Di sebuah peradaban yang simbol-simbol keagamaan dapat dengan seksama mengubah lanskap politik nasional dalam tempo yang sesingkat-singkatnya ini, identitas untuk menampilkan perangai seseorang, menjadi tolok ukur kesalehan. Bahkan akan sangat naif, misalnya, jika sekali waktu ada seseorang sebagaimana dipahat oleh sastrawan Joko Pinurbo dalam salah satu sajaknya, saban hari giat sembahyang. Habis sembahyang terus mencaci. Habis mencaci sembahyang lagi. Habis sembahyang ngajak kelahi. Itu tidaklah mengapa. Sebab yang demikian itu dilandaskan atas “perintah” Tuhan dan fatwa “penerus para nabi”.
Penyematan gelar santri oleh PKS kepada salah satu Cawapres kita, Sandiaga Salahudin Uno mengajarkan sekurang-kurangnya dua hal spesifik untuk direnungkan: santri Post-Islamisme dan dan Pesantren Kilat yang cenderung membuat makna santri menjadi sangat ahistoris.
Mendiang Nurcholish Madjid (1997) dalam Bilik-bilik Pesantren mencatat bahwa Pesantren adalah lembaga yang bisa dikatakan merupakan wujud proses wajar perkembangan sistem pendidikan Nasional.
Dari segi historis, kata Cak Nur, pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia (indigenous). Sebab, lembaga yang serupa pesantren ini sebenarnya sudah ada sejak pada masa kekuasaan Hindu-Buddha. Sehingga Islam tinggal meneruskan dan mengislamkan lembaga pendidikan yang sudah ada. Tentunya ini tidak berarti mengecilkan peranan Islam dalam memelopori pendidikan Indonesia.
Lalu, apakah Pesantren Kilat itu bisa disebut pesantren?
Bisa iya; bisa tidak. Iya karena keawaman berfikir saya mengatakan, meskipun kilat yang penting Pesantren. Hla wong, namanya saja “Pesantren kilat”. heuheu
Namun begitu, menyebut jebolan Pesantren Kilat sebagai seorang santri, sepertinya nanti dulu. Sebab sekilat pengalaman saya waktu berada di bangku Sekolah Dasar, Pesantren Kilat itu tak lebih dari sekadar program tahunan pendidikan formal untuk menambah gairah relijius para siswa. Siswa adalah siswa. Belum bisa dikatakan santri secara de jure kecuali dia adalah siswa sekaligus santri di sebuah Pesantren.
Tapi kan di Pesantren–pesantren itu biasanya setiap Ramadhan juga ada program kilat ngaji pasanan? Toh mereka juga disebut santri.
Tull sekali. Itulah bedanya pesantren yang berakar secara kultural pada tradisi ulama Nusantara dan pesantren kilat yang bersumbu kebijakan kepala sekolah atau Kemendikbud.
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam Pesantren Sebagai Sub-Kultur pernah mengutarakan, bahwa salah satu unsur lain keunikan pesantren dari segi budaya adalah eksistensi kitab kuning. Selain sebagai pedoman bagi tata cara keberagamaan, kitab kuning juga difungsikan oleh kalangan pesantren sebagai rujukan dan paduan nilai-nilai universal dalam menyikapi perubahan zaman.
Kitab kuning memang menarik. Tentu saja bukan karena warnanya kuning. Melainkan karena kitab itu mempunyai ciri-ciri melekat, yang untuk memahaminya memerlukan keterampilan tertentu dan tidak cukup hanya dengan menguasai bahasa Arab saja.
Dalam literatur pengajarannya di pesantren, Zamakhsyari Dhofier dalam Tradisi Pesantren mengklasifikasikan kitab-kitab klasik itu dalam delapan kelompok jenis pengetahuan: nahwu dan shorof, fiqh, ushul fiqh, hadits, tafsir, tauhid, tasawuf dan etika, atau cabang-cabang keilmuan lain seperti tarikh dan balaghah.
Kitab-kitab tersebut meliputi teks yang sangat pendek sampai teks yang terdiri dari berjilid-jilid tebal mengenai hadits, tafsir, fiqh dan ushul fiqh, serta tasawuf. Kesemuanya dapat di golongkan ke dalam tiga kelompok tingkatan, yaitu kitab dasar, kitab tingkat menengah, dan kitab tingkat tinggi.
Nah, sampai di sini menjadi jelas bukan, bagaimana khazanah keilmuan yang dipelajari, dikonsumsi, dan ditelaah seorang santri yang belajar—walau kilat— di Pesantren dengan keilmuan siswa yang masuk Pesantren Kilat dengan berbekal buku iqra’ (jilid 1-6) , juz ‘amma atau buku panduan wudhu dan sholat dengan benar lainnya.
Satu lagi, tidak kalah penting. Pak Kiai di Pesantren tempat saya belajar mengaji selalu menekankan, bahwa tidak ada yang namanya mantan santri. Pokoknya sampai kapan pun kita harus tetap santri. Dengan kata lain, jati diri seorang santri itulah yang mestinya tak boleh lapuk karena hujan, tak lekang oleh panasnya zaman.
Sebab, amar “tetap menjadi santri” bukan berarti pula nahi menjadi Kiai, Presiden, apalagi cuma Cawapres. Bahkan kalau kita lebih jeli lagi membaca sejarah-sejarah perjuangan para pahlawan dan tokoh-tokoh pendiri bangsa, mereka juga termasuk santri: Pangeran Diponegoro, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan, dan sebagainya.
Menurut KH. Mustofa Bisri (2017), santri dapat dibagi menjadi beberapa golongan. Mulai dari santri yang masih aktif pesantren kilat, santri yang telah lulus, dan santri yang telah berbaur dengan masyarakat. Intinya, semua punya peran penting untuk menjaga kesatuan NKRI.
Kalau santri yang masih di pondok, kata Gus Mus, ya perjuangannya ngaji itu, supaya nanti saat dia terjun di masyarakat dia punya bekal untuk berjuang. Sedangkan yang sudah di masyarakat itu juga macem-macem. Tinggal dia mau bergerak di mana, asal masing-masing itu tetap ingat bahwa mereka itu bagian dari bangsa Indonesia.
Jadi, Sandiaga Uno itu Santri apa bukan?
Silakan putuskan sendiri. Yang jelas, kalau definisi santri dapat dinisbahkan sebagaimana di atas, maka mengutip Prof. Kamarudin Amin (2015), santri adalah mereka yang memiliki komitmen keislaman dan keindonesiaan. Mereka yang hidupnya diinspirasi dan diselimuti nilai-nilai Islam di satu sisi dan semangat serta kesadaran penuh tentang kebangsaan Indonesia yang majemuk di sisi lain.
“Pokoke Santri sampek mati,”begitu kelakar kawan-kawan santri. Oh ya, saya harus manggil ‘kang’ dong sebagaimana lazimnya santri memanggil santri lainnya. Bukan begitu, Kang Sandiaga?