Beberapa hari ini jagad maya dihebohkan dengan video viral yang merekam aksi show off dari salah satu murid SMP di Gresik, Jawa Timur. Saya menyebutnya sebagai aksi karena siswa ini dengan sangat PD berani menenteng guru honorer itu.
Nur Kalim, seorang guru honorer yang satu ini patut untuk dijadikan contoh bagi kita semua bahwa tidak selayaknya seorang guru itu dilecehkan seperti itu. Bagaimana bisa seorang guru yang memberikan ilmu kepada anak didiknya malahan diajak duel? Saya yakin dalam ajaran agama manapun tidak ada legitimasi yang mengizinkan siswa untuk menghina guru. Di manapun dan kapan pun, idealnya seorang guru ya dihormati. Namun faktanya? Ya, kalau bicara soal fakta kadang selalu berbeda. Nur Kalim mungkin satu dari ratusan bahkan ribuan guru yang “tak berkutik” dihadapan anak didik.
Bila kita—kebetulan—orang Islam dan pernah mondok meski sebentar, pasti pernah belajar kitab keren yang berjudul “Ta’lim al-Muta’allim” yang secara harfiah berarti pengajaran terhadap santri atau siswa. Di manapun pondok salaf, pasti menjadikan kitab ini sebagai salah satu “kitab suci” bagi para santri. Kitab karangan Syeh az-Zarnuji ini begitu berarti karena berisi tuntunan bagaimana interaksi murid dan guru itu bisa saling menghormati dan menghargai.
Di antara bait yang paling terkenal adalah tentang syarat-syarat yang harus dilakukan oleh para pencari ilmu yang disebutkan ada enam itu. Salah satunya adalah wa irsyadu ustadzin atau petunjuk guru. Nah, bila melihat video siswa yang lagi nge-hits itu, kita patut mempertanyakan bagaimana bisa siswa yang masih remaja itu bisa mendapatkan pituduh (b.Jawa) dari Pak Kalim? Apakah ada yang salah dengan pendidikan akhlak di negeri ini?
Sebagai bangsa yang mayoritas penduduknya muslim dan terbesar di dunia, rasanya sangat mengherankan bila melihat siswa yang akhlaknya “merah” itu. Tanpa membedakan sekolah Islam dan sekolah umum, menurut saya PR terbesar bagi pemerintah atau pimpinan sekolahan adalah bagaimana menerapkan sistem yang baik, yang lebih mengutamakan nilai akhlaq terhadap siswa.
Pondok Pesantren Sebagai Cerminan
Munculnya pondok pesantren yang sudah berdiri ratusan tahun yang lalu mempunyai kontribusi yang sangat besar terhadap negeri ini, salah satunya adalah penekanan akhlak atau budi pekerti terhadap para santri. Para kiai—dalam pengalaman saya—yang benar-benar ikhlas pasti akan selalu mengingatkan bahwa ilmu yang tinggi tak berarti tanpa akhlak yang mengiringi.
Dalam hal ini tentu saya tidak akan mengatakan bahwa setiap sekolahan umum dan Islam di negeri ini harus disuguhi kitab Ta’lim al-Muta’allim sebagai salah satu materi pelajarannya. Yang ingin saya tekankan di sini adalah bahwa terkadang dalam sebuah lembaga sekolahan, lebih mengapresiasi anak yang cerdas dan pintar dibanding dengan anak yang sedang-sedang saja, bahkan cenderung, maaf “jongkok”. Jadi, akan sangat penting bila semisal ada slogan “Pintar tak berarti tanpa berbudi pekerti”.
Selain itu, sebuah lembaga pendidikan, dimanapun, tidak akan mampu memberikan dampak kepada siswanya bila tidak dibarengi dengan sistem yang menunjang. Maksud saya, teori-teori tentang akhlaqul karimah atau budi pekerti akan menguap bila tidak disokong oleh sistem yang kuat.
Maka dari itu, sangat penting bila setiap sekolah memberikan regulasi jelas bagaimana bila siswa, atau sebaliknya (guru), melanggar ketetapan itu. Karena dalam prakteknya, implementasi nilai-nilai akhlak ini “bungkam” ketika dihadapkan pada otoritas yang lebih tinggi. Semisal, seorang guru memberikan peringatan kepada anak, kadang dijewer (dengan catatan tidak keras), lalu karena siswa ini anak pejabat, lalu gurunya dilaporkan ke polisi karena kasus kekerasan. Oleh karenanya, sekolahan dimanapun harus juga menentukan sikap tegas ketika memang aturan itu sudah dibuat.
Hemat saya, sekolah-sekolah dimanapun, khususnya SMP-SMA (karena masa-masa ini adalah masa trying and error atau coba-coba bagi mereka) harus meniru sistem yang ada di pesantren dalam hal pendidikan akhlaknya. Penekanan dalam penghormatan kepada guru seperti pengucapan salam, cium tangan dan agak merunduk ketika bertemu guru adalah salah satu karakter santri yang bisa ditiru lembaga sekolahan. Namun, ini perlu dengan catatan, guru yang mengajar juga harus mempu menjadi panutan. Tak mungkin siswa mau menunduk atau mengucap salam bila gurunya sendiri tak berakhlak. Wallahhu a’lam.
Zaimul Asroor, penulis adalah pegiat di Islami Institute Jogja.