Bapak saya mengamati gerak-gerik dua anak muda yang sedang melakukan atraksi di perempatan. Katanya, itu kali pertama ia melihat manusia silver, julukan untuk orang yang melumuri dirinya dengan cat air berwarna perak. Atraksi mereka sederhana. Mereka akan memberi hormat kepada pengendara, lalu berkeliling membawa tempat untuk menampung pemberian secara suka rela.
“Atraksinya cuma hormat?” tanya bapak.
“Kalau di Jogja sih begitu,” kataku. Namun penampilan nyentrik di mana seluruh badan dilumuri cat air berwarna silver sudah cukup membuat mereka layak disebut totalitas. Bapak pun tampak terkesan dengan cara manusia silver mengais rupiah di cuaca nan terik. Ia bahkan memberikan tip saat ada manusia silver yang menyodorkan kardus.
Saya pun bercerita bahwa di beberapa daerah pengamen di lampu merah ini dilarang dan kerap dirazia. “Lha gimana mau dilarang kalau memang mereka tidak mendapat pekerjaan?” ujar Bapak. Jawaban ini seirama dengan pendapat seorang kiai saya (allahu yarham) yang tetap memberikan sumbangan kepada pengamen dan pengemis. Katanya, kalau negara melarang, seharusnya negara yang bertanggung jawab atas hak-hak dasar hidup mereka. Kalau negara belum mampu, biar masyarakat yang saling membantu, salah satunya dengan memberikan sumbangan ala kadarnya untuk menyambung hidup mereka yang meminta-minta.
Kejadian itu terjadi pada Oktober 2021, masa di mana pandemi Covid-19 masih menunjukkan angka yang tinggi. Selain manusia silver, rasa-rasanya setiap lampu bangjo persimpangan menjelma menjadi ruang pertunjukan baru. Di Yogyakarta, misalnya, hampir semua bangjo diisi oleh para seniman jalanan, mulai manusia silver, pengamen yang membawa sound system, angklung, hingga atraksi yang tak pernah-pernah diduga, yaitu menyembur obor.
Ternyata, pandemi memiliki kaitan langsung dengan profesi jalanan ini. Liputan Vice.com menyebut bahwa keberadaan silverman ini sudah ada sejak 2013. Namun pandemi menyebabkan silverman menjamur di mana-mana akibat banyak orang kehilangan pekerjaan.
Vice menyoroti kehidupan seorang silverman bernama Yogi. Pemuda berusia 26 tahun itu terpaksa menekuni ‘profesi’ barunya sebagai silverman karena pendapatannya sebagai kondektur angkot menurun hingga 80 persen. Padahal ia memiliki anak dan istri yang harus terus dinafkahi. Ia pun mempertaruhkan kesehatannya dengan melumuri cat air yang diaduk dengan minyak goreng dan handbody.
Tentu saja, tindakan itu membahayakan kesehatan Yogi dan para manusia silver. Sebab cat tersebut bukan diperuntukkan bagi manusia. Ada banyak potensi munculnya penyakit mulai iritasi hingga kanker. Yogi pun menyadari risiko itu. Namun keterdesakan membuatnya mau tidak mau harus melakukan pekerjaan yang sangat menyiksanya. Sebagai gambaran ia mengaku melakukannya demi keluarga. “Kalau buat sendiri ngapain harus seperti ini?” jelasnya di dalam liputan Vice.
Di luar sana tentu ada banyak Yogi yang lain. Mereka berjibaku untuk sekadar bertahan hidup di tengah lebarnya kesenjangan sosial di negeri ini.
Di banyak kota, eksistensi silverman ditanggapi secara beragam. Ada yang biasa saja karena bagian dari mencari nafkah. Ada pula yang menyebutnya sebagai penyakit sosial yang harus ditertibkan. Apalagi ada semacam konsensus bahwa keberadaan pengemis dan pengamen jalanan menandakan wilayah tersebut belum sejahtera. Istri Yogi pun bercerita bahwa beberapa kali Yogi sampai mengalami luka-luka akibat menghindari razia.
Profesi yang Haram?
Selain stigma penyakit sosial, baru-baru ini silverman mendapat satu ‘hadiah’ dari Majelis Ulama Indonesia Sumatera Utara. Ijtima (kesepakatan) MUI Sumut menyebut bahwa profesi manusia silver adalah haram. Ada empat alasan yang disebut oleh MUI.
Pertama, karena menjadikan perbuatan mengemis sebagai profesi atau pekerjaan. Kedua, menganiaya diri dengan memakai cat pada tubuh yang berdampak merusak diri. Ketiga, menunjukkan aurat kepada umum, dan terakhir mengganggu ketertiban umum. MUI juga mengharamkan masyarakat untuk memberikan sumbangan kepada mereka.
Keempat alasan itu tentu bisa didiskusikan. Yang gagal dipotret dari fatwa itu adalah akar masalah dari fenomena manusia silver. Menjawab pekerjaan alternatif yang dianggap membahayakan tentu dengan menyediakan pekerjaan yang layak, bukan semata mengharamkannya.
MUI memang menyertakan statement bahwa negara harus bertanggung jawab untuk membina dan menyelesaikan persoalan manusia silver. Namun mereka justru menghimbau agar manusia silver mencari pekerjaan yang lebih layak. ‘Yang penting halal dan tidak menyakiti diri sendiri.’
Jujur, pernyataan ini membuat saya heran. Jika mereka bisa mendapat pekerjaan yang layak, halal, dan tidak menyakiti diri sendiri, kenapa harus bercapek ria membahayakan diri sendiri? Hal ini sama seperti jenis pekerjaan lain, misal kuli bangunan. Mereka punya risiko mengalami sakit paru-paru akibat menghirup debu di lokasi proyek. Mereka pun kerap terkena dampak langsung, seperti kegencet batu bata hingga tertimbun reruntuhan tembok.
Ya namanya juga fatwa. Bisa diikuti, bisa juga tidak.
Namun jangan lupa, ini adalah negeri +62 yang banyak uniknya. Bisa jadi pendapat MUI ini akan jadi rujukan oknum pemerintah yang enggan melihat akar masalah, tetapi ingin langsung melangkah ke soal haram-haram ini. Mereka tidak akan mau melihat apa yang menyebabkan kemiskinan. Yang mereka tahu, ada fatwa haram. Mereka akan senang merazia orang kelaparan tanpa peduli dampak selanjutnya.
Saya sih berharap bahwa hukum haram ini terkait dengan tanggung jawab negara untuk membina dan menyelesaikan persoalan ini. Artinya, fatwa haram berlaku apabila negara bisa menjamin hidup mereka dengan menyediakan pekerjaan yang layak, halal, dan tidak menyakiti diri sendiri. Atau barangkali MUI dan lembaga lain bisa jadi biro loker yang mengarahkan para mustad’afin jalanan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih proper.
Jika tidak, lalu fatwa haram dijadikan rujukan razia tanpa menyediakan solusi, maka ini sudah bukan lagi zalim, tapi zalim murakkab. Alias zalimnya kuadrat! Wallahua’lam.