Sukatani, Subkultur Jawa Banyumasan, dan Perlawanan Terhadap Hegemoni Budaya

Sukatani, Subkultur Jawa Banyumasan, dan Perlawanan Terhadap Hegemoni Budaya

Yang pasti, Sukatani adalah seniman yang jujur—baik terhadap apa yang mereka sampaikan, maupun terhadap jati diri mereka sendiri.

Sukatani, Subkultur Jawa Banyumasan, dan Perlawanan Terhadap Hegemoni Budaya

“Seniman yang cerdas pasti tahu bagaimana caranya menyelipkan pesan dalam sebuah karya dengan cantik namun tetap sampai maksudnya. Sukatani mengemas karyanya dengan cukup cantik meski awalnya menimbulkan komunikasi yang kurang cantik antara Sukatani dan institusi tersebut (kepolisian)”

Tulisan ini diunggah oleh musisi sekaligus anggota DPR RI, Melly Goeslow, dalam akun Instagramnya saat menanggapi polemik pelarangan salah satu lagu Sukatani yang belakangan ramai diperbincangkan. Sekilas, pernyataan tersebut terlihat netral. Terlebih, pelantun lagu Ketika Cinta Bertasbih ini secara eksplisit juga mendukung Sukatani.

Namun, jika dilihat lebih dalam, ada kritik tersirat terhadap gaya lirik Sukatani. Pertama, ia mengandaikan bahwa musisi yang cerdas adalah mereka yang bisa menciptakan karya yang “cantik”—yaitu karya yang dikemas secara implisit dan tidak konfrontatif. Keduaia juga memberi kesan bahwa kritik yang memicu komunikasi yang “kurang cantik” antara subjek dan objek kritik adalah satu hal yang juga “tidak cantik”—alias tidak baik.

Benarkah gaya kritik yang lugas dan terang dari Sukatani adalah satu hal yang “tidak cantik”? Lalu, masih relevankah cara kritik yang bersifat halus untuk pihak-pihak yang semakin hari semakin tebal kebebalanya?

Sukatani dan Budaya Low-Context Jawa Ngapak

Jawa Ngapak, atau disebut juga Jawa Banyumasan—wilayah asal Sukatani—merupakan sebutan bagi masyarakat yang menempati bagian paling barat Jawa Tengah, meliputi karesidenan Banyumas (Purbalingga, Banyumas, Cilacap), Brebes, Tegal, dan Pemalang. Ada peribahasa Jawa yang berbunyi adoh ratu, cedak watu (jauh dari raja/keraton, dekat dengan batu). Jawa Banyumasan, sebagai wilayah yang jauh dan relatif terisolasi dari kekuasaan keraton (Jogja-Solo) masuk ke dalam cedak watu ini.

Dalam pribahasa tersebut, watu melambangkan peradaban kelas bawah yang tidak terikat budaya unggah-ungguh sebagaimana masyarakat di lingkungan keraton.  Jika kehidupan di sekitar keraton dikenal dengan interaksi sosial yang sarat simbol dan hierarkis—seperti penggunaan bahasa yang bertingkat yang mencerminkan status sosial—Jawa Banyumasan merupakan anomali dari praktik tersebut.

Dalam interaksi sehari-hari, masyarakat di wilayah ini umumnya menggunakan bahasa Jawa ngoko lugu, dengan pola komunikasi yang lugas, jujur, dan apa adanya. Mereka cenderung lebih terus terang dan egaliter dalam menyampaikan gagasan.

Menurut antropolog Edward T. Hall, gaya komunikasi terbagi menjadi dua: high context dan low context. Budaya Hight Context ditandai dengan komunikasi bersifat implisit, penuh simbol, dan mengandalkan konteks sosial untuk memahami makna tersembunyi. Ini seperti yang dipraktikan oleh masyarakat Jawa keraton—bahkan budaya komunikasi politik Indonesia secara umum—misalnya, seruan politisi untuk memperhatikan “nilai-nilai ketimuran”.

Sebaliknya, budaya low context memiliki gaya komunikasi yang lebih langsung, eksplisit, dan tidak terlalu bergantung pada simbolisme atau konteks sosial. Dalam budaya ini, pesan disampaikan dengan jelas tanpa mengandalkan pemahaman tersirat dari pendengar.

Karakteristik komunikasi low-context juga tercermin dalam karya seni dan budaya masyarakat Jawa Ngapak, termasuk lagu-lagu karya Sukatani. Misalnya pada lirik “Bayar Bayar Bayar”, bahkan lebih terasa di dua lagu berbahasa ngapak berjudul “Sukatani” dan “Alas Wirasaba”.

Sukatani menyampaikan kritik terhadap perubahan lingkungan dengan cara lugas: Lah siki alase ra ana (Lah sekarang hutanya hilang) / Wis didadikna bandara (Sudah dijadikan Bandara) Terus inyong arep dolanan nang ngendi ya? (Terus saya bermain di mana, ya). Atau, Sukatani, seneng karo wong tani (Sukatani, suka dengan petani) / Sukatani, pengin dadi wong tani (Sukatani, ingin jadi petani)/ Sukatani, tapi ra ndue lemah (Sukatani, tapi tidak punya tanah).

Dengan demikian, ketika Sukatani membuat lirik dengan gaya komunikasi low context, sejatinya mereka juga sedang merefleksikan realita kebudayaan tempat mereka berasal. Lalu, apakah gaya Sukatani ini dapat disebut “cantik”? Jawabanya bersifat subjektif, bergantung pada sudut masing-masing individu. Namun yang pasti, Sukatani adalah seniman yang jujur—baik terhadap apa yang mereka sampaikan, maupun terhadap jati diri mereka sendiri.

Kerja Hegemoni Budaya yang Harus Dilawan

Mengkritik Sukatani karena gaya kritiknya yang terang-terangan—jika karena aspek estetika semata—merupakan tindakan yang sah dan hak setiap individu. Namun, kita patut curiga ketika kritik tersebut datang dari pejabat aktif (kelas penguasa) seperti Melly Goeslow. Hal ini bisa dimaknai sebagai praktik hegemoni budaya—upaya untuk memengaruhi nilai-nilai, norma-norma, gagasan-gagasan, dan perilaku-perilaku masyarakat agar sesuai dengan kemauan kelas berkuasa.

Dalam konteks ini, Sukatani—dan sebenarnya kita juga—diarahkan untuk selalu mengedepankan high contecxt culture terhadap bagaimana kritik seharusnya disampaikan. Padahal, budaya seperti itulah yang telah membuat kita sering “kecolongan”. Penguasa telah berhasil melakukan hegemoni budaya-nya sebagai jalan dalam mempertahankan dan memuluskan kerja kekuasaan mereka.

Seperti yang disampaikan Sukidi, bahwa penguasa selama dekade terakhir berhasil mempertahankan praktik kotornya dengan membungkus kebohongan dalam kesantunan dan kebaikan yang karikatural. Politik citra, yang mengutamakan bahasa halus dan simbolisme telah berhasil “meninabobokan” akal masyarakat secara luas.  

Ketika muncul kritik yang terang-terangan dan konfrontatif—satu budaya yang tidak diinginkan penguasa—respon yang sering muncul adalah tuduhan “tidak sesuai dengan budaya ketimuran”. Alih-alih membahas kritiknya, perdebatan sering kali justru digeser ke aspek instrumental seperti soal cara penyampaian.

Dibanding dengan cara koersif seperti represi fisik atau hukum—yang mudah terlihat—hegemoni budaya dengan cara pengontrolan budaya dan ideologi umumnya lebih sulit terdeteksi. Hal ini terjadi, karena hegemoni budaya bekerja secara halus dan tidak langsung—melalui saluran-saluran yang (nampaknya) non-politis, seperti pendidikan, media, agamawan, influencer, dsb. Hingga akhirnya membentuk apa yang disebut sebagai common sense (akal sehat) yang terlihat sebagai kesepakatan bersama, sah, dan merupakan berlandas kepentingan semua orang—padahal sebenarnya hasil dari konstruksi penguasa dan demi keuntungan mereka sendiri.

Karena bekerja di tingkat kesadaran dan norma sosial, orang-orang cenderung tidak melihat itu sebagai sebuah penindasan. Padahal itu adalah sebuah bentuk penindasan yang juga harus kita waspadai dan lawan. Apalagi di era #IndonesiaGelap ini.

Wallahu a’lam.

(AN)