Fenomena “empire” Sunda, Blora dan Purworejo membuat kita bingung APAKAH ‘empire’ sebagai suatu pengakuan sepihak dan empire yang sebenarnya ada, masih mengatur cara hidup masyarakat dan beekamuflase dengan jalur demokrasi dan perangkat modernitas.
Secara etimologi, empire berasal dari kata Imperare yang artinya memerintah. Kemudian menjadi imperium yang berarti “hak untuk memerintah”. Saat ini, diakui atau tidak, realitanya Amerika Serikat dengan total belanja anggaran militer terbesar didunia dan 1000 pangkalan militer tersebar diseluruh benua, merupakan satu-satunya “empire” terkuat di Jagat bumi.
Maka tidak heran, meskipun lembaga Internasional dengan maksud kesetaraan bangsa-bangsa seperti PBB mengecam tindakan AS beberapa dekade belakangan seperti serangan ke Irak tahun 2002, intervensi ke Libya dan Suriah, sifat “memaksa” dari empire Amerika Serikat tetaplah muncul secara vulgar. Ironinya sejarah menunjukan bahwa AS awalnya merupakan sebuah koloni yang ingin merdeka dan melawan Empire paling luas saat itu, British Empire.
Pada saat AS hanya 13 koloni-koloni Inggris, cita-cita untuk merdeka menginspirasi Perancis untuk kemudian menggulingkan Monarki Absolut Louis VII. Declaration of Independent 1776 Amerika Serikat yang ditulis Thomas Jefferson memancarkan semangat pembebasan hingga berkali-kali dikutip oleh Soekarno sebagai landasan kemerdekaan.
Bahkan, T Jefferson ingin menularkan ide kemerdekaan dan pembebasan menjadi sebuah “gema” yang akan melawan empire-empire terkuat saat itu, seperti British Empire (Inggris). Ia menyebutnya empire of Liberty. Ia menyatakan:
“we shall form to the American union a barrier against the dangerous extension of the British Province of Canada and add to the Empire of Liberty an extensive and fertile Country thereby converting dangerous Enemies into valuable friends.”
(Surat Jefferson kepada George Rogers Clark, 25 Desember 1780)
Semangat untuk menularkan “kemerdekaan” ke seluruh dunia, berubah menjadi “memaksa melalui semangat kebebasan.” Sekilas makna empire dipakai secara kontradiktif. Bagaimana caranya empire menyebarkan semangat kebebasan jikalau dengan cara-cara memaksa?
Imperium Hari Ini
Memanasnya hubungan Iran-AS merupakan contoh bagaimana AS hendak memaksakan agenda kebebasannya pada negara-negara dunia. Bagi Barat, Iran (diluar kemandirian dan “independensinya pada pengaruh Barat) merupakan contoh target Empire of Liberty untuk segera “dibebaskan”.
Iran dalam imajinasi empire of Amerika merupakan musuh kebebasan. Bagi empire, Iran harus dibebaskan dari hijab Islam, diskriminasi perempuan dan harus segera memakai demokrasi Barat yang, tentu saja sepaket dengan keseluruhan infra-suprastruktur demokrasi dalam kacamata mereka.
Iran yang diinginkan empire of Amerika adalah iran sebelum Revolusi 1979. Perempuan ceria tanpa hijab, memakai role model AS, menonton bioskop hollywood, kacamata-mobil-gaya hidup American Dream, dan pada akhirnya memakai dollar dan tunduk pada arus perdagangan versi AS. Tentu Empire of Amerika berhak mengajukan pendapat mereka tentang seperti apa suatu bangsa seharusnya.
Namun, tentu tidak meliputi pembekuan aset Iran di Bank-bank internasional yang tunduk pada kebijakan AS, perjanjian tidak menguntungkan karena AS memaksa membangun pangkalan militer dinegara Anda, atau sebagai negara yang sudah hancur, AS berhak memaksa untuk membangun pangkalan minyak dinegeri anda dan anda harus membayar biaya pangkalan militer atas nama keamanan dunia dan membebankannya pada aset negara anda yang sudah hancur sebagai cara membayar perang yang tidak anda inginkan.
Empire, memang bertujuan dan ditakdirkan untuk memeras anda, yang diumpamakan empire sebuah kastil, negara anda adalah desa kecil yang—tergantung besar atau kecil sumber daya yang anda miliki—tidak akan membuat kenyang sang raja yang sedang berfoya-foya.
Tidak ada contoh paling tragis dalam serangan empire di level global selain nasib Libya. Empire mengepungnya, mengambil harta negaranya, membunuh rakyatnya, menyeret pemimpinnya (M Khadafi) dijalanan, dan bertahun-tahun setelah peristiwa tersebut—yang oleh barat disebut pembebasan Libya—dengan santai empire AS menyatakan aset Libya milyaran dollar di bank Eropa dinyatakan lenyap.
Kapitalisme, dengan impian “invisible hand” dan persaingan bebas nyatanya omong kosong, bahwa ternyata perekonomian global ditopang oleh perampokan kekuatan militer Empire.
Tentu harusnya, kalau persaingan bebas memang nyata, tak ada kebijakan embargo dilakukan “empire”. Semua keindahan gaya hidup para bangkir dengan jas dan mobil mewah ditopang oleh perampokan militer Empire atas nama penyebaran “kebebasan demokrasi”.
Kita tidak mengatakan bahwa semua ini adalah yang terburuk. Empire juga menggelontorkan dana yang besar untuk bantuan kemanusiaan, program pendidikan dan memberi hutang negara-negara berkembang.
Empire di Sekitar Kita
Empire sebagai perpindahan kekuasaan sebenarnya tidak hanya membekas dalam tradisi keraton-keraton Nusantara yang masih bertahan hingga sekarang. Meskipun kedaulatannya dibawah naungan NKRI.
Apabila Empire dicirikan perpindahan kekuasaan dari garis keturunan, sesungguhnya banyak empire-empire kecil di Indonesia setelah reformasi. Kebijakan otonomi daerah dengan semangat desentralisasi malah memunculkan empire-empire baru melalui Pilkada.
Empire ini biasanya hidup dalan jabatan Gubernur, bupati hingga partai politik Tingkat Nasional. Di daerah, keluarga Gubernur menjabat pos-pos penting dalam struktur pemerintahan. Bila tidak, maka mereka menguasai pembagian “jatah proyek” daerah.
Ditingkat Nasional partai politik memiliki hasrat Empire ketika mereka dengan sengaja, terbuka dan terencana mempersiapkan sanak-saudaranya untuk menjadi suksesi elit partai politik. Atau mungkin, karena mempersiapkan anak biologis tidak memungkinkan, empire kecil ini biasanya menjadi ketua umum parpol yang menjabat tanpa batas yang jelas.
Anda tidak perlu memaksa saya menyebut satu-persatu. Namun kondisi empire dunia, empire nasional dan empire daerah yang mengkooptasi sistem demokrasi membuat masyarakat, yang awalnya dijanjikan akses persaingan politik yang terbuka—menjadi frustasi karena yang dijanjikan tidak pernah ada.
Akhirnya dari sekitar 300 jutaan penduduk Indonesia, tidak bisa dihindari bahwa dibawah 1 persen diantaranya, dengan kreativitas mereka yang seadanya, memimpikan “empire” yang dapat memberikan akses aspirasi politik yang lebih dekat dan nyata.
Akhirnya mereka mendeklarasikan “empire” yang bisa mereka buat sendiri, dalam arti sistem politik yang kita miliki hari ini tidak mewakili mereka. Kini kita menyoraki pendiri empire sebagai bahan lelucon sambil melupakan fakta menyedihkan bahwa, rasa frustasi masyarakat terhadap sistem politik yang ada menemukan bentuk-bentuk yang nyata.