ditaati dalam hal penanganan pandemi Covid-19, kita perlu merujuk pada surat an-Nisa’ ayat 59 berikut:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا ࣖ – ٥٩
Yā ayyuhalladzīna āmanū athī`ullaha wa athī’urrasūli wa ūlil amri mingkum. Fa in tanāza`tum fī syai’in farudūhu ilāllahi war rasūli in kuntum tu’minūna billahi wal yaumil ākhir. Dzālika khairun wa ahsanu ta’wīla.
Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S an-Nisa: 59).
Walaupun pendapat jumhur mufassir terkait kata ulil amri dalam ayat di atas adalah pemerintah. Namun ada pendapat lain yang berkembang di tengah para mufasir. Di antara para mufassir, ada satu mufassir yang menafsirkan ayat di atas dengan menarik, yaitu Imam Mujahid, salah satu tabiin senior yang dikutip oleh Imam al-Thabari dalam tafsirnya. Menurut Imam Mujahid, ulil amri dalam ayat di atas juga bisa dimaknai dengan ahlul fikhi wal ilmi (ahli ilmu). Pendapat Mujahid ini juga diafirmasi oleh Ibnu Abbas dan juga tabiin seangkatan Mujahid, yaitu Imam Atha’.
Berpegang pada pendapat Ibnu Abbas, Imam Mujahid, dan Imam Atha’ dalam menafsirkan kata ulil amri pada surat an-Nisa di atas, maka dalam penanganan pandemi Covid-19, ulil amri atau ahli ilmunya adalah dokter dan tenaga kesehatan. Oleh karena itu, segala informasi tentang Covid-19 jika tidak berasal dari dokter dan tenaga kesehatan, begitu juga jika tidak dari pihak yang berwenang, maka kita tidak boleh percaya dan menaatinya.
Lalu bagaimana kategori dokter dan tenaga kesehatan yang bisa dipercaya?
Dalam bidang keilmuan, selain kredibilitas dan keahlian seorang ahli ilmu, termasuk dokter, kita juga perlu melihat kondisinya. Pertama, dokter tersebut sehat secara jasmani dan rohani. Karena salah satu hal penting terkait kesaksian dalam agama adalah dipastikan bahwa saksi atau pembawa berita itu harus sehat secara jasmani dan tidak gila. Jika bisa diqiyaskan dengan kesaksian dalam agama ini, maka dokter yang tidak memiliki kesehatan secara rohani atau memiliki penyakit jiwa, maka informasi yang didapatkan darinya tidak bisa dipercaya.
Dalam kajian hadis, mungkin kita pernah mendengar seorang perawi bernama Ibnu Lahi’ah. Ia adalah seorang perawi hadis. Namun pada suatu hari kitabnya terbakar, dan hadis-hadis yang ada di dalam kitab tersebut pun ikut hilang. Sedangkan Ibnu Lahiah sendiri adalah perawi yang tidak bisa meriwayatkan hadis tanpa kitabnya. Sehingga para ulama sepakat untuk tidak meriwayatkan hadis darinya setelah tragedi kebakaran tersebut.
Jika sekedar lupa catatan saja tidak bisa diambil pendapatnya atau dijadikan rujukan, apalagi jika ahli ilmu tersebut gila?
Kedua, dokter tersebut mengikuti perkembangan penyakit dan terjun langsung atau ikut praktek mengobati pasien. Mengapa hal ini penting, karena setiap ahli yang tidak mengikuti perkembangan keilmuannya, maka ia bisa jadi kudet (kurang update). Karena selalu ada informasi dan perkembangan keilmuan yang baru. Bisa jadi jika seorang dokter tersebut kurang update dan sudah tidak praktek, ia ketinggalan informasi dan penelitian terkait ilmu-ilmu yang baru.
Ketiga, pastikan dokter tersebut bukan seorang politisi atau terindikasi politis. Hal ini penting karena politisi cenderung pada dua hal, membela atau menyanggah pemerintah. Sehingga walaupun ia seorang dokter, ia memiliki bias penilaian.
Oleh karena itu, dalam penanganan Covid-19, kita tidak boleh meragukan dokter, apalagi membandingkan apakah informasi dan anjuran dokter itu sesuai agama atau tidak. Jika mengacu ayat di atas, maka setiap perintah dokter yang kita taati, maka itu adalah dianjurkan oleh agama dan menjadi bagian dari ajaran Islam. Untuk saat ini, mari kita hindari infodemi yang berasal dari orang-orang atau kelompok yang tidak bisa dipercaya. Apalagi percaya dengan informasi terkait konspirasi. (AN)
Wallahu a’lam.