Seorang pejabat negara, Sultan Hamengku Buwono IX pernah ditilang saat akan berangkat keluar kota. Ia pejabat yang jujur dan tidak menggunakan jabatannya untuk bertindak semena-mena.
Tahun 1960-an mungkin jarang sekali orang biasa memiliki mobil, biasanya jika bukan orang kaya, ya, pejabat negara. Pejabat negara pun biasanya memiliki supir pribadi. Ya kali pejabat negara masih nyetir sendiri. Namun, tidak ada yang tahu bahwa saat itu ada salah satu pejabat Indonesia mengendarai sendiri mobil pribadinya.
Sri Sultan Hamengku Buwono IX, gelar kenamaan yang diberikan kepada Bendoro Raden Mas Darojatun setelah naik tahta menjadi Sultan pada 18 Maret 1940. Orang ini lah yang mengendarai mobil pribadinya sendiri pada pagi hari tahun 1960-an. Sebagai pejabat, ia tentu memiliki supir pribadi. Penghasilannya sebagai pejabat tak mungkin tidak mampu membayar supir.
Namun ada keanehan pagi itu. Entah kenapa, ia menyetiri mobil pribadinya sendiri saat bepergian keluar kota. Ia berangkat sendirian melewati jalanan. Saat tiba di daerah Pekalongan ia tak memperhatikan rambu lalu lintas. Ia melewati jalan dari arah berlawanan, padahal jalanan itu harusnya dari arah sebaliknya. Jalan itu jalan satu arah.
Di pertegahan jalan ia diberhentikan oleh seorang polisi. Royadin namanya. Saat kalian tiba-tiba diberhentikan polisi di tengah jalan, maka ada satu keniscayaan, kamu akan ditilang.
“Selamat pagi,” sapa Brigadir Royadin.
“Pagi, pak,” jawab sang sultan. Sayangnya Royadin tidak tahu bahwa yang sedang ia berhentikan adalah Sultan Yogyakarta.
“Boleh ditunjukkan surat-suratnya,” tanya Royadin, masih dengan sikap tegas dan tanpa pandang bulu.
Setelah melihat nama dalam surat-surat tersebut, sikap tegas Royadin mulai luluh. Dahinya mengeluarkan keringat dingin. Ia menjadi semakin gugup. Ia baru sadar bahwa ia sedang menghentikan mobil sultan. Ia takut, suatu saat nanti pangkatnya diturunkan atau dipecat dari kepolisian karena telah menilang sultan. Ia mengelap keringatnya dan berusaha mempertahankan sikapnya sebagai seorang polisi. Ia takut wibawanya menurun.
“Bapak melanggar verbodden. Ini jalan satu arah. Jadi bapak dilarang lewat sini!” jelas Royadin.
Royadin menduga sang sultan akan mengelak. Namun ternyata ia salah.
“Iya benar, saya yang salah. Buatkan saja surat tilangnya!” kata-kata sultan itu menghapus anggapan Royadin. Ia tidak menyangka bahwa Sultan bersedia ditilang.
Dalam buku Belajar Integritas kepada Tokoh Bangsa yang diterbitkan KPK, dikisahkan bahwa Sultan pun akhirnya mendapatkan surat tilang yang dibuat Royadin. Ia tidak semena-mena walaupun dirinya menjabat sebagai petinggi di negeri ini. Bahkan ia pun meminta agar Royadin yang bertugas di Yogyakarta dinaikkan pangkatnya satu tingkat. Hal ini ia lakukan karena Royadin bekerja dengan tegas tanpa memandang jabatan seseorang.
Begitulah Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Ia merupakan pejabat panutan. Ia sangat dikagumi oleh masyarakat Yogyakarta. Ia meninggal pada bulan Oktober 1988 dan dikuburkan di pemakaman raja-raja mataram. Semoga kisah Sri Sultan ini menjadi motivasi bagi siapapun, bahkan seorang pejabat tinggi untuk bersikap jujur dan mengakui kesalahannya. Sedangkan bagi para penegak hukum, untuk tetap menegakkan hukum tanpa pandang bulu. (AN)
Wallahu a’lam.