Karakter khas manusia Nusantara adalah mampu mengolah nilai-nilai dan sistem kebudayaan luar wilayahnya menjadi bagian integral dari kebudayaan miliknya. Kisah Mahabarata yang merupakan tradisi India, diolah menjadi tradisi wayang Nusantara dengan tambahan Punakawan dan nilai-nilai spiritual seperti sekarang. Kemampuan peradaban yang luwes dan kenyal inilah yang sekarang sedang berada di titik senyap sejarah kemanusiaan kita.
Lihat saja, betapa nilai-nilai kebudayaan dan religiusitas peradaban Hindu-Buddha secara sublim masuk dalam karakter, ritus dan artefak kebudayaan Nusantara. Bagaimana benda sejarah, infrastruktur, kuliner, pakaian, hingga musik terpengaruh secara dinamis oleh kebudayaan lampau yang mampir dalam peradaban Nusanatara.
Silang budaya inilah karakter yang tak dijumpai manusia Nusantara, atau bahkan masyarakat Indonesia kini. Radikalisme, fundamentalisme dan aksi kekerasan yang sibuk menguap dan merangsek sebagai karakter manusia Indonesia masa kini. Padahal, jika dirunut sejarah, Islam—sebagai agama dan kebudayaan—di Indonesia juga tak lepas dari silang budaya; mengambil saripati nilai dan ideologi keislaman yang diajarkan Nabi Muhammad, lalu mengaktualisasikan secara harmonis dengan tradisi lokal di penjuru Indonesia.
Dari latar belakang itulah, aliran sufi yang masuk ke ranah Nusantara bercampur dengan nilai-nilai peradaban Timur Tengah, India, hingga Turki. Aliran sufistik—atau tarekat hadir dan menyatu dalam konteks keindonesiaan.
Humanisme Tarekat
Berbagai aliran tarekat masuk dan menjadi bagian dari peradaban Islam Indonesia. Jauh sebelum negeri ini merdeka, pada sekitar abad 16, Hamzah Fansuri mengajarkan Islam secara humanis, dengan subtansi sufisme untuk menjawab tantangan spiritualitas masyarakat kita. Hamzah Fansuri (wafat 1590) berada di kerajaan Samudra (Aceh) untuk mengajarkan Islam, serta konsep-konsep wahdah al-wujud yang merupakan saripati konsep emanasi Ibn ‘Arabi dan penghayatan al-Jilli. Dari pengabdian Hamzah Fansuri inilah, tarekat Nusantara menemukan relevansinya.
Pada periode selanjutnya, Syamsuddin, murid Fansuri, menuliskan ikhtisar untuk mengenang pengabdian gurunya di tanah serambi Mekah. Nuruddin ar-Raniri juga menjadi bagian dari proses Islamisasi Aceh, dia berada di negeri itu pada periode pendek 1634-1644 (Bruinessen, 1995:191). Namun, keberadaanya di Aceh memberi warna baru, sebab mengutuk aliran tarekat yang mengekalkan wahdah al-wujud, dan berusaha menghapus jejak emanasi dalam ritual warga muslim.
Dari garis sejarah inilah, kemudian tarekat menyebar luas di Indonesia oleh kontribusi Syech Yusuf al-Maqassari, Syech Nawawi al-Bantani, Syech Samad al-Palimbani, dan beberapa ulama besar Nusantara yang disegani di Timur Tengah. Kemudian, jaringan guru dan murid dari ulama Nusantara ini menyebarkan sufisme di berbagai belahan negeri ini. Tarekat dari Gujarat, Hadramaut, Kurdi, hingga negeri Timur Tengah masuk dalam kapal besar penyebaran Islam di Indonesia, tentu bersenyawa dengan keilmuan dan kebudayaan.
Pada titiks sejarah itulah tarekat-tarekat masuk menjadi bagian keberislaman di Indonesia. Tarekat Naqsyabandiyah (Bahauddin Naqsyabandi, w1389), Syattariyah (Abdullah al-Syattar, w.1428/9), Qadiriyah (Abdul Qadur al-Jilani, w.1166), Syadziliyyah (Abu al-Hasan as-Syadzili, w. 1258) tersebar luas di berbagai belahan Nusantara. Selain itu, tarekat Syuhrawadiyah (Abdul Qahir as-Syuhrawardi, w.1167), al-Kubrawiyah (Najamuddin al-Kubra, w.1221), Rifa’iyyah, dan Khalwatiyah juga dikenal di beberapa tempat.
Selain diwarnai oleh tarekat-tarekat dari kawasan lain, berkembang juga tarekat yang diciptakan oleh ulama lokal, tentu dengan garis silsilah dari tarekat besar dari persinggungan dengan guru di Makkah dan Madinah. Tarekat-tarekat lokal itu juga ikut membentuk identitas Islam di Indoensia.
Tarekat Akmaliyah berkembang di daerah Cirebon-Banyumas, titik persinggungan budaya Sunda-Jawa. Tarekat ini dikembangkan oleh Kiai Hasan Maulani (Lengkong), Malangyuda (Rajawana Kidul), dan Nurhakim (Pasir Wetan). Ketiga mursyid ini ditangkap tentara Belanda, sebab dianggap membahayakan keberlangsungan kolonialisme di negeri ini. Setelah lama tenggelam, tarekat ini muncul lagi di Garut, oleh Kiai Kahfi yang menulis kitab Layang Muslimin Jeung Muslimat; sebuah risalah ritual keberislaman yang menyentuh dimensi batin.
Tarekat untuk Keindonesiaan
Selain mewarnai corak keislaman di Indonesia, dengan wajah santun dan humanis, tarekat juga berinteraksi harmonis dengan tradisi lokal. Hal ini dapat dibaca dari bagaimana tarekat mampu bertransformasi menjadi ritual keagamaan, sufisme dan kebudayaan sekaligus, sebagaimana pada tarekat Shammaniyah yang mengilhami lahirnya tari Saman. Selain itu, tradisi debus di Banten juga sangat dipengaruhi oleh keberadaan tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang masyhur di kawasan kesultanan Banten. Pada konteks ini, Syech Ahmad Khatib merupakan ulama besar yang dihormati sebagai penyebar sufisme tanpa melupakan tradisi lokal.
Rupanya, ritual dzikir pada tarekat juga mampu menebalkan kepercayaan bagi anggotanya, hingga memperoleh ilmu kasekten (kebal) seperti yang terjadi di Banten. Namun, tarekat juga pernah dianggap sebagai inspirasi pemberontakan oleh Belanda, ketika terjadi pemberontakan (peasant revolt) pada 1888. Pada kasus ini, pemberontakan dipicu oleh kesewenangan pemerintah Belanda yang memeras tenaga, tingginya pajak pertanian, dan kesenjang kelas sosial antara aristokrat dan petani (Kartodirdjo, 1984: 34). Tarekat secara negatif dicitrakan sebagai motor pemberontakan, dan mursyid atau guru sufi diaanggap sebagai dalang kerusuhan.
Padahal, yang terjadi sejatinya merupakan ketimpangan sosial yang memicu gerakan petani, dan di pedesaan memang telah terbentuk semacam komunikasi kultural dari pertemuan tarekat. Jadi, pada konteks Banten, tarekat membentuk sistem komunikasi kebudayaan dan jejaring persaudaraan lintas spiritual, hingga mengukuhkan solidaritas sosial (Bruinessen, 1995: 262-3). Dengan demikian, tarekat memberi kontribusi untuk menanamkan semangat perjuangan dan pembelaan atas ideologi sekaligus rasa keindonesiaan pada akhir abad 19.
Namun, apa yang terjadi sekarang? Karena komunikasi massa telah dicengkeram oleh infrastruktur demokrasi, teknologi dan institusi pendidikan, tarekat tergeser ke pinggiran. Di sisi lain, di tengah modernisasi yang berlari kencang, sufisme justru mampu eksis di tengah kota dengan balutan citra yang lebih stylish, efisien dan nyaman bagi masyarakat modern. Inilah transformasi sufisme Indonesia yang bekelindan dengan tradisi pesantren, pada beberapa titik sejarah mampu meredam radikalisme dan fundamentalisme keagamaan dengan ajaran-ajaran bermuara cinta. Sekaligus, ia juga mampu menegakkan kepada santri dan rakyat desa untuk membela negara [].
Simak diskusi-diskusi keislaman di: @MoenawirAziz